"Gantian-gantian!" serunya.
Hanya bermodalkan kamera ponsel, Rissa mengambil berbagai pose. Beberapa pose bagus tentu saja didapatkan. Meski ia hanya tukang foto amatiran. Kalau ada foto yang bagus itu namanya kebetulan. Bukan karena ia pandai atau berbakat Hihihi.
"Minimal ada satu atau dua yang bagus kan? Tuuh-tuuuh! Gak usah protes!" tuturnya lantas mengembalikan ponsel Khanza. Gadis itu menggelengkan kepala. Lalu ia sibuk melihat hasil foto yang diambil oleh Rissa tadi. Baru belajar tadi untuk mengambil foto dengan angle yang bagus. Yeah setidaknya tidak parah-parah amat lah, pikirnya. Hahaha. Masih ada yang bisa dijadikan foto profil. Lalu tak lama Rissa datang kembali ke hadapannya dengan sebuah cengiran.
"Ada es krim di situ. Kayaknya enak panas-panas gini. Tapi....., muehong! Tadi gue udah liat harganya!" serunya lalu menghela nafas. Padahal saat menampakan cengiran di wajahnya, ia tampak senang. Bagaimana bisa ekspresi itu berubah dalam sekejab?
Saat mengajak Khanza ke kios kecil itu...
"Wiih! Itu melon mahal tauuuk! Melon Jepang! Aaah lupa gue apa namanya tapi dari Hokkaido gitu deh. Yuka--aaah tauk deh lupa!" serunya heboh. Yang awalnya menolak untuk membeli akhirnya mereka sepakat patungan. Masing-masing membayar 4 dolar Singapura. Akhirnya mereka membeli es krim seharga 8 dolar Singapore itu. Kalau dirupiahkan.....aaah jangan deh. Hati Rissa agak-agak sesak mengingatnya. Tapi ia akui kalai rasanya tidak terlupakan.
Mereka bukan memakan es krim potong khas Singapore yang sering dimakan dengan potongan roti. Biasanya dikenal sebagai es krim Orchard asal Singapore yang terkenal. Tadi niat Rissa juga ingin mencari es krim itu karena katanya di sekitar Merlion, harganya tak begitu mahal. Yeah masih sekitar 1 sampai 2 dollar kan tak terlalu mahal. Dibandingkan es krim yang baru saja mereka habiskan.
"Habis ini ngirit," celetuk Rissa yang tentu saja membuat Khanza tertawa.
"Udah di Depok melarat, di sini juga," dumelnya. Tapi itu adalah kenyataan yang tak bisa dielakan. Ia harus menyimpan banyak uang untuk tabungan masa depan. Aah lebih tepatnya kehidupan setelah lulus. Ia tak mungkin terus-menerus menyusahkan orangtua kan? Apalagi beban anak pertama itu berat. Ia juga perempuan. Harus lebih gesit dari lelaki. Karena disaat lelaki sekali mengeluarkan tenaga, itu artinya perempuan sepertinya harus mengeluarkan tenaga dua kali.
Usai makan es krim, mereka kembali berjalan menuju Merlion untuk mengambil foto lain. Sesekali Khanza melirik ponselnya namun masih belum ada balasan dari lelaki itu. Haah. Ia menghela nafas. Biar kata tak berharap, tapi ia tak bisa menyangkal bukan? Ada sebagian kecil dari hatinya yang menginginkan. Bagaimana pun ia hanya lah seorang perempuan biasa yang juga menginginkan cinta. Mungkin agak berbeda dengan gadis di sebelahnya yang tampak bahagia dengan kesendiriannya. Katanya....
"Mumpung masih muda, Za. Nikmati hidup, kejar mimpi. Kalau sudah semakin tua, akan banyak hal yang harus dilewati dan dipegang tanggung jawabnya secara penuh."
Ya memang benar. Tapi ia sendiri tak terlalu memikirkan hal itu. Ia hanya ingin menikmati hidupnya sekarang. Urusan nanti ya nanti. Kalau sekarang apalagi kan? Lebih baik nikmati liburan indah ini. Karena ketika kembali ke Indonesia nanti, semua tanggung jawab yang sedang mereka lepaskan sekarang akan kembali datang ke bahu-bahu mereka.
"Ada gak ya orang Malaysia yang mau sama gue?"
Khanza terbahak mendengar pertanyaan itu. Ia merangkul bahu Rissa sambil menatap Merlion. Suasana cuaca hari ini memang sangat panas. Tapi jujur saja, angin sepoi-sepoinya sangat mantap.
"Tenang-tenang, besok kita udah ke Malaysia."
Ya, pikir Rissa. Namun memikirkan untuk cepat-cepat ke sana hanya membuatnya berpikir akan segera pulang ke Indonesia lagi. Karena ya tahu lah kalau waktu begitu cepat berlalu.
Rissa menghela nafas. "Rasanya pengen jadi anak kecil lagi yang hidupnya gak mikir beban hidup. Jadi orang gede kayak gini ternyata merepotkan."
Khanza terkekeh. Ia dulu juga berpikir kalau menjadi dewasa itu akan menyenangkan. Karena saat kecil ada kalanya anak-anak dilarang melakukan ini dan itu oleh orangtua dengan alasan....
"Kamu kan masih kecil."
Ternyata saat dewasa malah jadi begini ya? Bagaimana memikul beban hidup sendiri? Bukan kah berat? Tapi tak ada yang perlu disesali karena semua orang juga mengalami hal ini. Mereka yang saat ini masih kecil, suatu saat nanti akan menjadi dewasa. Tak ada yabg pernah tahu jalan hidup akan gimana.
"Gue masih berharap tiba-tiba ada orang Malaysia yang mau meminang gue."
Kali ini kepalanya dijitak Khanza. Keduanya berjalan menjauhi Merlion karena tak ada bangku dan cuacanya benar-benar panas. Apalagi mataharinya tak terhalang apapun.
"Lo tidur aja entar malem untuk lanjutin mimpi lo itu," tukasnya lalu rangkulannya pada bahu Rissa terlepas karena ia baru saja menjatuhkan sesuatu.
"Ya ya ya!" sungutnya sebal. Ia memang terlalu berharap khayalannya akan bertemu jodoh di Malaysia untuk menjadi nyata. Padahal belum tentu itu yang terbaik. Karena skenario Tuhan belum tentu sama dengan harapannya. Berharap boleh-boleh saja tapi harus tahu ada batas antara harapan dan kenyataan.
"Assalamualaikum!" sapa seseorang lelaki yang berjalan tepat di depan Rissa. Bahkan matanya tak ada rasa malu sama sekali saat menatap Rissa. Khanza hanya melirik lalu menaruh kertasnya yang hampir jatuh ke laut itu masuk ke dalam tasnya. Rissa mendengus. Ia paling sebal kalau ada cowok-cowok semacam ini. Karena apa? Mulutnya akan mengomel setelah ini.
"Udah pakek cadar begini aja masih ajaaa ada yang kayak gitu. Gue heran deh sama orang kayak gitu. Dia pikir, dia ngucapin salam kayak gitu buat ngegoda cewek? Gak inget akhirat apa ya? Bisa aja dia langsung mati abis nyapa gue!"
Tuh kaaan bener, pikir Khanza. Ia terkekeh pelan. Lalu menyimpan ponselnya dan berjalan menghampiri Rissa. Gadis itu memang paling sebal kalau ada orang yang seperti itu. Ya memang bukan hal yang aneh lagi. Tapi tetap saja. Ucapan salam kan ucapan baik. Tapi kenapa malah disalahgunakan dengan hal semacam itu? Apalagi niatnya tidak baik.
"Orang Indonesia kayaknya," tutur Khanza saat menoleh ke arah belakang. Keduanya memang melihat banyak orang Indonesia tapi mereka tak begitu menggubris. "Biarin aja lah. Mau ditonjok juga nambah-nambah dosa."
"Iya sih gue tahu. Tapi heran aja gitu loh. Pakek otak lah kalau ngomong," sungutnya yang tentu saja masih kesal. Khanza terkekeh-kekeh sambil menepuk bahunya.
"Ke Bugis yok! Kan kita mau ke sana sekalian solat Zuhur!" ajaknya.
Rissa mengangguk lantas keduanya kembali berjalan menuju stasiun.
@@@
"Gue mau berdoa yang kenceng."
Khanza terkekeh. Mereka bahkan baru saja memasuki kawasan Bugis Street setelah berjalan keluar dari pintu stasiun.
"Gak boleh doa kenceng-kenceng. Kalo kedengaran yang lain, gimana dah?"
"Bukan kayak gitu juga kiasannya, Zaaa! Helaaaah! Lu kayak gak tahu metafora aja!"
"Iya deh! Yang penulis!"
Rissa tergelak. Ia kamu kalau disebut seperti itu. Karena jujur saja, ia hanya seorang amatiran.
"Gue kira masih jauh."
"Kita aja yang gak ngelihat karena ternyata masjidnya di depan mata."
Rissa mengangguk-angguk. Ia berpegangan pada tas Khanza ketika mereka hendak menyeberang. Saat kakinya melangkah, ia baru melihat kalau ada beberapa money changer di belakang mereka berdiri tadi. Namun ia membaca banyak tips di internet untuk menukar di Indonesia saja, mungkin biar mudah dan ia memang bersepakat dengan Khanza untuk melakukan itu. Mereka membawa uang tunai yang jumlahnya tidak seberapa dan sudah ditukar ke dalam bentuk dolar Singapore dan juga ringgit Malaysia. Rissa tidak beniat berbelanja banyak di Singapore. Ia hanya membeli oleh-oleh untuk kenang-kenangan pada dirinya sendiri berhubung di sini mahal. Hihihi. Nanti ia akan beli banyak jika ada sisa uang dolar Singapore-nya yang rencananya akan ia tukar dengan ringgit Malaysia. Lalu ia berniat membeli oleh-oleh yang lebih banyak di sana saja.
Khanza mendongak ke atas. Masjid ini namanya masjid Sultan. Masjid yang sangat terkenal di Singapore baik bagi warga lokal maupun turis seperti mereka. Kubahnya mengingatkan Khanza pada masjid kubah emas di Depok. Yaaa karena warnanya juga keemasan. Tapi Khanza tak tahu apakah benar-benar emas seperti yang ada di Depok atau kah tidak. Yang jelas, masjid ini tak kalah cantiknya.
Berhubung mereka mengejar Zuhur, keduanya memang langsung bergerak menuju toilet. Pipis dulus sebelum mengambil air wudhu. Apalagi Rissa sudah menahannya sejak di Merlion. Ia memang anak 'beseran' yang sedikit-sedikit selalu pipis. Herannya, minum airnya tak banyak. Entah air apa yang Rissa keluarkan, Khanza tidak mau memikirkannya.
Akhirnya, mereka menemukan lebih banyak lagi rombongan berhijab aaah bahkan bercadar. Mereka yang bercadar tampak seperti orang-orang turunan Arab karena terlihat dari raut ketegasan pada wajahnya, bentuk alis dan hidung mancungnya. Beberapa turis non muslim juga berada di dalam masjid. Mereka hanya berwisata. Mungkin tertarik.
"Gue jarang sih nemu yang kayak gini di Indonesia," ceeltuk Khanza sambil memakai mukena.
"Ada kali di Istiqlal."
Aaah Khanza mengangguk-angguk. Ia juga baru menyadari hal itu.
"Kayaknya ada juga di masjid-masjid lain. Kita aja yang kurang maen. Tapi berhubung Singapura kecil jadinya ya gampang nemuinnya."
Khanza mengangguk-angguk lagi. Memang benar. Lalu keduanya solat dengan khusyuk. Seperti kata-kata Rissa sebelumnya, ia benar-benar berdoa dengan kencang di dalam hati dan pikiran. Berharap Allah segera mengabulkan doanya. Hihihi. Sementara Khanza sudah memundurkan duduknya lalu berzikir salam diam. Ia hanya berdoa dan meminta agar Allah memberikan petunjuk untuknya yang memiliki niat menikah ini. Oke, ia tahu kalau ada tanggung jawab kuliah yang harus ia pikul. Tapi menikah juga masuk ke dalam prioritas hidupnya. Prioritas ke......tiga. Hihihi. Tentu saja ia berniat bekerja setelah lulus dan melanjutkan S2. Tapi kita kan tak pernah tahu jodoh ya?
"Turki-Turki!" seru Rissa. Tapi terdengar pelan sekali. "Gue tahu itu orang Turki. Bukan Arab."
"Yang tadi? Serombongan?"
Rissa mengangguk-angguk dengan yakin. "Gue nguping," cengirnya yang membuat Khanza menghela nafas. Ia seharusnya memang tidak boleh percaya pada gadis yang satu ini. Hihihi. "Makan yuk ah! Ngajinya abis Ashar aja!"
Khanza mengangguk. Meski kemudian....
"Bukannya kita kudu ngehemat ya?"
"Lo mau mati demi menghemat?"
Khanza tertawa. "Tapi mau makan apaan?"
"Apa aja dah yang murah."
"Makan di sini?"
"Mau makan di mana lagi emangnya? Bawa ke hotel? Duh kecepetan pulangnya."
Khanza mengangguk-angguk. Memang benar. "Tapi ribet sih makan kayak gini."
"Tadi es krim bisa."
"Ya kan es krim!"
"Ya udah cari makanan yang gampang aja. Minimal untuk ganjal perut aja. Gimana?"
Khanza setuju. Akhirnya keduanya kembali turun lalu mengambil sepatu. Tapi begitu keluar sedikit dari pintu belakang masjid.....
"Za! Za! Mana hape lu?"
"Buat apaan?" ia bertanya curiga. Apalagi mukanya tampak ceria begitu. Khanza mengamati secara cermat wajah Rissa yang banyak akal bulus itu. Dan benar saja. Tak lama, cengirannya muncul. Pasti mau merayu. Kali ini apalagi?
"Foto dooong! Bagus ituuu!" tuturnya. Khanza menghela nafas. Ia lupa untuk apa pksnelnya dibawa ke sini. Hihihi.
Ia mengambil beberapa foto Rissa. Dari jarak satu meter dari masjid hingga sepuluh meter. Padahal janjinya hanya beberapa jepretan tapi malah jadi puluhan bahkan bisa ratusan kalau tak segera dihentikan. Setelah melihat hasilnya dan merasa kalau ada yang bagus, acara berfoto ria itu akhirnya selesai juga. Rissa baru menyadari keramaian di kiri dan kanannya. Banyak toko-toko suvenir dan juga restoran Turki. Tampaknya di sekitar sini hanya menjual makanan halal. Itu hanya penilaian sepintas. Rissa juga tia benar-benar bisa menjamin apakah benar-benar halal atau tidak. Tapi kalau berdekatan dengan masjid seperti ini seharusnya sih iya.
"Gilaak! Mehoong!" keluhnya. Khanza mengangguk-angguk. Ia setuju. Karena yaa bayangkan saja, makanan paling murah harganya 25 dolar Singapura. Harga minuman juga di atas sepuluh dolar. Yaa wajar lah. Itu harga menu restoran Turki yang mereka lihat. Letaknya hanya beberapa meter dari masjid Sultan.
"Nanti aja kita cari makanan Turki yang murah."
"Makanan Turki apa yang murah?"
"Kebab!" sahutnya.
Rissa mendengus. Kalau itu sih ia juga tahu. Di Indonesia kan ada banyak. Tapi masa sih, mereka jauh-jauh datang ke sini malah membeli kebab lagi? Itu tak ada bedanya dengan berada di Depok. Hihihi.
Keduanya berjalan lagi. Masih berharap ada gerai makanan yang jauh lebih murah agar tak membuang-buang uang. Sembari berjalan itu, Khanza kembali melirik layar ponselnya. Masih bergeming. Lalu ia baru tersadar saat melihat ketiadaan sinyal di ponselnya. Astaga! Bodooh! Serunya dalam hati sambil menepuk kening. Ya mana mungkin akan ada balasan dari cowok itu kalau ia bahkan tak punya paket internet. Hahahaha! Ia benar- benar ingin tertawa!
"Lu kenapa dah? Sehat atau kagak?" tegur Rissa yang mengibas-ibas tangannya di depan muka Khanza. Khanza menghela nafas. Ia melanjutkan langkahnya alih-alih menjawab pertanyaan Rissa. Jadi lemas sendiri mengingat ponsel yang bahkan tak bersinyal.
Bodoh!
@@@
Usai solat Ashar, mereka kembali berfoto ria. Tadi keduanya memang sempat kehilangan semangat. Tapi usai makan tadi, rencana berfoto kembali teralisasi. Ada banyak spot-spot bagus di sekitar masjid Sultan yang bisa dijadikan sebagai tempat untuk berfoto. Khanza memanfaatkan momen itu. Tak lupa memasrahkan diri ketika mendapat giliran untuk difoto. Rissa tampak sok serius dengan caranya mengambil foto. Khanza benar-benar pasrah. Ya minimal ada satu atau dua foto dari sekian banyak yang diambil itu ada yang bagus. Itu pun adalah hal yang harus ia syukuri. Hihihi.
"Banyak kain juga yaa tapi," keningnya mengerut. Tanpa komat-kamit, Rissa bisa menghitung harga kain yang dijual per meter itu. Kain-kain India. Maksudnya yang terlihat di film-film India yang dulu sering ia tonton. Saat mengajak Khanza mendekati salah satu toko, ia memang tak salah. Kain itu cantik- cantik. Tapi....
"Gak cocok buat gue."
Khanza terkekeh. "Bukannya lo suka pink-pink model begini?"
"Tapi gak full corak begini juga. Gue merasa gak cocok dengan model-model begini. Kayaknya tetep masih bagus yang polos kalo buat gue."
"Pulang nih?" tanya Khanza. Mereka sudah melihat-lihat sekeliling Bugis. Lumayan lelah juga karena seharian ini memang lebih banyak berjalan kaki. Kalau pun naik kereta, mereka hanya sesekali mendapat tempat duduk. Akhirnya, keduanya berjalan pulang ke hotel.
"Kita jangan kemaleman deh. Gue agak-agak was-was."
Khanza terkekeh. Mereka memang penakut. Tapi lebih baik menjaga diri. Barangkali itu juga hal terbaik.
"Lo sadar gak sih kalo tadi waktu kita makan, si bapaknya kayak merhatiin kita banget?"
Obrolan itu terlontar di dalam kereta. Mungkin karena sore hari, kereta sudah banyak diisi oleh mereka yang pulang bekerja. Hinga Khanza dan Rissa tak mendapat tempat duduk. Keduanya berdiri di dekat pintu. Aaah sayangnya tak ada gerbong khusus perempuan di sini. Berbeda dengan commuterline di Jabodetabek. Khanza tak bermaksud membandingkannya. Tapi jujur saja, berada di gerbong khusus perempuan seperti itu memang terasa lebih aman dan tenang dibandingkan seperti ini. Selain harus terus memegang tas, mereka juga harus menjaga diri. Kita kan tak pernah tahu bagaimana seseorang bisa memiliki niat buruk terhadap orang lain meski hanya sekedar menyentuh bukan? Tapi kata 'menyentuh' itu terdengar mengerikan.
"Heum? Yang punya warung?"
Rissa mengangguk. Memang benar. "Mungkin bertanya-tanya tentang cara kita makan karena ketutupan cadar kayak gitu."
Khanza terkekeh. Bahkan penjual es krim di dekat Merlion itu juga heran. Padahal apa salahnya sih? Tapi mungkin bagi mereka itu adalah keanehan. Bagi Khanza juga begitu. Gaya seperti ini masih tampak asing. Kalau orangtuanya tahu, Mamanya pasti akan mengomel. Makanya mereka berani berangkat dari kos Khanza. Karena di kos itu, pemiliknya tak tinggal di tempat yang sama. Berbeda dengan kos Rissa di mana si ibu tinggal di lantai bawah. Tentu tak bebas untuk keluar dan masuk bukan?
"Gue pikir awalnya, kita mungkin hanya bisa minum. Tapi melihat mereka terheran-heran begitu, gue jadi punya cara untuk tetap makan meski bercadar."
Khanza terkekeh. Ia juga sudah menemukan caranya. Bagaimana caranya? Sangat gampang. Cukup bawa makanan lalu masukan dari bawah cadar untuk sampai ke mulut. Tapi tetap harus hati-hati agar cadar tidak tersingkap. Bagaimana pun wajahnya harus tetap tertutupi.
Tiba di hotel, ponsel Khanza bergetar. Beberapa pesan akhirnya masuk. Namun sialnya.....
"Haaaah," ia menghela nafas. Lalu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia biarkan Rissa pergi mandi.
Ia pikir lelaki itu akan mengiriminya pesan atau minimal membalas obrolan kemarin. Tapi ternyata tak ada. Sedih sekali bukan?
@@@