Ryan kembali membuat ulah dan memaksa Renata untuk menyelesaikannya. Renata tidak tahu harus bagaimana agar adiknya itu mengerti kalau mencari uang itu sangat sulit. Lelaki itu seharusnya menghemat untuk kebutuhannya sendiri.
"Mau bagaimana lagi, Ree. Semua sudah kejadian. Iya, kamu tinggal memberikannya lagi." Perkataan ibunya tidak membuatnya merasa tenang sama sekali.
"Ini semua terjadi karena Ibu sama Ayah terlalu memanjakan dia!" Renata sedikit berteriak. Bagaimana bisa dia menahan diri kali ini. Ryan, manusia tidak tahu diri itu menghabiskan uang semesternya demi mentraktir pacarnya makan. Renata menekan-nekan pelan kepalanya yang berdenyut nyeri karena ulah adiknya itu.
"Dia itu penerus keluarga—"
"Dia salah, Bu! Meskipun penerus keluarga kalau salah jangan membelanya. Kapan dia bisa mengerti kalau apa yang dilakukannya itu salah? Ayah sama Ibu terus menuruti keinginannya dia jadi semakin tidak tahu diri!" Renata memotong perkataan ibunya. Selalu saja kata itu yang membuat perilaku Ryan dimaklumi. Kali ini Renata benar-benar mengeluarkan apa yang dia pendam selama ini. Dia tidak akan mendapatkan perlakuan kasar dari kedua orang tuanya karena dia berada jauh dari mereka. Renata mendengar suara grasak-grusuk dari seberang sana, kemungkinan kalau telepon tersebut berpindah tangan.
"Kamu tidak berhak menilai Ryan seperti itu. Tugas mu hanya mencari uang untuk keperluannya selebihnya adalah urusan Ayah dan Ibu." Benar dugaan Renata. Kali ini ayahnya lah yang berbicara. Dan sekali lagi pria itu membuat Renata kecewa. Dia sepertinya tidak pernah dianggap anak oleh ayahnya itu.
"Baik, Yah. Kalau begitu teleponnya aku tutup. Aku harus kembali bekerja." Tidak menunggu balasan dari ayahnya Renata langsung memutuskan sambungan telepon tersebut. Tidak ada gunanya berbicara panjang lebar dengan keluarganya, mereka hanya akan terus menyalahkannya. Terkadang Renata merasa kalau dia tidak seharusnya dilahirkan. Dia belum pernah merasakan bagaimana kasih sayang orang tua. Dia hanya terus dituntut untuk mengabdi pada keluarganya tanpa adanya timbal balik. Renata tidak mengharapkan hal besar dari mereka, dia hanya butuh dihargai dan juga didengarkan.
Renata mengecek sisa uangnya, dia tidak memiliki banyak. Uang yang tersisa hanya cukup untuk makannya hingga gajian tiga hari lagi. Renata kembali memijit keningnya yang berdenyut nyeri. Dia menarik napasnya panjang lalu menghembuskan secara perlahan. Renata mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Hari ini adalah hari libur Renata. Dia baru saja selesai menjemur pakaian saat ibunya menelepon tadi. Sekarang dia memilih untuk bersantai di depan televisi. Mencari acara hiburan untuk mengembalikan mood-nya. Renata mendengar pintu rumahnya diketuk. Renata mendesah kecil, dia sedang dalam kondisi malas bertemu dengan siapa pun. Renata mematikan televisi lalu diam tidak bergerak sedikit pun. Dia berharap siapa pun yang berada di depan rumahnya itu mengerti kalau dia tidak menerima tamu.
Suara ketukan di pintunya kembali terdengar bahkan kali ini lebih keras. Renata masih memilih diam, dia sama sekali tidak berniat untuk membuka pintu menemui tamu yang tidak diundang tersebut. Renata menghentakkan kakinya terpaksa berdiri lalu melangkah menuju pintu. Tamu yang tidak diundang itu semakin brutal mengetuk pintunya.
Renata membuka pintu lalu melihat tamunya dengan tatapan tidak suka yang sengaja dia perlihatkan.
"Bang Gabe?" Renata buru-buru mengubah ekspresinya begitu yang datang adalah pemilik kontrakan. Pria yang berdiri dengan gagah di depan Renata itu melirik ke dalam rumah kontrakan yang Renata tempati.
"Maaf, Abang ada perlu apa?" Orang-orang yang mengontrak di sana memanggil Gabe dengan panggilan Abang. Itu karena Gabe lebih suka dipanggil Abang dari pada Mas atau Bapak. Alasannya, karena dia berasal dai suku Batak dan dia juga belum jadi bapak-bapak. Kecuali mereka yang sudah berkeluarga dan usianya lebih tua dari Gabe, mereka memangilnya dengan nama depan saja. Dan tentu saja Gabe tidak keberatan dengan hal itu.
"Pemeriksaan rutin," jawab Gabe. Di kontrakan itu Gabe menerapkan pemeriksaan rutin, tujuannya untuk menghindari masalah. Sebelum ini pernah terjadi kalau salah satu yang mengontrak di kontrakan miliknya merupakan pengedar dan pemakai narkoba. Karena hal itu dia harus berurusan dengan pihak berwajib. Sejak hari itu Gabe menerapkan pemeriksaan rutin setiap tiga sampai empat bulan sekali. Orang-orang yang mengontrak di sana tidak keberatan dengan hal itu karena sejak awal sebelum mereka memutuskan untuk tinggal di sana, Gabe sudah menjelaskan syarat tersebut.
"Boleh saya masuk?" Renata mengangguk lalu menyingkir untuk memberikan Gabe jalan. Renata mengikuti langkah Gabe dari belakang. Dia sedikit heran karena biasanya pemeriksaan rutin dilakukan oleh orang suruhan pria itu. Gabe memiliki beberapa orang bawahannya untuk melakukan pemeriksaan, dan biasanya lagi pemeriksaan rutin selalu dilakukan oleh dua orang laki-laki dan perempuan.
Yang laki-laki akan mendatangi penghuni laki-laki begitu juga sebaliknya, yang perempuan akan mendatangi penghuni perempuan. Renata menatap Gabe curiga, dia adalah seorang perempuan dan Gabe adalah laki-laki lalu orang ketiganya adalah setan. Renata mundur lalu membuka pintu lebar-lebar. Gabe yang melihat itu mendengus.
"Tidak usah takut. Saya sama sekali tidak bernafsu sama kamu. Jujur saja kamu bukan tipe saya," kata Gabe datar. Dia lalu berdiri di depan pintu kamar Renata.
"Saya paham kalau masalah tipe. Tapi, kan bisa saja pas setan lewat, Abang tergoda terlebih kita hanya berdua di sini." Gabe menatap Renata sejenak lalu menggelengkan kepalanya.
"Bahkan jika Raja setan datang membujuk saya, saya tetap tidak tergoda menyentuh kamu." Gabe berbalik, dia memilih tidak masuk ke dalam kamar Renata.
"Bagian kamar kamu, asisten saya yang akan periksa nanti." Gabe lalu keluar dari kontrakan Renata tanpa pamit. Dia sama benar-benar tidak melihat kearah Renata lagi. Seolah membuktikan pada Renata kalau dia benar-benar tidak tertarik pada perempuan itu.
Renata menutup pintu tepat di belakang Gabe. Sejujurnya dia merasa sedikit tersinggung dengan perkataan Gabe. Apakah dia tidak semenarik itu? Tidak, dia tidak berharap Gabe tergoda dengannya, hanya saja kata-kata Gabe sedikit melukai perasaannya. Sembilan dari sepuluh orang yang dia temui memuji parasnya yang cantik. Renata percaya diri kalau wajahnya tidak seburuk itu.
Ingin marah namun, Renata tidak bisa melampiaskannya. Dia kembali duduk di atas karpet menghadap televisi yang layarnya gelap. Lamunannya kemudian buyar karena dering ponselnya.
"Halo ..." Renata menerima panggilan tersebut tanpa melihat nama si penelepon lebih dulu.
"Halo, Kak Ree." Si penelepon menyapa Renata dengan suara yang menyebalkan.
"Apa?" tanya Renata pendek. Dia menyesal menerima panggilan telepon itu. 'Dasar biang masalah' maki Renata dalam hatinya.
"Ibu sudah menghubungi Kakak, kan?" Ryan bertanya santai. Sikapnya menunjukkan kalau dia tidak merasa bersalah telah menghabiskan uang semesternya untuk hal yang tidak berguna.
"Sudah," jawab Renata.
"Bagus, deh. Jadi, Kakak sudah tahu, kan berapa uang jatah ku bulan ini?" Renata tertawa keras. seolah apa yang Ryan ucapkan adalah lelucon.
"Tidak ada penambahan, Ian. Uang semester kamu sudah aku bayarkan dan karena kamu tidak menggunakan uang itu sebagaimana mestinya maka, kamu harus bertanggung jawab sendiri. Aku juga sudah membicarakan hal ini dengan Ibu. Ibu setuju kalau kamu harus bertanggung jawab untuk hal ini." Renata berbohong. Dia ingin mengerjai adiknya itu, mari kita lihat bagaimana reaksi seluruh keluarganya.
"Kamu pasti berbohong, kan, Kak? Aku sudah berbicara dengan Ibu sebelum ini. Dia bilang kalau dia akan membicarakannya dengan kamu."
"Tidak, aku tidak berbohong. Ibu memang mengatakan demikian." Renata sudah bisa menebak akan seperti apa percakapan antara Ryan dan ibu mereka nantinya. Jika Ryan meninggikan suaranya maka, ibu mereka akan mengalah lalu menghubunginya. Renata akan dijadikan pelampiasan kemarahan ibunya itu.
"Kalau mau pacaran yang seadanya aja, Ian. Tidak perlu memaksakan diri mentraktir pacarmu. Aku yakin kalau perempuan itu mencintai kamu, dia pasti menerima kamu apa adanya." Renata mencoba menasehati adiknya itu.
"Tidak perlu menasehati ku, Kak. Berikan saja uangnya, agar aku cepat lulus kuliah." Ryan terdengar tidak senang dengan apa yang Renata ucapkan.
"Aku sudah memberikan uang semester mu. Dan kalau kamu berulah, iya tanggung jawab sendiri." Renata lalu memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Dia lalu menunggu panggilan telepon dari ibunya. Dia yakin kalau Ryan langsung mengadu pada wanita yang melahirkannya itu. Renata menghitung dalam hati. Ternyata cukup lama hingga panggilan telepon dari ibunya masuk. Renata menunggu hingga tiga puluh menit. Dia sangat penasaran dengan apa yang mereka bicarakan.
"Hal—,"
"Kalau kamu memang tidak sanggup lagi memberikan uang pada adikmu sebaiknya kamu katakan dari awal!" Renata sontak menjauhkan ponsel dari telinganya. Dia kaget mendengar suara keras ayahnya. Perkiraannya melenceng, rupanya Ryan mengadu pada sang ayah.
***