Awal
"Ayah tidak setuju kamu kuliah. Biar bagaimanapun kamu itu hanya seorang perempuan. Di mana perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya kalian itu hanya berada di dapur." Renata tidak terkejut mendengar hal itu. Dia sudah lama merasakan kalau kasih sayang kedua orang tuanya berbeda kepada kedua adik laki-lakinya. Dia mengerjakan pekerjaan rumah seorang diri dan keduanya hanya bermain.
"Tapi, Yah. Ini Renata dapat beasiswa." Renata saat ini sedang duduk bersama seluruh keluarganya. Dia baru lulus dari sekolah menengah atas dan tadi pagi dia mendapatkan kabar baik kalau dia diterima di salah satu perguruan tinggi negri dengan jalur beasiswa. Sejak dia menginjakkan kakinya di bangku sekolah, dia selalu menjadi yang pertama di kelasnya. Renata belajar dengan giat agar bisa membuat kedua orang tuanya senang. Namun, selama ini tanggapan mereka biasa saja. Seperti tidak ada hal spesial yang dia lakukan. Berbeda jika itu salah satu dari kedua adiknya. Maka apapun yang mereka minta, kedua orang tuanya akan berusaha keras memenuhinya.
"Ayah tetap tidak menyetujui kamu kuliah. Akan lebih baik kamu cari kerja lalu bantu kedua adikmu hingga mereka lulus perguruan tinggi." Renata ingin sekali tertawa keras di hadapan ayahnya. Dia selalu dipaksa mengalah kepada dua adik laki-lakinya.
"Aku bisa bekerja sambil kuliah, Ayah." Renata masih belum menyerah. Dia mencoba membujuk Ayahnya sekali lagi. Namun, keputusan ayahnya sudah bulat.
"Kamu akan lebih maksimal kalau kerja saja. Kalau sambil kuliah, uang yang kamu hasilkan tidak akan besar." Renata melirik kedua adiknya dan juga ibunya yang hanya diam saja. Tidak ada yang masuk ke dalam pembicaraannya dengan sang Ayah.
"Bagaimana pendapat Ibu?" Renata menatap ibunya dalam, berharap wanita yang telah melahirkannya itu memiliki pendapat yang sama dengannya.
"Ibu ikut kata Ayah saja," kata wanita itu membuat putri satu-satunya itu menghela kecewa.
"Sudah sejak dulu aku merasa kalau perlakuan Ayah dan Ibu itu berbeda. Kalian lebih condong kepada Ryan dan Randy. Apapun yang mereka minta kalian pasti akan menurutinya berbeda denganku yang harus berusaha keras dan itu pun tidak pernah berhasil." Sejak dulu Renata tidak pernah protes mengenai perbedaan yang dia alami. Namun kali ini dia ingin tahu alasan ayah dan ibunya.
"Tidak ada yang berbeda, kamu saja yang merasa seperti itu," kata sang Ibu sembari tersenyum. Berbeda dengan ucapan ibunya, apa yang ayahnya katakan justru membuat Renata ingin cepat-cepat keluar dari rumah itu.
"Kamu adalah anak perempuan, suatu hari nanti kamu akan meninggalkan keluarga ini untuk tinggal dengan suami kamu. Sementara kedua adik kamu mereka akan menjadi penerus keluarga kita. Mereka harus bersekolah tinggi untuk bisa mengubah garis keturunan. Karena itu sebelum kamu menikah, kamu harus bisa membawa kedua adik mu menyelesaikan sekolah mereka di pendidikan yang tinggi. Ayah tidak mengizinkan kamu menikah setidaknya sebelum kedua adik kamu menyelesaikan pendidikan mereka. Atau lebih bagus lagi tunggu mereka sampai sukses kamu baru boleh berhubungan dengan laki-laki. Kami tidak ingin membesarkan anak perempuan yang tidak bisa diandalkan."
"Aku akan berangkat ke Jakarta besok untuk mencari pekerjaan," kata Renata menutup pembicaraan itu. Dia lalu masuk ke dalam kamarnya yang sangat sempit. Lagi-lagi berbeda dengan kedua adiknya yang memiliki kamar yang lebih luas darinya. Renata menyusun pakaiannya ke dalam sebuah tas travel yang memang sudah dia siapkan dari jauh-jauh hari karena berpikir dia akan pindah ke kota untuk kuliah. Ternyata dia harus merelakan mimpinya untuk menjadi seorang guru.
Renata bertekad kalau dia tidak akan berhenti di sini. Dia akan menyisihkan uangnya untuk pendidikannya kelak. Dia tidak akan menerima begitu saja perlakuan Ayahnya. Akan dia buktikan kalau dia bisa lebih baik dari segala hal dibandingkan kedua adik laki-lakinya.
***
Waktu cepat berlalu, sudah tiga tahun Renata berada di Jakarta, selama tiga tahun ini semua masalah dia hadapi sendiri. Tidak mudah memang namun, sejauh ini dia berhasil melewatinya. Dan dalam tiga tahun itu dia belum pernah pulang ke rumah orang tuanya. Bagaimana mau pulang kalau semua uangnya habis dia kirim ke kampung semua. Meski dia memiliki dua pekerjaan, hal itu tidak lantas bisa memberinya ruang untuk menabung. Terkadang adiknya menghubunginya untuk meminta uang bahkan sebelum dia gajian.
Renata bekerja pada sebuah toko pakaian yang cukup besar. Toko pakaian yang sudah memiliki nama di Indonesia. The Fashion House memiliki lebih dari seratus cabang di seluruh Indonesia. Renata akan bekerja pagi hingga sore di sana lalu setelahnya dia akan bekerja di restoran cepat saji yang buka dua puluh empat jam. Renata masuk dari jam enam sore lalu pulang saat jam dua belas malam. Jam kerjanya dia restoran cepat saji hanya enam jam berbeda saat dia bekerja di toko pakaian yang menerapkan sistem kerja delapan jam.
Renata tiba di rumah yang sewa saat jam menunjukkan pukul dua belas lebih tiga puluh menit. Perempuan itu menaruh tasnya lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur. Renata menatap jauh ke langit-langit kamarnya. Dia berharap adiknya cepat lulus agar dia bisa keluar dari tekanan keluarganya. Dia sudah membuat rencana setelah kedua adiknya lulus nanti.
Renata bangkit saat merasakan perutnya berbunyi. Dia melupakan makan malamnya. Dia lalu mengambil tasnya mengeluarkan jatah makan yang dia dapat dari restoran. Renata membaginya jadi dua bagian. Dia lalu menyimpan satu bagian di dalam kulkas kecil miliknya untuk dia makan besok pagi. Sejenak Renata menatap kulkas itu. Teringat bagaimana dia berebutan dengan tetangga kontrakan untuk mendapatkan benda itu. Karena kulkas tersebut adalah bekas tetangganya yang lain yang saat itu hendak pindah. Lamunan Renata terganggu dengan suara yang bersumber dari perutnya. Sebelum makan dia minum segelas air terlebih dahulu. Hal tersebut bertujuan agar dia cepat kenyang.
Saat perempuan itu makan, ponselnya berdering tanda panggilan masuk. Renata mengintip dari tempat karena benda itu dia letakkan di lantai yang cukup jauh dari jangkauannya. Jantung Renata berdetak kencang. Yang menghubunginya adalah adik pertamanya, Ryan. Dia segera meninggalkan makanannya dan mengambil ponsel tersebut.
"Halo ..." Renata langsung menerima panggilan tersebut. Dia berpikir terjadi sesuatu dengan orang tuanya karena tidak biasanya adiknya menelepon saat dini hari seperti ini.
"Kak Renata masih bangun?"
"Iya, ada apa?" Renata bertanya tidak sabar.
"Paket internet ku habis, Kak. Tolong isikan sekarang, iya." Renata langsung mematikan sambungan telepon. Rasanya dia ingin sekali memaki adiknya itu. Jika hanya paket internet yang habis, tidak bisakah dia menunggu hingga besok?
"Dasar pemalas yang tidak berguna!" Maki Renata kesal. Dia lalu melanjutkan makannya mengabaikan puluhan pesan yang dikirimkan oleh adiknya itu.
***