Caroline sudah sampai di sebuah desa yang tampak aneh menurutnya. Kebanyakan dari mereka memakai kalung yang terbuat dari tali seperti pita. Sepertinya itu merupakan tradisi dan identitas bagi penduduk desa tersebut.
Langkah kaki Caroline akhirnya berhenti di bawah pohon yang cukup rindang. Karena perjalanan yang cukup jauh, rasa lapar pun di dera. Matanya langsung melihat ke kedai makanan yang tak jauh darinya.
Tanpa memikirkan hal lain, caroline berjalan menuju ke kedai itu. “Satu porsi nasi beserta lauknya.”
Sang pelayan mengangguk, kembali ketempat nya untuk mempersiapkan pesanan milik Caroline. Samar-samar gadis itu mendengar percakapan pengunjung lain.
“Aku dengar raja marah besar karena menteri keuangan.”
“Dari mana kau tahu kabar itu?” tanya pria berkumis.
“Dari teman yang menjadi prajurit. Dan juga, raja sedang mencari seorang gadis,” jawab pria yang memiliki t**i lalat di hidungnya sambil menyerahkan kertas yang disimpan dibalik pakaian.
“Mana ada gadis seperti ini? Raja sangat aneh. Sudah kita makan saja.”
Mendengar percakapan mereka, Caroline menghela nafas sedalam-dalamnya. Toh ia sudah menyamar, tak peduli dengan selembaran kertas itu. Intinya, tujuan datang kemari hanya untuk mencari Jason.
“Aku harus bertindak secepatnya.” Caroline tak ingin membuang waktu, langsung melahab makanan yang tersaji setelah datang.
Acara makannya pun berakhir dalam waktu singkat, dan langsung bergegas keluar kedai. Gadis itu menuju ke arah timur, sambil melihat orang lalu lalang melewati dirinya.
Mata Caroline menatap ke arah seorang bocah yang duduk di pinggir sungai. “Aku harus mencari informasi dari bocah itu.”
Ia pun berjalan mendekati sungai, “Apa yang kau lakukan di sini?” Si bocah menoleh sekilas, terlihat acuh karena Caroline merupakan orang asing.
“Pergi... jangan bertanya padaku.”
Caroline tersenyum, “Aku hanya istirahat sebentar.”
“Aku tahu kau orang baru. Dan sedang mencari informasi. Kau salha alamat, Tuan.” Bocah itu hendak bangkit, tapi ada yang aneh dengan mata sebelah kanannya.
“Siapa yang melakukan ini padamu?” tanya Caroline sambil berdiri.
“Aku seorang b***k, jangan berbelas kasihan kepadaku.” Wajah bocah itu terlihat memusuhinya.
“Apakah kau sendirian? Dimana yang lainnya?” tanya Caroline ingin tahu, terus menatap bocah itu dengan penuh selidik. Tampak jelas sekali kalau dia tak suka.
“Dengar, bocah. Aku bukan orang jahat. Antar kan aku ke tempat persembunyian kalian.”
Si bocah langsung menyahut dnegan sarkasme. “Atas dasar apa aku harus percaya padamu, Tuan?”
Caroline berbisik, “Karena aku juga seorang b***k yang melarikan diri. Nasib kita sama.”
Si bocah itu tertegun, menatap Caroline tanpa berkedip. Wajah tampan penuh karisma seperti tuan yang ada di depannya tidak mungkin adalah seorang b***k.
“Dengan wajah seperti itu, kau tak mungkin menjadi b***k,” kata bocah itu sedikit mengejek. “Jika kau b***k, mana tanda b***k milikmu.”
Caroline tersenyum dengan bodoh, “Aku tak punya tanda itu karena aku melarikan diri setelah beberapa menit mask sel penjara.”
“Omong kosong!” Si bocah terlihat marah. ‘Sebelum masuk sel, para b***k di cap terlebih dahulu.” Dia menunjukkan cap b***k yang ada di bahu kanannya. Lambang Kerajaan Hazelmuth tercetak jelas di kulit bocah itu.
Astaga... anak kecil seperti dia diperlakukan sama. Kerajaan ini benar-benar tak manusiawi
Caroline merogoh tasnya, memberikan beberapa koin emas untuk bocah itu. Dia pun tampak terkejut melihat beberapa koin emas tersebut. “Bawa aku ke sana. Ke tempat para budak.”
Si bocah langsung berubah drastis. Inilah kekuatan uang, di manapun tempatnya benda itu sangat berkuasa, bisa membeli apapun. Termasuk harga diri. Tinggal siapa yang bertahan jika di goda dengan uang.
“Aku akan mengantarmu, Tuan.” Ekspresi bocah itu tampak berbinar cerah, senang karena mendapatkan uang.
Kali ini, uang memang bicara.
Caroline mengikuti kemana bocah itu pergi, sampai di gang yang cukup sepi. Beberapa langkah kemudian, mereka berhenti. Sementara bocah itu bersiul, sontak orang-orang keluar dari persembunyiannya.
Caroline sangat terkejut melihat mereka satu persatu. Kenapa seorang b***k sangat sengsara? Mereka terlihat mengenaskan, bahkan ada orang yang sudah tua renta.
“Tuan, kami menyambut mu dengan baik.” Salah satu pria paruh baya mendekati Caroline
“Terimakasih. Aku ingin melakukan pertukaran dengan kalian.”
Para b***k saling pandang satu sama lain, lalu mengangguk. “Apa yang kau inginkan, Tuan.”
“Seluk beluk Kerajaan Hazelmuth, termasuk masa lalu. Sebagai imbalannya, aku akan memberikan sekantung koin emas ini pada kalian.” Caroline mengambil emas yang ada di dalam tasnya.
“Kami setuju,” jawab pria paruh baya itu tanpa diskusi dengan yang lain. Caroline mengangguk puas dengan jawabannya.
“Silahkan duduk, Tuan,” ajak pria itu sambil mempersiapkan kursi yang terbuat dari kayu. Pria tersebut langsung semua informasi mengenai Kerajaan Hazelmuth sampai kerja sama hingga perang yang berkecamuk sampai saat ini.
“Jadi, apa alasan Kerajaan Hazelmuth merebut kekuasaan kerajaan lainnya?” tanya Caroline dnegan wajah serius.
“Karena ramalan. Ramalan yang menyatakan bahwa kekuasaan Raja Hazelmuth akan berhenti ketika penyihir datang, hingga akhirnya mereka memburu para penyihir.” Si pria paruh baya itu balik badan, menatap ke arah pohon yang cukup rindang.
“Beberapa tahun lalu, ada penyihir yang telah disegel. Jika segelnya terbuka, maka ras dragon akan hidup kembali. Ras dragon yang hidup akan menghancurkan kekuasaan Hazelmuth.”
Caroline masih bingung dengan cerita itu, “Apa hubungan ras dragon sampai mau menghancurkan Kerajaan Hazelmuth.”
Pria itu kembali bercerita kalau Ras dragon saling berdampingan satu sama lain dengan kerajaan Hazelmuth. Sayang sekali karena raja serakah, ia meminta penyihir untuk menyegel ras dragon.
Namun, penyihir ternyata di manfaatkan oleh raja terdahulu, dan di segel dibawah tanah. Sebelum kematian, sang penyihir bersumpah akan membalas dendam dengan membuat kerajaan runtuh melalui keturunannya.
Caroline diam sejenak, mencerna keseluruhan cerita dari pria itu. “Terimakasih atas informasinya.” Ia bangkit, memberikan sekantong uang emas itu. “Aku pergi dulu.”
Melihat Caroline yang pergi, para b***k saling pandang satu sama lain. “Hati-hati!” teriak bocah itu. Gadis tersebut melambaikan tangan kanan tanpa menoleh sama sekali.
“Sepertinya aku harus mencari seorang pelukis terbaik mengenai ayah.” Caroline memutuskan untuk menggambar wajah sang ayah lalu disebar ke seluruh desa agar semua orang tahu keberadaanya.
Disisi lain, Keith sedang duduk termenung, menatap lukisan yang ada di atas meja. Pikirannya mengenai Caroline tak surut sekalipun. Semua otaknya berputar hanya tertuju pada gadis itu.
Ibaratnya, dia seperti orang yang sedang jatuh cinta.
Reta, sang kepala pelayan mendekati Keith. “Apa yang Anda pikirkan?”
“Kau sudah tua, tak mengerti jalan pikiranku.” Keith memindah kursinya ke arah yang berlawanan.
Sementara Reta melirik sekilas lukisan yang ada di atas meja. “Kriteria Anda terlalu tinggi.” Wanita tua itu menaruh koper di atas meja, membuka secepat kilat. “Tuan, saya sudah mencari informasi mengenai para gadis yang cocok untuk anda.”
Seketika, suasana ruangan berubah menjadi dingin, tapi Reta hanya acuh saja tak mau tahu karena ia sudah paham betul temperamen Keith. “Anda harus segera menikah secepatnya.”
Siang langsung menjadi malam, membuat Reta tersenyum dengan profesional. “Untuk segera memberikan penerus bagi keluarga Griffin.”
Reta sangat lancang, karena statusnya sebagai kepala pelayan sekaligus ibu asuh dari Keith. “Aku tak ingin membahasnya. Kau bawa keluar koper itu atau kau yang aku hukum.”
“Tuan...,” panggil Reta dengan lembut, berharap pria itu mau luluh. “Aku sudah tua, ingin sekali menimang cucu.”
Keith langsung meraih lukisan yang ada di atas meja, lukisan wajah Caroline. “Dia yang akan menjadi nyonya rumah ini! Dan istri dari Keith Griffin!”
Bersambung