Curhat Rania

1445 Words
Rania menangis meratapi nasibnya dini hari itu. Tidak menyangka suaminya memaksanya melakukan hal yang menyakitkan hati dan perasaannya. Sehingga dia merasa direndahkan. Karena setelah puas, Alaric langsung pergi dari kamarnya begitu saja tanpa peduli isak tangisnya. Tidak ada raut iba di wajah Alaric saat menghujamkan miliknya ke oral Rania. Padahal Rania menangis sejadi-jadinya. Yang terlihat adalah wajah bengis penuh napsu membara. Rania peluk bantalnya kuat-kuat mengenang hidup bersama mamanya. Kehidupan yang sangat indah penuh dengan impian. Meskipun hidup sederhana dan terpisah dari Papa kandung sejak kecil, mamanya tetap memberi dukungan dan semangat bahwa suatu saat Rania pasti hidup bergelimang harta dan bahagia bersama pria yang sangat dia cinta. Doa yang selalu mamanya sematkan kepada Rania sedari kecil. Ternyata mencintai itu sangat menyakitkan. Sudah beberapa kali Rania mengalami kegagalan dalam percintaan. Saat mencoba dalam kepasrahan dan menyadari bahwa pria yang dia cintai tidak mencintainya, barulah dia merasakan penyesalan yang sangat mendalam. Seharusnya dia tolak saja perjodohan itu dan memilih kesendirian. Tidak masalah bagi Rania tinggal di kamar sempit dengan perabotan seadanya. Tak masalah baginya tidak menikmati fasilitas wah di rumah besar suaminya. Tak masalah pula dengan perlakuan ART atau bahkan perlakuan Alaric yang acuh tak acuh kepadanya. Tapi direndahkan seperti ini sungguh keterlaluan bagi Rania. ____ Pagi ini Rania tidak mau 'bekerja' di dapur. Kejadian sebelumnya sangat menjengkelkannya. Setelah ibadah Subuh, dia langsung bersiap-siap pergi dari rumah Alaric. Rania tidak mengajar hari ini, dia akan pergi ke rumah Alvaro yang berada di Jakarta Barat. Rania ingin mencurahkan apa yang dia alami dini hari tadi. Rania tidak menggunakan motor kecilnya. Dia pergi menggunakan angkutan umum. Rania khawatir pikirannya yang kacau akan mengganggu berkendaranya. Bisa fatal akibatnya. Lagipula rumah Alvaro cukup jauh jaraknya. Menempuhnya dengan motor pasti akan sangat melelahkan. Selama berada di dalam angkutan umum, perasaan Rania berangsur-angsur tenang. Rania nikmati perjalanan jauhnya sambil mengamati pemandangan di sisi jalanan. Begitu banyak manusia yang sibuk lalu lalang dan berbagai macam kendaraan yang berada di atas jalanan. Rania tersenyum tipis mengamati kesibukan pagi itu. Sepertinya tidak tinggal di rumah Alaric adalah pilihan terbaik. Dia tidak akan terganggu ataupun mengganggu perasaan suaminya. Dia akan sibuk seperti orang-orang yang dia amati pagi itu yang berjalan penuh semangat dan optimis. Atau berpisah dari Alaric saja.... ———— "Minum dulu, Ran," ucap Sherly seraya meraih dua cangkir dari atas baki yang dibawa Greta. Bukannya prihatin mendengar keluhan Rania, dia malah senyum-senyum. Padahal Rania sambil menangis menceritakan penderitaannya dini hari tadi. Sampai dia tidak bisa tidur sejak kejadian itu. Sherly lalu menyuruh Greta masuk kembali ke dalam kamarnya. Menurutnya Greta belum pantas mendengar cerita-cerita rumah tangga Rania yang sudah menyinggung wilayah ranjang. "Memangnya kita harus mau begitu, Tan?" Sherly mengangguk. "Sakit, Tante. Tante nggak liat bibirku luka," "Nanti juga sembuh sendiri," "Aku nggak sanggup kalo tiap hari," "Yah. Nggak bakal tiap hari," Sherly tatap wajah sedih Rania. "Itu justru pertanda baik. Tanpa dia sadari sepenuhnya, dia tau ke mana harus mencurahkan kekesalannya," "Emangnya dia kesal?" "Lah kata kamu dia kayak marah waktu maksa kamu. Apalagi dia baru pulang dari kantor, belum tukar baju, langsung ke kamar kamu. Itu artinya dia sedang kesal. Mungkin karena lelah kerjaan kantor yang nggak selesai-selesai..." Rania terdiam dengan bibir mencebik. Dia tidak setuju dengan pendapat Sherly. "Kamu kan tau dia masih berhubungan dengan kekasihnya. Mungkin ada hal yang tidak dia dapatkan dari kekasihnya itu, lalu dia tumpahkan ke kamu. Harusnya kamu anggap ini kesempatan baik," Rania cemberut mendengar nasihat Sherly yang terkesan absurd. Dalam hatinya dia seperti hendak menyalahkan Sherly dan Alvaro yang menjadi biang perjodohannya. Tapi kemudian dia sadar, ini juga kemauannya, hingga memaksa mamanya sendiri yang sebelumnya sempat mencegahnya. "Suami itu kadang memang menginginkan gaya tertentu untuk menuntaskan hasratnya. Apalagi kalo kita sedang datang bulan. Dulu Tante juga kayak kamu, merasa direndahkan dan kesal kalo dipinta aneh-aneh sama suami Tante. Tapi setelah Tante pelajari, memang kita yang harus pandai-pandai bersikap. Soalnya suami tuh merasa harga dirinya jatuh kalo keinginannya tidak kita penuhi, terutama dalam urusan seks," Rania menghela napas panjang. "Kamu kan cinta sama Alaric. Ya kan?" Rania mengangguk dengan wajah sendu. "Tante sih sependapat dengan Ommu. Alaric tuh sebenarnya baik. Kalo dia mau dan memaksakan diri, udah dari dulu dia kabur bersama Alea dan menikah. Kalo memang dia cinta mati dengan Alea, dia lepaskan semua yang dia miliki dan hidup bersama dengan Alea. Tapi kan nggak. Dia malah mau dijodohkan dan menikah dengan kamu," Rania menelan ludahnya kelu. "Kalo kamu ingin bercerai. Posisi kamu salah. Kamu pergi dari rumah tanpa sepengetahuan suami sudah salah. Apa mungkin kamu ceritakan alasan bercerai hanya karena Alaric memaksa kamu melakukan oral seks? Nggak enak banget kalo diperdengarkan di persidangan. Bukan kamu dan Alaric saja yang malu, tapi keluarga besar. Pihak pengadilan pasti akan terus mencari tau akar masalah rumah tangga kalo kita ingin bercerai. Nggak mudah," Rania mengeratkan tangannya yang mengepal ujung bajunya. "Nggak enak, Tante," "Ada triknya. Kamu bisa pelajari," "Masudku aku merasa direndahkan banget. Dia nggak peduli aku," "Sampai kapan dia nggak peduli? Kamu harusnya bersabar," "Aku nggak sabar, Tante," lirihnya. "Aku memang mencintai suamiku. Tapi apa yang aku rasakan sekarang nggak enak banget," Rania menangis lagi. Tidak tahu harus berkata apa lagi selain ingin pergi dari rumah suaminya. "Aku rindu Mama, Tante. Aku mau pulang." ____ Sherly tak henti-hentinya membesarkan hati Rania. Dia beri nasihat dan saran agar Rania tetap bertahan. Ini baru permulaan dan menurutnya ini adalah kesempatan besar bagi Rania karena Alaric sudah mau 'menyentuhnya', meski bukan dengan cara yang baik-baik. "Dia memaksa karena khawatir kamu tolak. Karena kalo dia meminta baik-baik, pasti kamu tolak kan? Dan itu yang menurunkan harga dirinya juga merusak suasana hatinya." "Nggak adil, Tante..., dia rendahkan aku," "Dari awal memang nggak adil. Tapi Tante yakin kamu bisa melewati masa-masa sulit ini dengan baik," Rania pun terpaksa harus kembali pulang ke rumah suaminya dengan perasaan sedih dan galau. Greta yang mengantarnya. Selama perjalanan pulang, Greta memutuskan untuk tidak banyak bertanya. Mamanya berpesan jangan terlalu dalam mencampuri urusan pernikahan Rania. Mamanya sangat tahu Greta adalah salah satu pihak yang sangat menentang pernikahan Rania dan Alaric. Khawatir pikiran Rania akan kacau jika dia masih mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan Rania yang tetap menikah dengan Alaric. Apalagi sekarang Rania sedang memiliki masalah. "Aku dengar ada pelecehan yang dilakukan Alaric ke kamu?" tanya Greta akhirnya. Dia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya terhadap masalah yang dihadapi Rania. "Ya," jawab Rania pendek. Tampaknya dia tidak ingin bercerita panjang lebar mengenai kejadian dini hari tadi. Setiap mengingatnya terasa sangat menyakitkan. "Kalo pelecehan seharusnya kamu buat laporan ke polisi," Rania menghela napas panjang. Greta melirik sekilas ke Rania yang duduk di sampingnya. "Well. Wajar mamapapaku nyuruh kamu bertahan. Karena perjodohan ini usulan Papa. Ah, aku memang nggak ngerti lika liku pernikahan. Lihat kamu begini semakin takut jika Papa maksa menjodohkan aku dengan seseorang," Rania mendelik. "Sudah ada yang diperkenalkan Om Varo ke kamu?" tanyanya ingin tahu. Greta tergelak. Rania sungguh aneh. Dia baru saja mengalami kesedihan, tapi masih bisa menguasai emosinya. "Edi, Terry, Hassan. Au ah ... Papa kayak kurang bahan kalo ngobrol sama aku. Pasti aja nyinggung jodoh. Pas Mama suruh aku cari sendiri, dia ngambek...." Rania tertawa kecil. Alvaro memang terkadang menggelikan. Dia ingat saat Alvaro mengunjungi kamar kosnya di Bandung saat masih kuliah dulu. Waktu itu Alvaro hendak memberinya uang jajan. Alvaro cemberut melihat dirinya yang juga sedang kedatangan dua tamu laki-laki. Saat itu juga Alvaro berpesan kepadanya jangan pacaran dulu sebelum selesai kuliah. "Ya. Emang lebih baik ikuti kata papamu. Daripada sakit hati ditinggal," ujar Rania. "Kayak kamu," "Iya." Lalu keduanya tertawa lebar. ____ Perasaan Rania kembali galau saat memasuki rumah suaminya sore itu. Lebih galau lagi saat melihat pintu kamarnya. Kembali terbayang-bayang kejadian dini hari tadi merasakan tenggorokannya tercekat akibat milik suaminya yang tertanam penuh di dalam mulutnya. Saat mengingat nasihat Tante Sherly, barulah perasaannya berangsur tenang. Terutama mengingat kata-kata bahwa mungkin kejadian ini adalah awal yang baik untuk mengenal suaminya. Meskipun terkesan tidak mungkin karena selama ini Alaric selalu menunjukkan sikap arogan, tapi Rania tampaknya masih mau berusaha. Rania masuk ke dalam kamarnya yang masih berantakan. Hatinya bergejolak lagi ketika melihat seprai kasurnya yang kusut dan pakaian tidurnya yang tergeletak begitu saja. Pakaian yang terkena pejuh suaminya juga kerudungnya. Rania merapikan kamarnya seadanya. Tubuhnya yang lelah tak kuasa merapikannya seperti biasa. Dia lipat selimut tipisnya dan merapikan letak bantal di atas kasur busanya. Rania duduk sebentar di atas dipan seraya menghela napas panjang. Dia lepas kerudungnya dan atasannya. Kemudian berjalan gontai menuju kamar mandi. ____ Baru saja Rania merapikan mukenanya setelah ibadah magrib, terdengar bunyi ketukan pintu kamarnya. Dadanya kembali bergemuruh, trauma jangan-jangan suaminya yang sedang berada di luar. Rania tidak segera membukanya. "Rania." Rania menghela lega setelah mendengar suara perempuan yang dikenalnya. Ternyata Bu Narti yang mengetuk pintu kamarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD