Bab 2

1135 Words
“Maafkan Andra, Ma! Selamat tinggal semuanya! Andra akan tetap melanjutkan pernikahan ini! Karena sejak ijab qabul waktu itu, Andra bukan hanya berjanji pada ayahnya Tari akan menjaganya. Namun dalam hati sudah berjanji pada Allah untuk melaksanakan ibadah terpanjang ini bersamanya!” Wajah Marni yang tadi tersenyum mendadak pudar. Raut wajahnya berubah penuh kekesalan. Dia menatap tajam pada anak lelaki paling bontotnya itu. “Mama tidak main-main Andra! Apakah kamu yakin bisa bertahan tanpa dukungan keuangan dari kami, hah?” Marni naik pitam. “Andra juga tidak main-main, Ma! Apakah Mama pikir pernikahan Andra ini hanya permainan? Apakah janji-janji yang Andra ucapkan di depan semua orang dan Allah juga permainan? Tidak, Ma! Andra serius dengan pernikahan ini dan semua ini pilihan Andra sendiri!” Marni tersenyum meremehkan. Ditatapnya Tari---wanita yang belum lama menjadi menantunya itu. “Saya tidak tahu kamu memberikan apa pada anak saya hingga dia jadi pembangkang seperti ini! Tapi kamu jangan merasa menang dulu, saya yakin kamu pun tidak akan bertahan dan memilih lelaki yang tidak memiliki apa-apa! Kamu pasti memilih Andra karena tahu dia orang kaya ‘kan?" ucapnya berhenti sebentar, kemudian melanjutkan kembali ucapannya. "Mulai dari kalian melewati ambang pintu, saat itu juga Andra saya coret dari daftar penerima warisan keluarga dan silakan keluar dari perusahaan kami!” ucap Marni sambil menaikan satu alisnya. Tari memandang wanita yang tampak menatapnya bak mata elang itu. Hatinya tergores pedih atas semua tuduhan tanpa dasar yang dilontarkannya. “Mama! Sudah! Andra mohon jangan menyalahkan Tari lagi atas semua ini … Andra yang memilihnya untuk menjadi istri! Kalau itu yang mama inginkan, baik … Andra akan segera mengajukan surat pengunduran diri pada Kak Hans besok!” Andra melangkah yakin. Lelaki itu kembali menggamit jemari sang istri dan berjalan menuju pintu. Mereka melangkah keluar diiringi tatapan kesal dari Marni. Buka bersama itu selesai, tanpa setetes air pun yang membasahi kerongkongan Tari. Hanya lelah dan hinaan yang dia dapatkan dari sang mertua. Namun genggaman tangan sang suami mampu membuat hatinya menghangat. Ada desir pedih dan syukur mengisi hatinya bergantian. Sedih atas perlakuan sang ibu mertua tapi bersyukur memiliki suami sebaik Andra. Mobil Avanza yang mereka tumpangi melaju meninggalkan kediaman Marni. Tidak banyak percakapan yang terjadi selama dalam perjalanan pulang. Masing-masing diam dan sibuk dengan pikirannya. Setibanya di rumah minimalis yang selama ini mereka tempati. Andra memarkir mobilnya di halaman. Wajah Tari tampak sudah pucat sekali. “Sayang, kamu baik-baik aja ‘kan? Kita ke dokter ya abis buka nanti!” ujarnya sambil membuka pintu mobil dan berlari kecil menuju pintu sebelah di mana sang istri masih bersandar pada jok dan memejamkan mata. “Hmmm … aku Cuma kecapekan, Mas! Gak mau ke dokter!” ujar Tari namun belum berpindah dari posisinya. Lemas sekali tubuhnya dirasa. Tari perlahan beringsut hendak turun ketika dua tangan kekar itu tiba-tiba membopong tubuhnya. “Mas, lepas ih!” Tari terkejut ketika tubuhnya terasa melayang. Kini dia sudah berada di dalam rengkuhan sang suami. “Udah kamu diem! Nurut aja sih!” ujar Andra sambil melangkah cepat menuju pintu. “Aku masih bisa jalan, Mas!” ucap Tari. “Iya, Mas tahu!” Hanya itu jawaban dari Andra. Namun tetap tidak menurunkan sang istri dan tetap membopongnya. Dengan susah payah Andra memutar kunci. Akhirnya pintu terbuka. Andra membaringkan sang istri pada sofa. Dipegang keningnya ternyata tidak panas, mungkin benar hanya kelelahan. Lelaki itu bergegas ke dapur mengambil air bening, membuatkan satu gelas teh manis hangat. Tidak berapa lama, Andra kembali ke ruang tengah, tampak Tari masih meringkuk di sofa. Posisinya hanya memutar saja tapi masih ada di sana. “Sayang, minum dulu … belum buka ‘kan?” Andra menyodorkan gelas berisi air bening pada mulut sang istri setelah membantunya bersandar. “Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma laka shumtu wabika amantu wa ‘ala rizqika afthartu birahmatika yaa arhamar rahimin!” Tari membaca doa berbuka sebelum setetes air membasahi kerongkongannya. “Alhamdulilah!” ucapnya penuh syukur setelah rasa panas dan haus yang luar biasa perlahan mulai sirna. Andra tersenyum menatap wajah sang istri yang terlihat lebih segar. Air dalam gelas yang disedikannya sisa setengah. Kemudian Andra pun melakukan hal yang sama. Dia membasahi kerongkongannya dengan air dari gelas yang sama dari gelas yang diminum Tari. Wanita itu menatap sang suami. “Mas, kok minum bekas Tari?” tanyanya. “Rasulullah saja minum pada bekas gelas Sayyidah Aisyah RA, kenapa aku tidak boleh minum pada gelas bekas istriku minum?” ujar Andra sambil mengulum senyum. Kemudian tangannya mengambil teh manis. Disendoknya sedikit dan dicicipinya. Kemudian dia beralih pada sang istri dan menyodorkan sendok berisi teh manis untuk Tari. “Mas, ih … aku harusnya yang melayani suami! Bukan seperti ini!” Tari tampak merasa malu. Namun Andra hanya tersenyum. “Tujuanku menikah itu untuk beribadah … jika hanya istri saja yang melayani suami berarti pahala akan mengalir buat sang istri saja, aku gak kebagian dong? Bukankah dengan memanjakan istri juga bisa menyenangkan hatinya? Aku pun ingin memiliki nilai kebaikan dalam rumah tangga ini!” ucap Andra sambil menyuapi Tari sendok demi sendok teh manis yang sudah dikipasinya. Tari menatap Andra dengan lekat. Ada perasaan hangat mengalir dalam d**a. Sayang? Cinta? Entahlah? Mungkin keduanya. Desir-desir bahagia mengukir tahta dalam singgasana hatinya. Tetes-tetes air mata mengalir pada pipi Tari yang tampak merona. Mewakili haru yang menyelimuti hatinya. “Sayang, kenapa menangis?” Andra tampak terkejut. “Aku laper, Mas! Dari tadi dikasih air saja sama teh manis doang!” seloroh Tari membuat tawa berderai diantara keduanya. Padahal Tari menangis karena tersentuh atas kebaikan sang suami. Mereka kemudian melaksanakan shalat maghrib berjamaah. Menghadap sang pencipta melaksanakan kewajiban sebagai makhluk yang sudah diberikan nikmat tiada tara oleh sang pencipta. Yang terkadang mereka abai dan tidak merasa betapa berlimpahnya semua pemberian Sang Maha Kuasa. Ada mata yang bisa melihat dengan sempurna. Ada telinga yang bisa mendengar, mulut yang bisa bicara, lidah yang bisa mengecap rasa dan hati yang bisa memilah baik dan buruk. Dan nikmat dipertemukan dengan pasangan yang penuh kasih dan kelembutan. Setelah selesai shalat maghrib, Andra bergegas mengajak Tari mencari makanan. Karena kesibukan sang istri di rumah ibunya hingga mereka tak memiliki persediaan untuk berbuka. Andra sengaja mengajak Tari ikut serta sekalian membawa alat shalat karena setelahnya akan langsung menuju masjid untuk tarawih. Mereka sudah ada di salah satu penjual makanan dan menunggu dua porsi disiapkan ketika suara seseorang memanggil dari arah samping. “Riri!” Seseorang menatap Tari. Lelaki berhidung mancung yang mengenakan kaos putih polos dan celana dibawah lutut itu berjalan menghampiri. Dia baru saja keluar dari Alphard putihnya yang tampak mengkilau. Rambut sebahunya diikat ke belakang. Andra menatap pada lelaki berparas rupawan tersebut dengan memicingkan mata. Wajah Tari tampak terkejut, dia melirik sekilas ke arah Andra. Namun lelaki itu masih menatap tajam pada lelaki yang sedang melenggang ke arah mereka dengan hati bertanya-tanya. “Siapa dia, Sayang?” Andra bertanya pada sang istri tanpa mengalihkan pandangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD