3. First Meeting

1657 Words
"Bertemu denganmu adalah takdir, menjadi temanmu adalah pilihan, tapi jatuh cinta denganmu benar-benar di luar dayaku." ------- Setelah pertemuan terakhir Radit dan Andi di rumahnya, Alya seperti kesusahan menghubungi Radit. Semua telpon dan pesan singkat yang Alya kirim tidak pernah sekalipun dibalas. Alya sempat berinisiatif untuk menghampiri Radit di apartemennya, tapi tidak seorang pun ia dapati. Teman-teman satu band Radit juga tidak ada satu pun yang mau memberitahu di mana keberadaan pria itu sekarang. "Al, sore nanti keluarga Om Ferdy akan berkunjung kerumah. Tolong pulang tepat waktu jangan buat Ayah sama Ibu malu," perintah Andi saat duduk bersama menyantap sarapan. Alya membisu. Ia terus saja dengan kegiatannya mengoles roti dengan selai. Malahan seperti sengaja tidak mendengarkan apa yang ayahnya perintahkan. "Alya dengarkan ayah!" Seperti tahu kalau anaknya sengaja tidak mendengarkan. Andi menaikkan satu oktaf suaranya membuat Alya langsung melirik ke arahnya. "Apa yang Ayah katakan pada Radit? Kenapa ayah begitu tega terhadap Alya!" tanya wanita ktu dengan nada sinis tanpa sedikitpun menatap wajah Andi Wijaya. "Ayah hanya minta ia menjaga jarak denganmu karena kau sebentar lagi akan menikah dengan anak om Ferdy," jawab Andi santai. Alya langsung menatap tajam ke arah Ayahnya, tapi tidak sedikit pun bibir manisnya mengeluarkan kata-kata. Ia memilih berdiri meninggalkan meja makan lalu segera pergi bersiap menuju kantor. Dengan langkah gontai Alya memasuki ruang kerja. Raut wajahnya menunjukkan guratan kesal yang begitu dalam. Ayahnya sukses membangkitkan emosinya pagi ini. Ia hempaskan badan rampingnya di sofa dan menghela napas kasar. "Hi, Al, apa yang sedang terjadi? Something wrong, honey?" tanya dewi heran melihat kelakuan Alya pagi ini. "Mungkin Alya sedang memikirkan Radit." jawaban Dinda sukses membuat Dewi melotot. Ia mengisyaratkan pada Dinda untuk tidak membahas Radit di depan Alya. Sudah pasti sahabat mereka itu akan sedih mendengar nama Radit disebutkan kembali. "Apa Kalian masih ingat cerita tentang perjodohan yang diatur ayah untukku?" Alya tiba-tiba berucap. "Hari ini calon yang disiapkan ayah ingin berkunjung ke rumah bersama orang tuanya." Dinda yang penasaran sengaja memajukan posisinya mendekati di mana Alya tengah duduk. "Al, apa kau sendiri sebelumnya memiliki bayangan mengenai calon suamimu? Maksudku apa kau tahu seperti apa orangnya?" Terlihat Alya menghela napas panjang sebelum mejawab pertanyaan sahabatnya. "Demi Tuhan, aku bahkan belum pernah sekalipun bertemu dengannya. Melihat fotonya saja aku tidak pernah. Yang aku tahu selama ini dia anak om Ferdy Winata sahabat ayahku dari kecil," "Sebentar ... Sebentar, maksudmu Ferdy Winata yang punya jaringan hotel dan properti itu?" Sekarang giliran dewi yang mulai mencecar Alya dengan pertanyaan. Alya mengangkat kedua bahunya, memberi isyarat kalau ia benar-benar tidak paham dengan latar belakang sosok yang akan dijodohkan kepadanya. "Kalau Ferdy Winata yang menjadi sahabat ayahmu, itu artinya kau calon menantu seorang konglomerat, Al," ucap Dewi panjang lebar. Bukannya menanggapi, Alya malah bangkit dari tempat duduknya. Memilih keluar ruangan untuk segera pergi ke pantry. *** Alya mendaratkan tubuh mungilnya di atas pembaringan. Sudah tiga puluh menit ia menunggu kedatangan tamu penting yang di gadang-gadang akan menjadi calon suaminya. Sempat terbesit di pikiran Alya untuk kabur dari pertemuan ini. Tapi, segera ia buang jauh pikiran itu. Karena kalau ia nekat, sudah dipastikan kedua orang tuanya akan menanggung malu. Ketika sedang melamun, samar terdengar suara mobil memasuki halaman rumah. Alya tersadar dan langsung mengintip dari balik tirai di kamarnya. Ternyata tamu yang ditunggu akhirnya sampai. Ada perasaan gugup menyelimuti hati Alya. Apa ia benar-benar sudah siap menerima perjodohan ini. "Alya, buka pintunya, Sayang. Tamunya sudah datang. Ayo ikut ibu turun." Alya menyeret kakinya malas ketika mendengar sang ibu memintanya untuk segera turun. "Itu Alya," ucapan Andi Wijaya sontak membuat semua tamu langsung memandang kearahnya. Alya berjalan perlahan membaur dengan para tamu. "Apa kabar Alya, masih ingat sama tante? Dulu waktu kau kecil sering main ke rumah." Alya tersenyum. Sebenarnya Ia tidak ingat sedikitpun dengan Om Ferdy dan Tante Luna istrinya. Tante luna mendekatkan tubuhnya lalu memeluk Alya dengan hangat. Alya masih tidak habis pikir, apa istimewanya keluarga Om Ferdy dan Tante Luna sehingga Ayahnya begitu memaksa menerima perjodohan ini. Namun, Alya mengakui, Tante Luna memang sosok ibu yang penyayang. Buktinya ia langsung memeluk hangat saat bertemu dengan Alya. Lantas, ke mana anak mereka yang akan di jodohkan dengannya. Ia tak melihat satupun Pria selain Om Ferdy. "Alya, coba ajak Ken berkeliling rumah dulu. Biar kalian bisa saling akrab." Kening Alya terkerut bingung. Sengaja memutar bola matanya mencari sosok yang di maksud sang ayah. Namun, detik berikutnya, tubuh Alya seketika kaku. Iris matanya menangkap sosok seorang pria yang baru saja memasuki rumah. Pria yang selama ini ia benci karena sikap arogannya. Kenzie Winata. Astaga, ternyata Kenzie Winata anak Om Ferdy dan Tante Luna. Itu brarti Mr. Kenzie pemilik BlackHorse Corp adalah pria yang akan di nikahinya. Alya benar-benar tak bisa menahan diri untuk tidak terkejut melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Bagaimana tidak, Dia jelas orang yang merendahkan Alya saat rapat tempo hari. Menyambut tangan Alya saja ia tak sudi. Lalu sekarang pria itu tersenyum, seakan-akan menunjukkan senyuman paling manis yang ia punya. Alya juga baru sadar, ternyata wajah tampan bak oppa korea itu menurun dari Luna, ibunya. Dengan sangat antusias Luna meminta Kenzie untuk mendekatinya. "Ken, ayo sapa Alya terlebih dahulu. Kau masih ingat, Alya ? Dia teman mainmu waktu kecil dulu." Luna menarik tangan Kenzie lalu menautkan dengan sengaja tangan mereka berdua. "Iya, Ken ingat, Ma. Anak kecil yang sering menangis jika pulang tidak membawa mainan milikku, bukan?" ucapnya seraya menyambut tangan Alya dengan lembut. Semua orang tertawa mendengar ucapan Kenzie. Belum genap kesadaran Alya, kini pria itu mengaku ingat kepada semua orang kalau Alya adalah teman masa kecilnya. Teman yang selalu menangis jika pulang tak membawa mainan miliknya. Alya merasa dipermalukan oleh Kenzie. Ia merasa bodoh tak mengingat sedikit pun memori saat dulu pernah mengenal Knezie. Bahkan Alya benar-benar tidak yakin pernah menjadi teman Kenzie semasa kecil. Ku rasa Kenzie salah orang. Sejak kapan aku menjadi temannya? Yang benar saja! Alya menghela napas panjang, mencoba menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, ia hanya tak ingin seketika pingsan karena syok menghadapi kenyataan di depan matanya. "Kalau begitu kalian berdua keliling dulu, siapa tahu nanti Alya bisa mengingatmu, Ken," perintah Andi. Alya melirik ke arah Ken, memberikan isyarat agar pria itu mengikuti langkahnya menuju taman belakang. Dengan malas Alya menyeret kakinya membawa serta Kenzie menuju taman di belakang rumah. Jelas ada perasaan canggung saat ini. Logikanya masih menolak kenyataan yang baru saja ia terima. "Kau senang bertunangan denganku, Nona?" tanya Kenzie memecah keheningan. "Hah?" Alya terkesiap mendengar pertanyaan Kenzie. "Oh mungkin aku perjelas, apakah nona Alya senang sebentar lagi akan menjadi istri seorang Kenzie Winata?" ucap Kenzie seraya duduk di salah satu kursi taman yang tersedia. Alya tersenyum sinis. "Menurutmu? " "Sepertinya kau memang menginginkan dan menikmati perjodohan ini. Aku tahu kalau di luar sana banyak wanita yang berharap ingin menjadi pasanganku, dan kau salah satu dari mereka, bukan?" Kenzie tampak begitu percaya diri. Jelas Alya jengah merasa disamakan dengan para wanita di luaran sana. "Kau pikir aku setuju di jodohkan seperti ini? Jangan karena kau kaya dan punya segalanya lantas aku setuju dengan rencana gila ini. Kita bahkan masih bayi saat pertama kali dijodohkan. Mana mungkin aku bisa menolak saat itu. Lagi pula aku sudah memiliki pacar yang jauh segala-galanya darimu." Alya benar-benar tidak bisa menahan diri, lagi-lagi pria itu merendahkannya. Kali ini giliran Kenzie yang tersenyum. Terkesan mengejek ucapan Alya. "Oh ayolah, tidak perlu mengelak. Kau pikir, aku juga tidak memiliki pasangan, hah? Aku juga punya pasangan yang jauh segala-galanya darimu. Aku masih cukup waras membedakan mana yang pantas dan tidak untuk menjadi pendampingku." Alya menganggukan kepalanya. "Kalau begitu mari kita batalkan perjodohan ini," tawar Alya begitu kesal. "Aku juga muak kalau harus menikah dengan orang sepertimu. Kau pikir dengan harta yang kau punya semua orang akan tunduk kepadamu? Kau terlalu percaya diri tuan Kenzie yang terhormat!" lanjutnya tidak kalah sengit. Bukannya tersinggung, Kenzie malah kembali tersenyum. "Aku memang dilahirkan sebagai orang yang optimis dan percaya diri, Nona. Semua yang aku mau selalu terwujud. Dan soal pernikahan, kita berdua tidak akan mungkin mampu untuk membatalkannya. Jadi, mau bagaimanpun kerasnya menolak, kau akan tetap jadi istriku begitupun sebaliknya.Jadi nikmati saja nasibmu." Merasa kesal dengan ucapan dan tingkah laku yang Kenzie tunjukkan kepadanya, Alya memilih meninggalkan pria itu begitu saja sendiri di taman. Cukup baginya bertemu dengan orang yang begitu menyebalkan. Baru saja melangkah masuk menuju ruang tengah, langkah Alya kembali terhenti. "Bagaimana Sayang, apa kalian sudah saling bertukar cerita. Bagaimana menurutmu? Apa Kenzie membantumu mengingat masa kecil kalian?" tanya Luna begitu antusias. Belum sempat Alya menjawab, Suara bariton menyela ucapannya. "Absolutely, Ma. Sepertinya Alya sudah mengingat semuanya. Benar begitu, kan?" Reflek Alya memalingkan wajah sekilas. Bertanya dalam hati Sejak kapan pria itu sudah berdiri dibelakangnya. "Jadi om dan tante Wijaya, kapan Ken bisa menikahi Alya? Kenzie rasa sudah tidak ada lagi yang perlu ditunggu atau dipertimbangkan. Lagi pula Alya juga sudah setuju dengan perjodohan ini?" Alya membelalakkan matanya terkejut dan langsung menatap Kenzie penuh amarah. Namun apa yang terjadi, lagi-lagi pria itu malah membalas tindakan Alya dengan senyuman. Bisa-bisanya Kenzie memutuskan secara sepihak mengenai pernikahan tanpa bertanya terlebih dahulu. Bukan kah pria itu sebelumnya mengaku bahwa ia sudah memiliki pasangan. Lantas kenapa sekarang malah ia yang tampak terburu-buru untuk melangsungkan pernikahan ini. Alya sempat berpikir sepertinya Kenzie memiliki kepribadian ganda. Bagaimana tidak, di hadapan Alya, ia begitu arogan dan menyebalkan. Tapi di hadapan orang banyak Kenzie terlihat seperti laki-laki yang sangat manis. "Baik, kalau begitu mari kita rundingkan tanggal berapa pastinya pernikahan ini akan dilangsungkan. Mama sudah tidak sabar menemani kalian fitting baju pernikahan." Ada rasa bahagia yang teramat terselip pada ucapan yang Luna lontarkan. Sudah dipastikan kedua orang tua Kenzie dan Alya sangat menyetujui saran Kenzie untuk melangsungkan pernikahan bulan depan. Bahkan rona bahagia kini terlukis dengan jelas di wajah mereka. Sedangkan Kenzie? Dari tadi terlihat menatap lekat wajah Alya. Seringai muncul di bibirnya seperti memberikan isyarat kalau perang akan segera di mulai. Kita lihat saja nanti, apakah kau akan terus membenciku, atau malah jatuh cinta padaku. . . (Judul : Hate You but Love You) (Link : https://m.dreame.com/novel/AqdT+e8czOqiWYQ4lbyxUQ==.html )
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD