Mimpi buruk

1028 Words
Mata Ajeng terbuka saat cahaya matahari menusuk kelopak matanya. Ia seolah lupa dengan kejadian yang menimpanya. Tapi sekujur tubuhnya sakit apalagi di daerah k*********a. Dia mencoba mengingat serpihan kejadian tadi malam. Meneer sudah menyelamatkannya semalam. Ajeng memaksakan diri untuk bangkit dengan langkah terseok-seok karena kakinya belum juga sembuh. Dia melihat sarapan sudah tertata rapi di meja. Meneer tampak sedang menyeduh kopi buatannya sendiri. "Kau sudah bangun? "tanya Meneer menoleh padanya. " Maaf Meneer saya bangun kesiangan " Ajeng tak enak hati karena dia melalaikan tugasnya. "Duduklah" perintah Meneer. Ajeng bingung harus duduk dimana saat dia akan duduk di lantai Meneer melotot marah padanya. "Duduk di kursi Ajeng! " titahnya. Ajeng menelan ludahnya kasar lalu duduk di kursi. Di depannya sudah ada pancake yang harum dan menggugah selera. Ajeng tidak pernah makan ini sebelumnya. Biasa di desa dia hanya makan singkong atau ubi rebus yang ditaburi gula. Ajeng tak bisa makan pakai garpu dan sendok. Dia bingung bagaimana cara memakannya. Meneer ikut duduk dan memakan makanannya. Dia memperhatikan Ajeng yang sama sekali tidak menyentuh makanannya. "Kenapa tidak makan? " tanyanya dingin. "Anu.. saya tidak bisa pakai garpu dan pisau ini" Ajeng hanya menatap makannya itu sambil menunduk. Meneer menghela nafas panjang. Dia berbaik hati mengambil piring Ajeng dan memotongnya menjadi bagian kecil-kecil lalu menyerahkan kembali pada Ajeng. "Tusuk pakai garpu seperti ini dan masukkan ke dalam mulutmu" ucap Cornelis mencontohkan cara makan yang benar pada Ajeng. Ajeng melakukan intruksi yang dilakukan oleh Cornelis. Dia memasukkan potongan pancake itu di dalam mulutnya. Matanya berbinar sungguh lezat sekali. Dia tidak menyangka Cornelis bisa memasak seenak ini. "Enak" gumam Ajeng tanpa sadar hingga bisa didengar oleh Cornelis. Batin Ajeng bertanya-tanya kemana Louis sekarang. Apakah Cornelis melepaskannya begitu saja. Tapi dia tidak berani bertanya dan fokus dengan makanannya saja. "Hari ini istirahat saja. Tidak usah masak atau semacamnya. Saya akan membawamu ke suatu tempat" Cornelis menyudahkan makannya lalu dia bangkit menuju kamarnya. Ajeng juga sudah selesai makan. Dia membereskan semuanya dan mencuci bekas makan mereka. Tak lama kemudian Cornelis datang dengan memakai pakaian santai yang tak pernah Ajeng lihat sebelumnya. Cornelis tampak terlihat tampan sampai membuat Ajeng menundukkan pandangannya. "Ikut saya" Cornelis berjalan duluan mendahului Ajeng. Ajeng langsung mengekor dari belakang sampai di depan rumah dia melihat sebuah kuda berwarna cokelat yang sudah dipersiapkan oleh orang suruhan Cornelis. Tangan Cornelis menyentuh kuda itu seakan mereka sudah akrab sedari lama. Kuda itu tampak tenang saat disentuh oleh Cornelis. "Ajeng kemari! " perintah Cornelis. Ajeng mendekat ke arah Cornelis dengan cepat. "Apa yang akan kita lakukan Meneer?" tanya Ajeng bingung. Tiba-tiba saja Cornelis mengangkat tubuhnya Ajeng untuk naik ke atas kuda itu hingga membuatnya terpekik kaget. Cornelis mencoba menenangkan kuda itu agar tidak memberontak. "Meneer turunkan saya!! saya takut!! " seru Ajeng ketakutan. "Tenang Ajeng, jika kau tidak bisa tenang jangan salahkan saya jika kamu terjatuh dan tulang rusukmu akan patah" peringat Cornelis. Lalu Cornelis ikut naik dan duduk di belakang Ajeng. "Jangan takut saya ada di belakangmu" Cornelis memegang tali kendali lalu menggerakkan kakinya menyentuh tubuh kuda itu agar bergerak. Kuda itu memekik lalu berlari dengan kecepatan sedang. Ajeng memejamkan matanya. Dia takut akan terjatuh tapi deru nafas Cornelis yang menyentuh tengkuknya membuatnya merasa berdebar. Punggungnya menempel erat dengan d**a bidang pria Belanda itu. Lalu mereka sampai di sebuah lapangan tembak yang sangat luas. Disana Cornelis turun duluan baru dia membawa Ajeng turun bersamanya. Lalu dia mengikat tali kuda itu di sebuah pohon. Ajeng belum pernah melihat lapangan ini karena area ini dilarang untuk dimasuki oleh warga sekitar. "Meneer mau apa kita kemari? " tanya Ajeng. "Jangan banyak tanya dan ikuti saya" Cornelis lagi-lagi selalu meninggalkannya duluan. Ajeng melihat beberapa serdadu Belanda melewatinya. Mereka bersiul menggoda Ajeng yang terlihat cantik di mata mereka. Hanya saja Ajeng menatap mereka penuh kebencian. Merekalah yang sudah membunuh suaminya. Sampailah mereka di arena tembak itu. Cornelis memasang kacamata khusus sebelum dia mengambil senjata api laras panjang. Dia menembak tepat di tengah papan sasaran dalam satu bidikan. Ajeng hanya bisa menatap tak percaya Cornelis bisa melakukan itu. "Giliranmu" Cornelis memberikan senjata laras panjang itu pada Ajeng. Tangan Ajeng gemetar saat memegang senjata itu. "Jangan takut dan tembak papan disana" perintahnya. Ajeng melakukan sesuai intruksi Cornelis tapi beberapa bidikannya meleset tak tepat sasaran. "Bayangkan mereka yang sudah menghancurkan hidupmu Ajeng" Cornelis meracuni pikiran Ajeng agar Ajeng bisa fokus dengan bidikannya kali ini. Dalam bayangannya Orang-orang yang memperkosa dirinya dan membunuh keluarganya ada disana.Orang-orang yang membunuh suaminya ada disana. Dan terakhir Louis pria j*****m itu juga ada disana. Kemarahan Ajeng berkumpul menjadi satu. Dia menembakkan satu bidikannya tepat di tengah sasaran. Cornelis tersenyum kagum lalu bertepuk tangan. "Goed werk (Kerja bagus) " puji Cornelis. Beberapa tentara Belanda menatap aneh pada Cornelis yang membawa dan mengajarkan wanita pribumi cara menembak. Pemandangan ganjil yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Tapi mereka tidak berani mengusik mantan jenderal mereka itu. Cornelis dulunya adalah pimpinan mereka. Tapi tidak lagi karena dia lebih ingin fokus dengan perkebunannya. Salah satu tentara Belanda itu adalah Frederick sepupunya Cornelis. "Goedemorgen odere neef (Selamat pagi kakak sepupu) " sapa Frederick pada Cornelis. "Goedemorgen" jawab Cornelis. "Tumben kakak kemari? dan kenapa kakak membawanya? " Frederick menatap Ajeng dari atas kebawah. Sedangkan Ajeng menatapnya penuh permusuhan. "Hanya jenuh saja apa tidak boleh?" "Tentu saja boleh kak. Siapa namamu cantik?" tanya Frederick. "Saya adalah malaikat pencabut nyawamu j*****m" batin Ajeng sambil mengepalkan tangannya. "Tidak penting siapa namanya. Kami harus kembali. Sampai jumpa lagi" Cornelis membawa Ajeng pulang menaiki kuda kembali kerumah. Frederick tersenyum miring. Dia merasa ada hal aneh dari hubungan Cornelis dan wanita pribumi itu. *** Mimpi-mimpi buruk terus menghantui Ajeng. Keringatnya bercucuran membasahi keningnya. "Tidak!! jangan!! hentikan!! " Ajeng mengigau dalam mimpinya. Dia merasa dikejar-kejar oleh Louis dan para b******n yang sudah merusaknya. Hingga di melihat wajah Frederick yang mengacungkan senjata api tepat di kepala Diman suaminya. "Tidaakkkk!!! " jeritnya lalu terbangun dari mimpinya. "Ajeng? kamu kenapa? " tanya Cornelis ikut bangun karena Ajeng berteriak-teriak. Dia terbangun dan masuk kedalam kamar Ajeng. Tiba-tiba saja Ajeng memeluk Cornelis sambil menangis. Cornelis hanya diam tidak membalas pelukannya. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Malam itu Cornelis untuk pertama kalinya tidur seranjang dengan Ajeng. Hingga nafas wanita itu mulai teratur Cornelis masih disana menemaninya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD