Suamiku Menghilang Setiap Malam
Bab 3 : ART Aneh
Setelah Niko berangkat ke sekolah, Mas Gilhan juga pamit kantor. Kini di rumah hanya tinggal aku, Bik Ana juga si kembar. Aku melangkah menuju anak tangga, hendak kembali ke kamar. Setelah mandi nanti, aku akan menyelidiki rumah ini. Aku sedikit heran, di rumah sebesar ini hanya memiliki satu asisten rumah tangga saja yang merangkap sebagai pengasuh juga. Saat menaiki anak tangga, Nayla dan Naura terlihat sedang menonton acara kartun di televisi, sedang Bik Ana sedang menyapu lantai. Dia memang wanita tangguh, bisa mengerjakan semuanya.
Sesuai yang kurencanakan, setelah selesai mandi dan berpakaian, aku segera turun ke bawah dan menuju dapur. Bik Ana tak ada di sini, mungkin sedang menemani si kembar bermain. Oke, hari ini aku yang akan memasak sebab bosan juga rasanya kalau cuma bengong sendiri di kamar dan tak mengerjakan apa pun. Aku yang keseharian selalu menghabiskan waktu untuk bekerja di kantor, namun sekarang harus menghabiskan waktu di rumah, rasanya membosankan dan butuh penyesuaian.
Kukeluarkan sayuran dari kulkas lalu memontongnya, kemudian mencari daging ayam yang rencananya akan kumasak sup. Aku menautkan alis saat melihat beberapa daging yang tersimpan di dalam tupperware yang warna agak kehitaman. Daging apa ini? Kok warnanya aneh begini? Aku menautkan alis. Apa sudah jamuran atau apa, ya?
“Nyonya sedang apa di sini?!” Bik Ana tiba-tiba merampas apa yang sedang kupegang, lalu menyimpannya kembali ke dalam kulkas dan menutupnya lemari pendingin itu dengan kasar.
“Bik, saya mau masak,” ujarku sedikit jengkel dengan tingkahnya.
“Tidak usah, biar saya yang akan memasak. Nyonya ke kamar saja!” ujarnya dengan nada perintah.
Aku menatapnya tak senang, dia terlalu sok berkuasa, padahal apa salahnya jika aku yang memasak, toh aku nyonya di rumah ini. Apalagi aku juga pandai memasak walau tak terlalu mahir.
“Bik, sayur-sayur sudah saya potong, tinggal mau motong daging saja,” ujarku dengan menunjuk meja yang terdapat sayur hasil potonganku.
“Sebaiknya Nyonya Sindi tak mengganggu pekerjaan saya! Masak, mencuci, beres-beres rumah juga mengurus anak-anak Tuan Gilhan adalah tugas saya.”
Dengan lancangnya, Bik Ana menarik tanganku lalu mendorongku keluar dari dapur.
“Bik, jangan memperlakukan saya seperti ini! Saya tidak suka!” bentakku kepadanya.
“Maaf, Nyonya, saya hanya menjalankan perintah Tuan Gilhan saja. Kata beliau, Nyonya Sindy tak boleh mengerjakan apa-apa di rumah ini!” ujarnya dengan nada melemah namun tetap dengan tatapan tajam.
Dengan berdecak kesal, aku berlalu dari hadapannya dan menuju ruang tengah lalu duduk di depan televisi. Ke mana Nayla dan Naura tak terlihat? Sedang apa mereka? Aku bangkit dan hendak melangkah menuju kamar si kembar.
Belum sampai aku di depan kamar mereka, terlihat Bik Ana sudah masuk ke dalam kamar anak kembarku itu. Isshh ... apa sih maunya pembantu itu? Kuurungkan langkah dan berbelok menuju dapur, namun aku tak masuk ke dapur melainkan lorong di sebelah dapur yang akan menuju pintu belakang. Mungkin inilah saatnya aku menyelidiki halaman belakang yang didatangi suamiku tadi malam.
Taklama kemudian, langkahku telah tiba di depan pintu belakang. Lorong ini masih saja gelap, walau di siang hari ini karena sepertinya tak ada kontak lampu. Kukeluarkan ponsel dari saku celana panjang, lalu menyalakan sentarnya.
Pintu ini tergembok dan aku tak bisa membukanya, jadi aku takkan bisa untuk melihat ke halaman belakang sana. Aku memutar ingatan tadi malam, perasaan tadi malam pintu ini tertutup dengan sendirinya lalu siapa yang menggemboknya? Semua yang ada di rumah ini begitu aneh dan membuat kepalaku pusing memikirkannya.
“Sedang apa di sini?!”
Ah, ini suara Bik Ana, tanpa menoleh pun aku sudah tahu akan pemilik suara sangar dan garang itu. Aku memutar badan, namun tak mendapati pembantu rese itu. Eh, kok nggak ada siapa-siapa? Masa iya, aku berhalusinasi mendengar suaranya? Bulu kuduk mendadak meremang, aku segera berlari meninggalkan lorong gelap itu.
Saat aku tiba di ruang tengah, ternyata Bik Ana baru saja turun dari loteng kiri di sebelah ruangan dapur dengan membawa keranjang pakaian, mungkin ia baru saja selesai menjemur pakaian, lalu suara siapa yang tadi itu?
Bik Ana mendekat kepadaku, namun aku segera berlalu menuju ruang keluarga yang terdapat televisi. Lebih baik menonton sinetron saja kalau mengerjakan apa pun tak dibolehkan.
Kuraih ponsel lalu mengetik pesan yang akan kukirimkan kepada suamiku. Akan kuadukan perlakuan tak menyenangkan dari pembantu bertampang sangar itu.
[Mas, aku tak senang dengan perlakuan Bik Ana kepadaku hari ini. Masa aku mau memasak saja gak dibolehin dan malah diusir dari dapur? Memangnya kamu pernah memberikan mandat kepadanya agar melarangku melakukan apa pun di rumah ini?]
Segera kukirimkan pesan itu dan menunggu Mas Gilhan membukanya. Akan tetapi, jangankan dibaca, terkirimkan pun tidak, pesanku hanya centang satu saja. Ke mana suamiku itu? Aku tak habis akal, kuketik pesan untuk temanku yang masih bekerja di kantornya.
[Mir, Mas Gilhan, suamiku ... sedang apa dia? Apa dia ada di ruangannya atau sedang keluar?]
Pesan itu langsung kukirim kepada Mira, temanku. Lima menit kemudian, pesanku langsung mendapatkan balasan.
[Ada kok di ruangannya, kenapa emangnya? Chat istrinya nggak dibalas? Hahaa .... ]
Aku menahan senyum, ternyata temanku itu langsung tahu saja, dasar! Aku kembali mengetik balasan pesan untuknya.
[Pergi ke ruanganya, bilangin begini ... chat dari istri dibuka dan dibalas gitu! Hahaa .... ]
[Ya elah, bisa kena SP gue, gila lu!]
Aku menahan senyum membaca chat dari Mira.
“Agghhh!!!” Terdengar jeritan dari arah dapur, itu suara Bik Ana, sang pembantu songong.
Aku mengerutkan dahi dan langsung berlari ke arah dapur, sedikit penasaran dengan apa yang terjadi dengan pembantu jago itu, sebab ia bisa mengerjakan semuanya sendiri.
Tak ada siapa pun di dapur, eh ... Bik Ana malah keluar dari arah lorong. Ia terlihat membawa piring dengan bahan seng yang telah kosong. Dia terlihat gugup saat kami saling tatap beberapa saat.
Aku mengerutkan dahi dengan tatapan tetap mengarah kepadanya. Sedetik kemudian, sang pembantu songong itu telah melewatiku begitu saja dengan langkah yang cepat menuju arah dapur.
Siapa yang dia datangi di halaman belakang? Kalau dia bisa keluar, berarti dia mempunyai kunci gembok pintu itu. Aku menganggukkan kepala dan akan tetap menulusuri setiap misteri di rumah ini.
Bersambung ....