Bab 59. Keyakinan Devon

1115 Words
Malam pun tiba, Audrey terbangun dari tidurnya. Meski tubuhnya lemah, ia tetap berusaha sekuat tenaga untuk bangkit. Bagaimana bisa terjebak ditempat ini? Gadis itu mendesah beberapa kali karena memikirkan kebodohannya. Dia berjalan perlahan, membuka pintu dengan tubuh lemahnya. Bibir pucat ditambah dengan wajah yang tampak kurang lengkap terlihat jelas. Lorong yang sepi memudahkannya untuk berjalan tanpa ada yang menghalangi. Namun langkah kaki Audrey berhenti ketika melihat Caroline dan Keith saling berpelukan satu sama lain. Mata miliknya pun beralih pada dua orang yang sedang membicarakan sesuatu. Audrey tahu mengernyitkan dahi saat mendengar Eugene dan Derich sedang membahas Caroline. “Mereka mempermainkan perasaan Caroline.” Pandangan Audrey berubah menjadi sengit, saat melihat bahwa Eugene tak berubah sama sekali. “Obesesinya selalu melampaui batas kewajaran.” Tidak ingin membiarkan Derich melakukan hal yang sama, Audrey berjalan menghampirinya tanpa rasa takut. “Aku tak akan mengijinkanmu bertindak membahayakan Nona Caroline.” Suara lemah itu membuat Derich tersenyum tipis. “Dari dulu, aku ingin sekali mengetahui identitasmu.” Derich menepis jarak di antara mereka. Tubuhnya sedikit menyondong, berbisik di telinga Audrey. “Kau gadis kecil belia yang penuh teka-teki. Jujur aku penasaran dan ingin tahu tujuanmu.” Audrey tersenyum, lantas mendorong tubuh Derich hingga menatap tembok tak jauh dari mereka. “Tebak..., siapa aku? Sejauh kau menggali informasi, tak akan ada artinya sama sekali.” Pria itu tersenyum semirik, “Seorang putri yang menjadi b***k, menempel pada gadis polos seperti Caroline.” Bukan lagi rahasia besar identitas Audrey yang merupakan seorang putri karena Devon sudah mengetahuinya. Malah dia tahu tentang tubuh aslinya. “Hanya itu. Aku tak ada masalah jika kau membocorkannya.” Audrey melipat kedua tangannya dengan elegan. “Sepertinya kau tak takut dipenjara. Sebagai b***k, kau seharusnya menjadi milik Kerajaan Hazelmuth.” Putri yang menjadi tawanan, selain mati maka harus menjadi selir dari Kerajaan penakhluk. Audrey sendiri sudah melanggar hukum yang ada, tapi dia tak memiliki rasa takut sama sekali. “Apalagi, kau seorang penyihir meskipun hanya penyihir lemah,” sambung Derich memperingatkan. “Tuan..., kau terlalau mencampuri urusanku.” Audrey menatap ke arah Caroline dan Keith. “Apakah kau pernah mengalami rasa sakit dari ambang kematian?” Derich menatap wajah Audrey tanpa berkedip sama sekali. Aura seklias berwarna biru terlihat jelas. Siapa dia sebenarnya? Kenapa hatiku gelisah setiap berada di dekat gadis belia ini? “Tujuanku adalah untuk membuat Nona Caroline bahagia,” ujar Audrey tanpa dusta sama sekali. “Aku berkata jujur karena kau adalah orang baik, meskipun emosimu sulit dikendalikan.” Mata Derich langsung melotot sempurna, “Dari mana kau tahu tentang diriku?” Dia bahkan langsung mencekik leher Audrey dnegan cepat. “Apa yang kau lakukan?” Tiba-tiab saja, Devon berteriak sambil memukul wajah Derich cukup keras. Tadinya dia ingin menahan amarah karena pembicaraan mereka terlihat baik-baik saja. Namun karena jenderal berpangkat perak itu berbuat kasar, akhirnya pria itu turun tangan. Mendengar adanya keributan, Caroline dna Keith bergegas ke tempat kejadian. Gadis itu langsung berlari ketika melihat Audrey yang sedang memegang lehernya, didampingi oleh Devon. “Audrey!” teriak Caroline sambil memeluk gadis yang pucat pasi itu. “Apa yang terjadi? Apakah kau baik-baik saja.” Ia melihat telapak tangan tercetak jelas dileher Audrey. Matanya menatap tajam ke arah Derich yang sedang menyeka sudut bibirnya. “Apakah ini perbuatanmu? Katakan padaku, Derich!” Seperti orang yang tertangkap basah, Derich hanya membuang muka ke arah lain. Dua pria lainnya menjadi penonton atas kejadian itu. “Nona, aku baik-baik saja. Jangan berperilaku buruk padanya.” Audrey tak ingin memperpanjang masalah, karena dia yang terlebih dulu memprovikasi Derich. “Sebaiknya kau tunggu aku di ruang kerja,” kata Keith mencairkan suasana. Derich tak berkata apapun, dia berjalan menjauh dari mereka. Keith mengikutinya dari belakang. Karena ia sendiri butuh bicara dengan pria itu. Sisanya tinggal tiga orang, Devon yang melihat leher memar milik Audrey merasa bersalah. “Kita kembali ke kamar. Aku akan mengobatimu.” Caroline mengangguk, menuntun Audrey menuju ke kamar yang ditempati sebelumnya. Setelah sampai, Devon buru-buru mengeluarkan kotak obat. “Biar aku saja.” Devon mengusir Carolien dengan halus. Ia pun menatap Devon dan Audrey bergantian. Karena pria itu bersikeras, maka ia pun mengalah, memilih duduk tak jauh dari mereka. “Kenapa kau melarang Nona Caroline mngobati lukaku?” “Diam! Dan jangan banyak bicara!” Melihat pasangan itu, Caroline tersenyum tipis. Ah, ternyata Devon begitru khawatir dengan Audrey. Bahkan pancaran cinta terlihat diwajahnya. “Kenapa kau begitu keras kepala? Kau sakit, dan butuh istirahat,” kata Devon dengan nada kesal. Kau yang telah membuatku sakit, batin Audrey mendesah ringan. “Jangan berbuat seenaknya yang membahayakan nyawamu. Derich bukan pria sederhana.” Devon sangat telaten mengolesi saleb dileher Audrey. “Aku tak ingin melihatmu terluka.” Perasaan hangat pun muncul di hati Audrey. Devon yang sangat kasar, bisa lembut seperti itu. “Jangan lupa, aku mengajakmu menikah.” Bola mata Caroline melebar sempurna, begitu juga Audrey. Gadis belia itu langsung menutup wajahnya sendiri karena malu. Dan tangan yang lain bergerak menutup mulut Devon. “Jangan seperti ini.” Devon menurunkan tangan Audrey, lalu mengecupnya. “Karena kau semakin manis.” Well, Audrey menutup wajah dengan kedua tangannya. “Ada Nona Caroline, jangan membuatku malu,” cicitnya terdengar ditelinga Devon. Pria itu langsung membeku karena menyadari kebodohannya. Bagaimana bisa ia berbuat tanpa rasa malu sedikit pun? Tawa Caroline pun pecah, “Aku rasa, aku akan pergid ari ruangan ini. Kalian butuh waktu untuk berdua.” Pasangan itu pun begitu malu mendengar perkataan Caroline, dna mereka tak menjawab apapun karena memang butuh waktu berdua. Setelah Caroline pergi, Devon duduk disamping Audrey. “Aku masih ingin menikahimu, terlepas dari statusmu sebagai penyihir.” Manis, dan indah. Perasaan cinta itu mengingatkan Caroline dengan kehidupan lamanya. Untuk menerima cinta kembali, ia harus berhati-hati. “Kau hanya terobesesi sesaat denganku,” kata Audrey sambil menundukkan kepala. Ekspresi wajah Devon langsung menggelap, lantas menarik dagu Audrey dengan cepat. “Lihat mataku, apakah aku bercanda denganmu?” Wajah marah, cinta, dan juga keinginan tergambar jelas di sana. Audrey bingung menyikapi perasaan milik Devon. “Aku akan membuktikannya.” Tanpa pikir panjang, Devon menempelkan bibirnya ke bibir Audrey. Yang dilakukan bukan kecupan, melainkan lumatan ringan tanpa ada balasan sama sekali. Kenapa ciuman itu menjadi sepihak? Audrey blank seketika, mendadak otaknya dipenuhi dengan bug, bahkan hendak eror. Karena tak ada balasan, Devon melepas ciuman itu, lalu menatap Audrey penuh cinta. “Apa kau merasakannya.” Wajah Audrey langsung memerah setelah pria itu menciumnya. “K-kau m-mesum.” Devon tersenyum bahagia karena gelagat Audrey menerima ciuman darinya. Bisa dipastikan kalau gadis itu mencintai pria tersebut. Aku yakin kalau Audrey mencintaiku. Dan aku akan membuat cinta itu tumbuh menjadi kuat. Devon sangat senang melihat ekspresi wajah malu-malu milik Audrey. Karena baginya, itu adalah sebuah pertanda baik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD