Baru kali ini Devon melihat Keith yang memiliki ekspreis diwajahnya. Ekspresi marah akan sesuatu yang berhubungan dengan Caroline. Sosok punggung pria itu begitu kokoh, menyimpan aura indah berbeda dari Eugene.
Jika saja Keith adalah keturunan raja, maka besar kemungkinan dia yang akan menjadi raja. Terkadang pikiran tak masuk akal menyelimuti otak Devon.
“Keith, kenapa kau membawaku kemari?” tanya Devon masih belum tahu situasi yang dihadapinya.
Keith langsung balik badan dengan tatapan seperti laser, hendak membunuh orang yang ada dihadapannya itu.
“Kau membuatku merinding.” Devon memeluk dirinya sendiri karena merasa ada yang aneh.
“Kau tak pantas berada di dekatnya.” Keith langsung mengeluarkan pedang miliknya untuk menyerang Devon dengan mendadak. Pria yang diserang menocba menangkis untuk membela diri.
“Apa yang kau katakan? Kenapa aku tak pantas ada di dekatnya?” Devon mengira bahwa ia tak layak bersanding dengan Audrey.
“Lihat statusmu!”
Suara pedang terus saling beradu sama lain tiada henti. Meskipun Devon jatuh berkali-kali, Keith tetap saja menyerangnya. Perbedaan kekuatan terlihat jelas, bahkan para ksatria yang melihat mereka tak bisa melakukan tindakan peleraian.
“Apa yang kalian lakukan?” teriak Caroline membuat kegiatan adu pedang Keith dan Devon berhenti.
Keith pun mengembalikan pedangnya ke tempat semula. “Devon, kau dihukum pergi ke perbatasan!”
Bukannya malah sedih, Devon tampak senang setengah mati. “Aku akan melakukannya!”
Jawaban girang itu membuat Keith tambah kesal, lalu ia pun berjalan melewati Caroline begitu saja.
“Ada apa dengannya?” tanya Caroline kepada Audrey. Ternyata agdis itu sudah terjun lebih dulu membantu Devon.
“Astaga! Gadis itu!”
Melihat kemesrahan mereka, Caroline merasa iri, kapan ia akan mendapatkan pasangan sehidup semati?
“Lupakan, karena tujuanku adalah kembali ke dunia asal,” kata Caroline mencoba menghibur dirinya. Namun kenyataan yang dihadapi, ia sendiri merasa hatinya perih, sakit tak terhankan.
“Apakah kau baik-baik saja, Nona?” Audrey sangat khawatir dengan keadaan Caroline yang sepertinya kurang baik.
“Perkembanganmu dengan Devon sangat cepat, Audrey,” goda gadis itu dengan wajah sumringah.
Audrey merasa malu karena merasakan benih cinta lagi di usia yang tak lagi muda. Namun ia akan menikmati sebagai mana mestinya. Kapan cinta itu tumbuh? Gadis itu tak tahu sama sekali. Yang jelas sejak pengakuan Devon, segalanya menjadi berubah.
“Nona, aku dan Devon sudah memutuskan untuk pergi tengah malam nanti.”
Itulah cinta, siap mengorbankan apa saja. Sepertinya Devon begitu mencintai Audrey, terlepas dari status budaknya.
“Lebih cepat lebih baik.” Caroline pun berjalan meninggalkan Audrey sendirian, melirik sekilas ke arah dua pria yang tersenyum padanya.
Setelah gadis itu benar-benar pergi, Derich buka suara. “Apakah kau lihat raut wajah Keith? Benar-benar pemandangan yang luar biasa.”
“Aku tak tertarik sama sekali,” kata Eugene menatap tajam ke arah Audrey. Beberapa kali, pria itu mengerutkan kening seperti memikirkan sesuatu. Namun satu menit kemudian, dia malah balik badan dengan cepat, berjalan menjauh meninggalkan tempat itu.
“Kau mau pergi kemana?”
“Aku sibuk!” jawab Eugene tanpa menolah. Hal yang perlu dipastikan adalah Caroline, dan ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan ditengah badai.
Pucuk dicinta, ulampun tiba. Eugene melihat Caroline menatap pohon besar jauh darinya.
“Apa yang kau lakukan disini?”
Tanpa menoleh, memang tidak sopan. Dan Caroline tak peduli sama sekali. “Hanya menikmati angin malam.”
“Aku punya kesepakatan denganmu,” kata Eugene mengawali pembicaraan mereka berdua. Seketika itu pula Caroline menoleh untuk mengamati setiap sudut wajah pria itu.
“Aku tak tertarik sama sekali,” ujarnya lirih.
“Aku ingin kau menjadi permaisuriku, menduduki tahta kerajaan.” Dengan penuh percaya diri, Eugene memerkan kekuasaannya.
Gadis itu menghela nafas panjang. Kekuasaan? Dia tak peduli sama sekali karena tak ingin.
“Sepertinya kau salah memberi tawaran,” jawabnya dingin.
“Seperti yang aku pikirkan, kau akan menolakku. Semakin kau menolakku, aku akan gencar mengejarmu.” Eugene memilih pergi setelah mengatakan ultimatum tersebut, dan Caroline hanya menanggapinya dengan gelengan kepala.
Semakin dia tinggal di dunia itu, semakin aneh pula orang yang ada di sekitar. Tiga pria yang selalu berada di sekitarnya membuat sesak tak karuan. Apakah di kerajaan tak ada wanita atau gadis yang bisa memikat mereka?
“Aku memikirkan hal yang tidak perlu.”
Caroline tak menyadrai, kalau Keith berada di sana, dekat dengannya. Entah kenapa perasaan marahnya kian menumpuk jauh lebih menggunung dari tadi.
Rahangnya mengeras dengan kepalan dua tangan yang cukup kuat. “Kenapa mereka tertarik padamu?” geram pria itu sambil memukul tembok.
Keith kesal setengah mati. Bukan hanya kesal, dia bahkan lebih cemas ketika memikirkan hubungannya dengan Caroline.
“Sialan! Sebenarnya perasaan apa ini?” Dengan langkah yang terburu-buru, Keith berjalan meninggalkan tempat itu, menuju ke ruangannya. Segera ia melampiaskan kekesalan terhadap beberapa berkas yang ada di atas meja.
Dulu pikirannya selalu rasional. Akan tetapi semenjak Caroline muncul, segalanya berubah. Dia menjadi tak bisa mengendalikan segala ekspresinya.
Setalah puas mengobrak-abrik isi ruangan. Devon masuk tanpa permisi dan terkejut bukan main. “Apa yang kau lakukan?”
“Keluar! Aku tak ingin melihat wajahmu itu, b******k!” teriak Keith cukup keras. Melihat Devon rasa sakit di dadanya semakin sesak tak karuan.
“Apa salahku? Kau aneh sedari tadi, mengajak berduel dan bahkan melakukan tindakan di luar kebiasanmu.” Devon menghela nafas panjang, lalu duduk di sofa dengan santai.
“Aneh!” Keith melempar pisau kecil ke arah Devon. Untung saja pria itu menghindar dengan cepat.
“Apakah kau ingin membunuhku? Tega sekali! Aku kan belum menikah?”
“Menikah!” Sekali lagi, Keith melempar pisaunya kembali.
“Hei..., kendalikan dirimu!” Devon mulai panik dengan kelakukan Keith yang tak masuk akal.
“Kau mau menikah dengan Caroline! Bagaimana aku bisa tenang?"
Pria itu mengutarakan isi hatinya cukup lantang, membuat Devon melongo kaget. Dari mana asal pikiran itu? Tawanya itu pun pecah seketika.
“Apakah kau cemburu?”
Melihat kawannya tertawa, Keith semakin kesal dibuatnya. Aura membunuh pria itu lantas terpancar keluar.
“Apakah kau mau main-main denganku?”
Seketika itu pula, mulut Devon langsung terkunci. Suasana yang semula kacau tambah kacau dan dingin. Aura-aura gelap pun mulai menyelimuti tubuh Keith. Pria itu hanya bisa mundur beberapa langkah ke belakang, sambil menelan ludah dengan susah payah.
“J-jangan membuatku takut, Keith. Kau salah paham.” Kedua tangan Devon di angkat tinggi-tinggi sambil menutup kedua matanya. “Aku mengajak Audrey menikah!”
Suara itu menggema di seluruh ruangan hingga tiga kali. Keith pun menjatuhkan pisaunya di lantai. Lantas aura membunuhnya menghilang begitu saja.
Untuk memastikan keselamatannya, Devon mengintip dengan satu mata, merasa lega karena Keith sudah tenang.
“Apa kau bilang? Katakan sekali lagi...,” ujar Keith dengan nada lembut, sangat menantikan perkataan Devon untuk memastikan bahwa telinganya baik-baik saja.
Wajah lega terlihat jelas di pria itu. Keith langsung mendekatinya tanpa pikir panjang. “Kenapa kau diam saja? Katakan lagi!”
Dia sangat tak sabaran.
Devon mengehela nafas panjang, “Sepertinya kau salah paham, aku mengajak Audrey menikah. Jadi, kecemburuanmu itu tak beralasan sama sekali.”
Cemburu, ucap Keith di dalam hati. Jadi perasaan kesal, marah, benci, sakit tertusuk tak berdarah adalah rasa cemburu. Pria itu pun menaruh tangannya di atas bibir, tersenyum dengan wajah merah merona miliknya.
“Apakah aku gila? Pasti aku salah lihat,” gumam Devon tak percaya dengan kenyataan yang dihadapi melihat tingkah bodoh temannya itu.