"Aneh gak sih?"
Khanza mendengar suara yang bernada berbisik itu. Ia terkekeh kecil. Tapi tak akan ada yang tahu kalau ia tertawa. Keduanya berjalan ke arah jalan belakang kos-nya Khanza. Mau menunggu supir taksi online yang sudah dipesan melalui sebuah aplikasi. Dunia sekarang kan semakin canggih. Peradaban semakin maju. Perkembangan teknologi juga mengikuti trennya. Sekarang, orang-orang tak perlu lagi berdiri di pinggir jalan untuk mencari kendaraan umum. Karena sekarang semua hal itu bisa dilakukan di mana saja, hanya dengan menyentuh layar ponsel.
"Kayaknya yang ini deh," tutur Khanza. Ia melihat nomor plat mobil yang tertera pada mobil dan juga layar ponselnya. Setelah menemukan kesamaan, ia mengulurkan tangan. Mobil memutar balik arah dulu agar bisa keluar dengan mudah. Maklum lah, area kos-kosan ini memang terletak di sebuah g**g yang hanya bisa dimasuki satu mobil.
"Bandara kan ya? Terminal berapa?"
Khanza menoleh pada Rissa. Gadis itu masih sibuk menutup pintu mobil karena ia masuk belakangan.
"Terminal 2F, Pak."
Si Bapak mengangguk. Awalnya, kedua gadis ini enggan bicara. Ya tak semua sopir itu baik kan? Mereka juga takut dan was-was. Hanya bisa berdoa di dalam hati. Meski Rissa juga punya keyakinan bahwa dengan niat mereka menutup diri seperti ini bahkan memakai cadar segala, ia yakin Allah akan melindungi perjalanan mereka. Karena apa? Rasa cinta seorang hamba yang sedang berupaya merayu Tuhannya. Rayuan positif yang ditunjukan melalui ketaatan. Sebab tidak semua manusia selalu melibatkan Tuhan dalam setiap detil perjalanan hidup mereka. Ada yang bahkan lupa pada Tuhan karena terlalu sibuk bekerja di masa mudanya. Baru ingat Tuhan di masa tuanya. Bukan kah itu menyedihkan?
Belajar dari hal-hal sederhana itu, Khanza juga tak ingin menyesal. Ia ingin menjalani hidup dengan keputusan terbaik dan selalu melibatkan Tuhan. Sebab hidup akan hampa tanpa-Nya dan ia bukan apa-apa tanpa-Nya.
Khanza jadi teringat curhatan Rissa dari salah satu blog. Ia kan juga hobi membaca tulisan-tulisan orang lain. Ia bilang kalau....
"Ada yang baru saja mengakui kalau ia menyesal di masa tuanya. Karena di saat muda, hanya fokus bekerja. Beribadah seadanya. Bahkan solat-solat wajib sering terlewat. Namun disaat pulang ke rumah, ia mengomeli anak-anaknya yang malas solat dengan mengatakan kalau ia rajin solat. Ia sebenarnya malu dengan mengatakan itu. Tapi berupaya menjadi sosok yang sempurna untuk anak-anaknya. Tapi ketika anak-anaknya sudah dewasa, ia sudah tak bisa lagi melakukan hal yang sama. Maksudnya, memperlihatkan sisi sempurna yang bisa ia lakukan dengan menutupi kekurangannya. Karena apa? Karena anak-anaknya terus mengamatinya, terus melihatnya hingga mungkin merasa aneh. Karena apa yang sering diucapkannya tidak sesuai dengan kenyataan. Janji hanya sekedar janji. Sampai suatu saat ia tak sengaja mendengar kalau anak sulungnya bilang, selama hampir seperempat abad usianya, ia baru pertama kali melihat ayahnya solat dhuha, ia baru pertama kali melihat ayahnya solat tahajud, ia baru pertama kali melihat ayahnya pulang dari masjid saat Subuh. Ayahnya tercenung dan merasa tertampar dengan kata-kata itu. Ketika ia berpikir bahwa ia masih sosok ayah yang sempurna di hadapan mereka, ternyata mereka lebih tahu. Bukan dari kata-katanya tapi pengamatan melalui mata dan perilaku sehari-hari yang memang pasti lebih akurat. Tapi kemudian, sang anak mengatakan lagi, sayangnya saya hanya melihat ayah saya setaat itu saat sedang berharap pada Tuhan agar bisa menjadikannya salah satu anggota DPRD. Dan mungkin karena itu, ayah saya tidak mendapatkan jabatan itu. Karena apa? Karena sekian lama ia hidup, ia bagai baru saja mencari Tuhan. Padahal ia sering bilang kepada kami untuk rajin solat karena Bapak juga rajin. Untuk rajin belajar karena Bapak juga rajin. Untuk bekerja keras karena Bapak juga rajin. Tapi sayangnya, itu semua tak tampak. Dulu kata-kata itu memang sangat hebat bagi seorang anak kecil yang belum begitu mengamati hidup ayahnya. Karena ia sibuk bermain atau mengurus perasaannya sendiri ketika remaja. Namun saat beranjak dewasa, saat semakin dekat dengan Tuhan dengan caranya sendiri, semakin paham kewajiban seorang hamba, ternyata ia tidak menemukan sosok Ayahnya melekat pada itu. Mungkin karena ucapan-ucapannya yang tidak sesuai kenyataan. Sebab lelaki itu hanya membual dengan kata-kata dan tidak benar-benar melakukannya. Tuhan tahu dan seolah membuka aibnya di hadapan anak-anaknya tanpa ia tahu."
Rissa menghela nafas saat itu.
"Makanya saat tua, ayahnya tampak menyadari apa yang menjadi penyesalan terbesar di dalam hidupnya. Disaat orang lain berlomba-lomba mengejar kebaikan dunia akhirat, menabung untuk masa tua, ia hanya sibuk bekerja lalu menghamburkan uang di masa muda. Lalu uangnya habis begitu saja. Tak ada apapun di masa tuanya. Anak-anaknya bukannya tak mau membantu, tapi hidup mereka juga susah dengan perencanaan yang tidak baik dari ayahnya. Karena seharusnya uang hasil jerih payah itu bisa ditabung untuk biaya sekolah mereka tapi kenyataannya? Tidak sama sekali. Hingga mereka bahkan tak pernah duduk di bangku kuliah. Bermodal ijazah SMP dan SMA, paling mentok hanya bisa menjadi satpam, pegawai honorer atau bahkan tukang bersih-bersih di kantor. Menyedihkan? Yaa. Padahal dulu ayahnya sangat sukses. Gajinya sangat besar. Harusnya bisa menguliahkan anaknya hingga masuk kedokteran. Tapi itu semua hanya mimpi di siang bolong jika hidup hanya dijalani bagai air mengalir tanpa rencana kehidupan yang matang. Dan di masa tua ini, di masa ia tak punya apapun lagi, ia bahkan baru berpikir untuk menabung hasil jerih payahnya. Tapi bagaimana mau menabung? Ia sudah tak bekerja, tak ada yang mau menerima seseorang seusianya di kantor mereka. Bahkan ditinggal istrinya karena lelah menghadapinya yang keras kepala di seumur hidupnya. Ya, ia akui kalau sedari dulu ia memang tak pernah mau mengakui kekurangan dan kesalahannya apalagi di depan anak-anak mereka. Istrinya juga dongkol karena tak mempan dinasehati dan merasa menang sendiri. Merasa hanya ia yang benar. Padahal kebenaran itu milik Tuhan. Tidak pernah mau mengalah sekalipun yang dikatakan istrinya adalah kejujuran. Berlagak sempurna padahal saat itu Tuhan hanya ikut menutup aib kebohongannya.Tak heran kalau anak-anaknya menjadi sangat kagum tapi saat mengetahui semua faktanya, kekaguman itu langsung lenyap tak berbekas. Karena semua itu hanya kata-kata yang mengakar di langit namun tak pernah menjadi nyata."
Lalu Rissa menatapnya saat itu.
"Dan satu hal yang gue sadari, Za. Bahwa orangtua juga manusia. Jangan percaya kalau mereka bilang ini-itu sebelum kita bisa memahami dengan mata kepala sendiri. Karena keberadaan mata membuat semuanya lebih nyata ketimbang hanya kata-kata. Sebab terkadang Tuhan menunjuk jalannya sendiri melalui penglihatan seorang hamba."
@@@
"Waaw!"
"Jangan norak deh," bisik Rissa yang tentu saja hanya lelucon. Khanza terkekeh. Sebetulnya gadis itu baru saja mengeluhkan antrian masuk pintu menuju konter check in yang sangat panjang. Lebih jauh dari perkiraannya. Oke ia tahu kalau pasti akan banyak orang yang terbang setiap hari. Tapi kan ini bahkan bukan hari libur atau bulan-bulannya libur. Kenapa masih sepadat ini? Apa didominasi mahasiswa yang juga ingin berlibur seperti mereka?
Keduanya berjalan menuju konter check in. Mencari-cari konter tiket airlines yang akan mereka tumpangi. Mereka menaiki sebuah pesawat low cost carier atau disingkat menjadi LCC. Penerbangan dengan jenis ini tentu harga tiketnya jauh lebih murah dibandingkan dengan full services seperti pesawat BUMN.
"Berhubung gue belum pernah naik pesawat ke luar negeri--"
"Gue juga!" potong Khanza lalu terkekeh. Ia baru saja memotong pembicaraannya.
"Abis check in, katanya harus ngantri di Imigrasi untuk cap paspor. Kok gue gugup ya?" tanyanya sembari memegang dadanya. Khanza terkekeh. "Kayaknya kalo gue ke Inggris, bakalan nangis darah deh."
Khanza tertawa lagi lalu terbatuk-batuk karena tenggorokannya kering. Mau minum tapi susah karena mengenakan cadar. Lalu baru teringat dengan sedotan yang ia bawa. Ia kan menyukai barang-barang lucu berbau lingkungan yang tidak menambah beban bumi. Maksudnya barang-barang yang tidak menjadi s****h terlalu banyak untuk bumi. Berhubung bumi sudah tua, pasti daya tampungnya juga menurun. Di sisi lain, kualitas lingkungan saat ini juga semakin menurun seiring dengan meningkatnya pencemaran lingkungan. Entah dari udara, air dan juga tanah. Bahkan itu terjadi baik di luar atau pun di dalam ruangan.
Usai check in dan berhasil lolos tanpa harus menimbang berat tas ransel mereka, keduanya berjalan menuju konter Imigrasi.
"Gue kira barang kita bakalan ditimbang begitu. Kalo tahu kagak, gue udah nambahin barang lagi deh!" keluhnya.
"Mau naruh barang di mana lagi lo?" tanya Khanza yang tentu saja dibalas dengan cengiran. Ia juga tak tahu akan menaruh di mana barang-barang itu. Asal bicara saja padahal punggungnya saja sudah pegal sekarang. Belum juga satu jam menyandangnya. Bagaimana nanti saat mereka menggembel di perjalanan? Maklum lah, dana kan terbatas. Jadi menghemat pengeluaran adalah satu-satunya solusi untuk anak kuliahan seperti mereka.
Tiba di konter Imigrasi, Rissa menjinjitkan kedua kakinya demi melihat apa yang terjadi di depan sana. Ia sudah banyak membaca banyak blog tentang apa yang mungkin diperiksa saat berada di Imigrasi bandara. Tapi tetap saja gugup karena khawatir tidak lolos.
"Saat ini banyak membangun perusahaan yang merekrut banyak pekerja paruh waktu. Dengan alasan efisiensi biaya produksi. Hal itu dianggap sebagai satu-satunya solusi untuk mengurangi beban keuangan perusahaan," tutur seseorang. Tentu saja Rissa menoleh. Begitu menoleh, ia melihat seorang lelaki muda yang tampak sibuk dengan ponsel di telinganya. Alu gadis itu mengangguk-angguk. Aaah mungkin pekerjaannya tak bisa ditinggal. Ada banyak orang sesibuk itu. Terkadang lupa waktu asal jangan lupa Tuhan saja. Itu yang terpatri di dalam benaknya.
Saat menoleh ke arah lain, ia melihat satu keluarga berkumpul di tengah-tengah barisan di sebelah kirinya. Lebih tepatnya, dua baris darinya. Sepertinya mereka berencana akan berlibur bersama ke luar negeri. Aah asyiknya. Lalu ia menoleh ke belakang di mana Khanza berdiri....
"Apaan?"
Rissa menggeleng. Tentu senang karena bisa backpacker-an seperti ini. Kapan lagi coba? Mumpung masih muda. Kebanyakan teman-teman sekolahnya dulu kan sudah menikah. Jadi mungkin tak bisa menjalani hidup menyenangkan seperti ini. Khanza juga berpikir hal yang sama. Ini kesempatan terindah yang pernah ia ambil selama hidupnya.
"Maju-maju!" bisik Khanza. Sudah giliran Rissa. Gadis itu maju tapi lalu disuruh berhenti melangkah. Rissa bingung. Khanza yang berdiri di belakangnya malah dipanggil ibu yang berjaga di konter sebelah kanan Rissa. Rissa tentu saja gugup. Khanza apalagi. Tapi Khanza tetap maju.
"Paspornya, Mba," tutur si ibu pada Khanza. Aaah. Khanza paham. Ia segera menyerahkan paspornya dan disaat yang sama, Rissa disuruh pindah ke konter di sebelah kirinya dan dilayani oleh petugas perempuan. Karena mereka perempuan bercadar, lebih baik dilayani oleh perempuan juga. Khanza tersenyum kecil. Ia juga memahami hal itu dalam sekejab.
"Indahnya Islam itu," tutur Rissa yang membaut Khanza terkekeh. Mungkin terlihat sederhana. Tapi benar lah, pikir Rissa. Ia berharap Allah melindunginya dengan menggunakan cadar ini dari dosa-dosa kecil yang mungkin luput darinya. Dan ini benar-benar keputusan yang terbaik yang mereka ambil.
"Gue pikir kita bakal pulang dan gak jadi berangkat," tutur Khanza. Rissa terkekeh. Ia juga punya pikiran seburuk itu. Karena tadi sempat disuruh menunggu bahkan banyak mata juga yang terarah ke arah mereka dan terheran-heran. Mungkin mereka juga bertanya-tanya di dalam benaknya, apa yang membuat dua gadis bercadar itu sampai diperlakukan seperti itu? Tapi ternyata malah diperlakukan dengan sangat sopan. Sangat-sangat sopan dan menghargai. Khanza tersenyum kecil.
Usai buang air kecil di toilet, keduanya berjalan lagi memasuki ruang tunggu. Rissa masih sempat mengajak mampir untuk membeli minuman. Ia haus sekali padahal hibinya pipis. Entah apa hubungannya tapi semakin banyak air yang masuk ke dalam tubuh, bukan kah semakin banyak juga yang akan dikeluarkan. Iya kan?
Rissa terburu-buru menyimpan botol minumannya ke dalam tas kecilnya yang ia gendong di depan d**a. Lalu mengambil passpor dan tiket pesawat. Ternyata ada pemeriksaan lagi yang lebih ketat saat akan memasuki ruang tunggu. Pasalnya....
"Bawa cairan ya?" tegur sang petugas.
Rissa menepuk kening. Lupa kalau air minunnya masih banyak. "Ini," tuturnya. Tapi sang petugas lelaki itu tak percaya begitu saja. Akhirnya tas ranselnya diserahkan ke petugas perempuan untuk diperiksa secara mendetil. Rissa mengeluh dalam hati. Ia sudah memindahkan semua cairan kebutuhan make up dan pembersih muka ke dalam beberapa wadah kecil-kecil untuk perjalanan ini. Yang membaut mesin tadi berbunyi pasti hanya karena botol minuman yang ia masukan begitu saja. Dan benar....! Ia mengambil lagi tas ranselnya sambil menahan dongkol lalu duduk bersama Khanza yang menunggu.
"Kenapa?"
"Gara-gara botol minum, mesinnya bunyi. Gue dikira teroris beneran dah."
Khanza terkekeh. "Mereka hanya bertugas."
Ya benar, pikir Rissa. Gadis itu akhirnya hanya menghela nafas.
"Kalau dipikir-pikir, pengawasaannya seketat ini tapi kenapa masih banyak koruptor yang bisa kabur ke luar negeri ya?"
Khanza terkekeh mendengar itu. Lalu merangkulnya dan keduanya berjalan menuju ruang tunggu.
"Aah elo! Kayak gak tahu Indonesia aja. Yang berkuasa, yang bebas. Yang b***k, yang merana. Tapi pada akhirnya, semua akan sama di hadapan Tuhan yang Maha Tahu segalanya."
@@@
"Berasa lama banget. Masih berapa menit lagi sih?"
"Harusnya sepuluh menit lagi boarding."
"Gue pipis dulu gak ya?"
Rissa dilema. Khanza hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ia baru saja menaruh charger ponsel dan buku ke dalam tasnya. Persiapan keberangkatan karena takut lupa kalau mereka terburu-buru.
"Buruan kalo mau pipis."
Rissa menggeleng. Ini dilema terbesar di dalam hidupnya. "Gue takut antri. Terus nanti malah gak kedengaran suara panggilannya. Urusan jadi panjang deh. Dari pada gagal berangkat. Ya udah lah. Paling kalo kebelet banget, gue pipis di pesawat aja."
"Lo udah pernah pipis di toiletnya?"
"Belom," keluhnya. "Ini obrolan penting banget ya?" tuturnya kemudian. Khanza tertawa. Dari tadi mereka memang berisik. Sedikit-sedikit tertawa. Sampai ada gadis berjilbab lain yang menegur. Katanya....
"Jaga kelakuanmu, Ukh."
Alih-alih mendengar kata-kata itu, keduanya malah menahan tawa. Aaah susahnya yaaa memenuhi ekspektasi manusia. Padahal mau mereka bercadar atau enggak, yang namanya kelakuan ya tak ada hubungannya dengan apa yang dikenakan bukan? Tapi bukan menjadi itu sebagai pembelaan untuk berlaku buruk ya. Karena menutup aurat itu justru sedang melatih diri untuk menahan diri agar tidak berbuat hal-hal buruk sesuka hati. Bagaimana pun hidup dan berkelakuan kan ada aturannya.
"Tadi entah kenapa, gue tersinggung banget ada yang negur kita kayak gitu," tutur Khanza. Ia mencari sosok gadis berjilbab yang tadi menegur tapi sudah tak terlihat. Yaa di satu sisi ia tersinggung tapi di sisi lain juga kesal.
"Kenapa?"
Kalau Rissa sih tak mau ambil hati ucapan gadis tadi. Kenapa? Ya kan dia gak tahu ia dan Khanza seperti apa. Mereka saja dikenal kalem kok kalau di kampus. Hihihi.
"Yaa negurnya baik sih. Tapi sampai banyak yang lihat tadi. Terus tatapannya gak enak banget. Menghakimi banget seolah kita bener-bener orang yang bersalah dan tak termaafkan."
Aaaah. Rissa baru menyadari hal itu. Terkadang ia kurang peka. Tapi biasanya Khanza lebih tak peka darinya. Ini ada apa dengannya? Apakah ada yang salah dengan sensornya?
"Lupain aja lah," tuturnya pelan. "Gue aja kalo ada yang berisik, diamin aja. Karena kita kan gak tahu. Bisa jadi mereka asyik tertawa karena lama gak berkumpul dengan teman lama atau yaa apalah itu. Kalau ada yang tertawa kencang apalagi perempuan mungkin terlihat tidak pantas. Tapi kan kita gak tahu. Bisa jadi, ia sudah lama gak pernah tertawa. Gue sih gak mau menilai orang, gak mau menghakimi. Karena kita gak pernah tahu apa yang terjadi di dalam hidup seseorang."
Khanza mengangguk-angguk. Keduanya segera beranjak dari kursi saat mendengar panggilan boarding dari speaker ruang tunggu. Suara lembut sang petugas dengan sabar memanggil para penumpang. Dan disaat itu lah, Khanza tak sengaja menoleh ke arah gadis yang menasehati dengan muka tak enak tadi. Matanya bahkan menatap tajam tapi kemudian berpaling. Wajahnya tak tampak bersahabat.
"Mampus," bisiknya sambil menepuk-nepuk bahu Rissa. Ia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ia mana tahu kalau gadis itu duduk tepat di belakang mereka. Hahaha. Karena usai menasehati tadi mereka sudah tak melihat ke mana gadis itu pergi. Astagaa! Bodoh, Khanzaaa!
"Apaan?"
Khanza berdeham. Mencoba tenang. Setelah lembaran tiket dirobek petugas, mereka berjalan cepat menuju pintu masuk pesawat. Lebih tepatnya, Khanza yang berjalan cepat lalu menyeret tangan Rissa.
"Apaan dah?"
"Itu yang tadi ngomelin kita, ternyata duduk di belakang kita. Pas banget di belakang! Astagaaaa!"
Rissa hanya terkekeh. Ya sudah lah. Sudah terlanjur kan? Mau memutar balikan waktu pun sulit. Tapi apapun niat gadis itu menasehati mereka, Rissa tetap berterima kasih. Barangkali bisa dijadikan pembelajaran hidup hari ini.
@@@