Bab 63. Tak Terduga

1188 Words
Jam dinding berdetak di dalam keheningan malam yang sunyi. Tiga orang berkumpul, satu di antaranya berdiri dengan jubah yang menyelimuti seluruh tubuh. Dua orang lainnya yaitu Eugene dan Veto. Eugene yang hendka menikmati waktu istirahatnya, dikejutkan oleh Veto yang secara tiba-tiba membawa orang masuk ke dalam kamar pribadi. Tidak hanya itu, dia seakan membawa kabar penting untuk masa depan. “Kau bisa membongkar identitasmu. Sudah saatnya yang mulia tahu,” ucap Veto mengizinkannya. Orang bertudung itu mengangguk, Sementara Eugene begitu menantikan, siapa sosok yang berada dibalik jubah tersebut. Begitu kain tudung kepala diturunkan, sang raja sedikit tersentak. Diantara mata-mata, kenapa harus dia? Bukankah Keith nanti akan merasa tersakiti? Sekilas, Eugene melirik ke arah Veto yang tersenyum bangga dengan hasil kerja kerasnya. “Salam hormat, Yang Mulia.” Eugene menyambutnya dengan tersenyum, “Apakah Keith tak akan memusuhimu karena kau menghianatinya, Madam Reta?" Sosok itu adalah abdi kepercayaan keluarga Griffin, dan merupakan ibu asuh dari Keith. Dia melangkah lebih jauh dari yang seharusnya, melewati batas kehidupan Jenderal Emas. “Ini demi kejayaan keluarga nyonya saya.” Reta tak ingin Caroline yang tanpa status bangsawan masuk kedalam Griffin. Jika itu terjadi, keluarga tersebut akan ternoda. “Jadi, kau tak menyetujui hubungan Keith dengan Caroline?” tebak Eugene dengan wajah penuh kesenangan. “Benar..., Yang Mulia.” Reta tak akan menyembunyikan apapun di depan Eugene, terlebih lagi tentang masalah Caroline. “Baiklah, aku mengerti. Katakan padaku, kabar apa yang ingin kau beritahu?” Reta tersenyum, “Caroline sudah pergi bersama Devon dan Audrey.” Euegen langsung bagkit sambil berteriak, “Kemana mereka pergi?” Dengan tatapan tajam, dia melirik ke arah Veto yang terkesiap. “Desa perbatasan.” “Bagaimana aku bisa percaya padamu?” Eugene kembali duduk dengan tenang. Siapa yang menyangka bahwa Reta telah mendengar semua percakapan Caroline dan Keith ketika mereka berada di dalam satu ruangan. Hal itu terjadi saat dia pulang dari pertemuannya dengan Veto. “Apakah yang mulia tidak percaya dengan saya? Aku tak akan berbohong jika bukan demi Tuan Keith.” Reta menundukkan kepala cukup dalam. Melihat rekasi wanita itu, Eugene pun mengangguk. “Terimakasih atas informasinya. Kau bisa kembali. Sisanya, serahkan kepadaku.” Reta undur diri karena pembicaran mereka sudah selesai. Setelah dia pergi, Eugene maish diam termenung dalam watu yang cukup lama. Veto sendiri juga tak mau mengusiknya. “Sepertinya, aku harus membuat Keith sibuk.” Desa perbatasan ada empat, desa sebelah mana informasi dari Reta juga belum tentu bisa dipercaya. “Yang Mulia, saya menebak Desa Selatan dekat dengan Gunung Suci.” Veto berucap penuh keyakinan. Eugene menoleh dengan cepat, menatap wajah Veto. Besar kemungkinan pemikiran itu benar. Caroline mungkin juga akan memastikan kuburan Jason sebelum benar-benar singgah sementara di desa itu. “Kirim orang ke desa itu malam ini. Aku harus mendapatkan Caroline lebih dulu.” “Baik, Yang Mulia.” Veto pun pamit dari ruangan tersebut. Sementara itu, Keith belum bisa tidur karena ada pikirannya yang mengganggu. Meskipun demikian, ia tetap memejamkan kedua matanya. Hanya saja, kenapa pikiran mengenai Caroline terus terlintas. “Aku tak bisa tenang.” Keith menyibakkan selimutnya, bergegas bangkit menuju ke pintu keluar. Langkah kakinya berhenti ketika sampai di sebuah pintu yang cukup besar. “Caroline...,” panggil Keith lirih. Pria itu pun membuka pintu dengan perlahan, takut kalau mengganggu tidur nyenyak gadis itu. Begitu masuk, sebuah gundukan dibawah selimut membuatnya bernafas lega. Tenyata gadis itu tidur dengan sangat nyenyak. Perlahan tapi pasti, ia pun duduk di samping kanan ranjang. “Kau tahu, aku sangat mencintaimu.” Keith tersenyum ketika menyadari cintanya terhadap gadis itu. “Padahal aku tak pernah merasakan hal seperti ini.” Bagaikan pria remaja yang sedang kasmaran karena sedang jatuh cinta, hal itu berlaku pada jenderal pemimpin perang. “Aku yakin pertemuan kita adalah takdir.” Keith menoleh ke arah gundukan. Dahinya berkerut karena tak ada suara dengkuran atau nafas di tubuh Caroline. Dengan cepat, Keith langsung membuka selimut itu. Matanya melotot sempurna saat mengetahui, bahwa ia telah dikelabui. “Caroline....!” teriak Keith cukup keras, membuat seluruh isi mansion kocar-kacir ddan juga burung-burung di sekitar langsung terbang ketakutan. Diwaktu yang sama, Caroline merasakan sensasi merinding luar biasa. Beberapa kali gadis itu bersin karena hidungnya gatal. “Apkah kau sedang sakit?” tanya Audrey dengan wajah khawatir. “Tidak..., aku punya firasat tak enak.” “Sepertinya, Keith sudah mengetahui pelarianmu. Jujur, dia bukan orang yang mudah dibohongi,” kata Devon mengingat kejadian dimana selalu menjebak Keith ketika bermain, tapi tak pernah berhasil sama sekali. “Kalau begitu jangan menunda waktu lagi, kitra harus bergegas,” ajak Caroline segera menggandeng lengan Audrey. “Aku sudah mempersiapkannya.” Ternyata Devon sudah meminta seseorang menyiapkan kuda untuk mereka untuk mempersingkat perjalanan. “Andai saja kondisiku stabil, pasti aku bisa mengirim kita ke desa perbatasan.” Caroline merasa dirinya kurang berguna. “Pulihkan dirimu dulu.” Caroline tak mau Audrey terlalu memaksakan kehendak dirinya. Malam ini, perjalanan panjang akan di mulai. Dimana pelarian mereka untuk lepas dari bayang-bayang tiga orang berpengaruh. Semakin Caroline terlibat, maka semakin sulit ia keluar dari jeratan mereka. Tidka lama setelah mereka berjalan, ada dua kuda yang diikat dipohon besar. Seorang pria lusuh sedang menunggu kedatangan Devon. “Kenapa lama sekali? Aku harus segera pergi.” “Aku menambah pesangonmu. Jangan beri tahu siapapun.” Devon memberikan dua keping emas kepada pria itu. “Aku akan tutup mulut. Kau tenang saja.” Si pria asing pun pergi setelah medapatkan koin emas itu. “Audrey, kau berkuda denganku,” pinta Devon sambil menaiki kuda. Audrey menggelengkan kepala, “Nona tidak bisa menaiki kuda.” Gadis itu meminta Devon untuk membantu Caroline. “Sangat merepotkan.” Akhirnya, Devon mau berkuda dengan Caroline. Mereka berdua memacu kudanya cukup keras agar segera sampai ke tempat tujuan. Kuda berlari membelah gelapnya hutan di malam hari. Bulan dan bintang yang tampak bersinar menerangi kepergian mereka. Ketiganya sudah keluar dari ibu kota. Caroline pun menoleh ke arah menara, karena posisinya berada di belakang Devon. “Selamat tinggal, Keith.” “Dia pasti akan mencarimu. Dia tipe yang keras kepala.” Devon menarik tali keduanya, karena ada sungai kecil di depan mereka. Saat kuda berjalan pelan, Audrey berada di samping Devon. “Tenang saja. Aku bisa membuat dia tak bisa mencari Nona Caroline.” Nanti jika sudah sampai ke tempat tujuan, Audrey akan menggunakan kekuatannya untuk membuat perlindungan besar untuk Caroline. Setelah menyebrangi sungai, Devon menghentikan kudanya. “Apa kau akan menggunakan kekuatanmu lagi?” Belum sempat Audrey menjawab, suara gerangan hewan terdengar jelas ditelinga mereka. Semua orang tampak waspada, karena hewan itu bukan sembarang hewan. “Sial..., kita masuk ke kawasan Hewan Mistik.” Seekor singa berwarna ungu besar dengan yang memiliki racun di ekornya sedang menatap tajam ke arah mereka. Kuda itu pun ketakutan karena singa itu. “Balik arah. Kita lewat sisi lain!” Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke jalur bercabang dengan kecepatan penuh, tanpa menyadari bahwa ada pita yang jatuh dari rambut Audrey. Singa yang sedang kelaparan itu terus saja mengikuti dari belakang. “Tidak ada pilihan lain!” Audrey menggunkan kekuatannya untuk menjinakkan singa itu. Berhasil, tapi kondisi tubuhnya semakin lemah dan tak berdaya. “Audrey!” teriak Caroline membuat Devon menghentikan kudanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD