Bu Narti tersenyum lebar melihat Rania yang membuka pintu kamarnya.
"Dipanggil Pak su. Dia nunggu di meja makan. Ngajak makan malam bareng. Ibu masak soto Lamongan loh. Enak deh,"
Rania seketika bingung. Alarik mengajaknya makan malam bersama?
Dia amati wajah Bu Narti yang masih pucat.
"Ibu sudah fit?" tanyanya.
"Kalo masak-masak dan beberes di dapur sudah bisa. Yuk."
Rania masih ragu.
"Sebentar, Bu. Aku ganti baju dulu," ujar Rania.
Bu Narti tersenyum mengangguk. Dalam hati dia sangat memuji Rania. Meskipun diperlakukan tidak adil oleh suaminya, masih saja berusaha menunjukkan sikap baik.
"Hm, maaf, Bu. Aku tutup pintunya dulu ya," ujar Rania yang segera ingin menukar bajunya. Dia tidak ingin Bu Narti tersinggung jika dia menutup pintu kamar di hadapannya.
Bu Narti menoleh ke belakangnya sebentar. Dia tahan pintu kamar yang hendak Rania tutup. Dia malah memasuki kamar Rania.
Rania biarkan Bu Narti duduk di atas tempat tidurnya sambil mengamati isi kamarnya setelah pintu kamarnya dia tutup rapat-rapat.
Tampak wajah Bu Narti menunjukkan keresahan. Tangannya yang bertumpu di atas pangkuannya terlihat gemetar saat kepalanya memutar ke seluruh penjuru kamar Rania.
Tapi sesaat kemudian, wajahnya berubah ceria.
"Tadi pagi Pak Alaric nanyain kamu. Motormu ada, tapi kamunya nggak ada. Dia hari ini nggak ngantor. Katanya nggak ada yang siapin bekal siang," ujar Bu Narti dengan senyum yang dipaksakan. Sepertinya dia merasa bersalah saat melihat isi kamar Rania. Sebelumnya dialah yang menyuruh Rania agar tinggal di kamar sempit ini dan berbohong kepada Alaric bahwa Rania yang memilih kamar ini.
Rania diam tidak menanggapi apa yang diungkapkan Bu Narti. Dia sibuk memilih pakaian yang lebih rapi di dalam lemari pakaiannya. Sekarang yang melekat di tubuhnya adalah piyama tidur. Rania sebelumnya berencana setelah magrib, dia akan makan malam dengan roti yang dia bawa dari rumah Sherly, lalu memainkan ponselnya hingga isya tiba. Setelahnya, dia ingin segera tidur.
"Aku nggak lapar," ucap Rania seperti enggan ke ruang makan.
"Makan sedikit aja," bujuk Bu Narti.
Rania perbaiki kerudungnya sambil menghadap ke arah cermin kecilnya.
"Kamu nggak mau pindah kamar di samping dapur, Rania?" tanya Bu Narti pelan. Dia amati Rania yang sedang berhias tipis.
Rania menggeleng.
"Kamarnya lebih luas. Lebih luas dari kamarku. Kamar mandinya ada air panasnya lo ... hm ... bath up yang jacuzzi itu lo. Yang ada gelembung-gelembungnya. Masa nggak mau?"
"Aku lebih senang di sini, Bu," ucap Rania sambil mengoles bibirnya dengan lipbalm.
"Kamu ngambek, Ran?" tanya Bu Narti tiba-tiba.
Rania menghela napas panjang.
"Emangnya kamu ke mana seharian? Tumben nggak motoran?" kepo Bu Narti.
Rania tersenyum kecut. Tentu dia tidak mau menjawab. Sedikit sebal dengan sikap Bu Narti. Tapi dalam benaknya dia menilai bahwa Bu Narti tampak berusaha mengusir perasaan bersalahnya.
Bu Narti yang melihat Rania yang sudah cantik, rapi dan wangi, beranjak dari duduknya.
Keduanya ke luar dari kamar dan melangkah bersama menuju ruang makan.
Tampak Alaric sudah duduk di depan meja makan yang sudah dipenuhi makanan yang tertata rapi. Dia pun menoleh ke arah Rania yang melangkah menuju meja makan. Sementara Bu Narti langsung pergi menuju kamarnya yang berada di ruang tengah, sedikit berjarak dari dapur dan ruang makan.
Entah kenapa d**a Rania berdesir melihat mata suaminya yang mengamatinya. Baru kali ini dia merasa Alaric mengamatinya cukup lama. Mata Alaric bergerak-gerak memutar seolah ingin menilik sekujur tubuhnya yang tertutup pakaian longgar dan kerudung.
Rania duduk di atas kursi yang sudah di tarik ke luar dari meja makan, tepat di sisi Alarik. Aroma wangi tubuh Alaric tercium hidung Rania. Namun Rania tetap merasa was-was. Bayang-bayang wajah bengis Alaric saat memaksanya sekelebat terlintas di benaknya.
"Seharian ke mana aja?" tanya Alaric pelan. Dia sodorkan piring kosongnya ke hadapan Rania, memberi kode agar Rania mengambilkan makanan untuknya.
Rania diam tidak segera menjawab. Pandangannya tertuju pada nasi yang ada di hadapannya. Dia ambilkan dua sendok besar nasi ke atas piring Alaric.
"Kurangi sedikit," ucap Alaric. Matanya tidak lepas dari bibir Rania.
Rania kurangi porsi makan Alaric. Lalu lanjut mengambil nasi untuk dirinya sendiri.
"Ke rumah Om Alvaro?" tanya Alaric.
Rania mengangguk.
"Lain kali izin. Biasanya minta izin."
Rania memejamkan matanya sebentar. Bingung dengan keadaannya sekarang. Apa maksud semua ini? Apa semua suami seperti ini? Membingungkan dan bersikap seenaknya. Satu sisi dia senang Alaric bersikap baik, tapi kembali mengingat apa yang sudah Alaric perbuat sejak menikah dan mengakui tidak mencintainya, sampai pada kejadian semalam benar-benar membuatnya bingung sekaligus muak.
Alaric kembali sibuk dengan makannya. Sebentar-sebentar dia melirik ke Rania yang masih murung.
"Aku minta maaf," ucap Alaric akhirnya. Nasi di piringnya sudah hampir separuh dia habiskan.
Rania menghela lega. Kuah soto Lamongan buatan Bu Narti terasa sangat nikmat di seputar mulut dan tenggorokannya. Suara Alaric begitu merdu di telinganya. Dia tidak peduli apakah Alaric mengucapkan maafnya sungguh-sungguh atau sebaliknya. Baginya sudah cukup mengurangi kesedihannya.
"Ya, Mas," tanggap Rania pelan. Lalu dia kembali menyeruput kuah soto yang bercampur nasi panas.
Alaric kembali menikmati makannya hingga habis tak bersisa.
"Sakit?" tanya Alaric setelah melap-lap bibirnya dengan lap.
Rania mengangguk. Tak tahan dia menangis tertunduk mengingat lagi detail peristiwa yang menyakitkan. Pertanyaan Alaric pun menyakiti perasaannya. Untuk apa dia bertanya? Sakit? Sudah sangat jelas waktu itu dia menangis kencang dan Alaric sama sekali tidak mempedulikannya. Sakit?
Alaric amati Rania yang masih saja makan di tengah isaknya. Hingga tampak air mata Rania menetes dari hidungnya ke kuah soto yang sedang dia santap.
"Sorry," ucapnya sekali lagi. Dia sangat terenyuh dengan keadaan Rania.
Rania mengangguk lagi.
Alaric mengambilkan beberapa helai tisu dan menyerahkannya ke Rania.
"Om Alvaro menghubungiku," ujar Alaric disertai helaan napas panjang. Dia diam setelahnya karena merasa tidak perlu menjelaskan pembicaraan Alvaro dan dirinya. Yakin pasti Rania memahaminya.
Rania sedikit mendorong piringnya yang sudah bersih dari makanan dari hadapannya.
"Aku minta maaf nggak izin, Mas," ucap Rania.
"Nggak papa," tanggap Alaric. "Tapi lain kali bilang."
Rania lirik Alaric dengan perasaan sebal.
"Mas juga datang ke kamarku nggak bilang-bilang,"
"Lain kali aku bilang,"
Rania lap-lap air matanya dengan tisu. Dia lirik sebentar ke Alaric yang terlihat tersenyum memandangnya. Senyum yang sangat menyebalkan.
"Sebaiknya kamu pindah kamar," ujar Alaric.
Rania menggeleng.
"Sudah dirapiin dan dibersihkan Bu Narti,"
"Aku sudah betah di kamar itu, Mas," ucap Rania. Entah kenapa dia sama sekali tidak tergerak pindah ke kamar yang katanya lebih luas dan dilengkapi perabotan wah. Dia merasa seperti akan ada masalah baru lagi yang muncul. Entah apa dia tidak berani menduga.
Alaric menghela napas panjang.
"Kasih tau kalo kamu mau pindah,"
Rania mengangguk tipis.
______
Malam yang cukup melegakan bagi Rania. Lega dengan sikap baik suaminya juga Bu Narti. Namun Rania tetap saja was-was. Rasanya terlalu cepat mereka berubah. Seperti Bu Narti yang setelah sakit, lalu berubah sangat baik terhadapnya, seolah ada yang dia tutup-tutupi. Atau Alaric yang langsung meminta maaf. Rania semakin mencurigai pembicaraan Om Varo dengan suaminya. Apakah ada paksaan dari Alvaro agar Alaric meminta maaf? Atau memang keinginan Alaric sendiri? Rania masih belum bisa memahami keadaannya sekarang. Baginya lebih baik menjalankan hari-harinya seperti biasa, tanpa terlena dengan sikap baik keduanya.
Tapi sikap Alaric memang jauh sangat berubah. Setelah makan malam saja, Alaric bahkan mengantar Rania menuju kamarnya. Meskipun tidak banyak yang dibicarakan, tapi Rania merasakan penyesalan dari diri suaminya itu.
Sebelum tidur, Rania kembali mengingat pesan tantenya mengenai hasrat Alaric. Apa mungkin itu adalah kesukaannya. Entahlah. Tapi Rania akhirnya mau mempelajarinya dengan membaca laman-laman tentang hubungan suami istri.
***