Aku dan dokter Evie pulang dari rumah sakit sehabis rapat direksi. Kami menyetir dalam diam. Doctor Evie tampak sedang memikirkan sesuatu. Ntah apa yang ada dipikirannya. Nggak mungkin tentang masalah rapat dewan direksi, karena menurutku, rapat itu berlangsung sukses. Semua materi berhasil terbahas dan yang terpenting doctor Evie tidak tremor parah di depan kolega-koleganya. Kalau hanya tangannya yang bergetar sedikit-sedikit, tidak apa-apa , toh semua orang di rumah sakit tahu dokter Evie menderita Parkinson hanya mereka tidak tahu kalau kondisi Parkinson dokter Evie telah beranjak menuju stadium yang lebih lanjut.
Dokter Evie tampak menghela nafasnya. Dia masih berkecamuk dalam pemikirannya. Aku membiarkannya berpikir dalam diam sampai beberapa saat kemudian terdengar suaranya yang tegas.
“ Kita singgah ke klinik kewanitaan di dekat rumah. Dekat supermarket yang setiap hari engkau pergi.”
“ Baik Dok.”
Kenapa dia mengajakku ke klinik kewanitaan? Apakah selain Parkinson, doctor Evie mempunyai penyakit lain? Tanyaku dalam hati, tanpa suara. Aku ini tidak pantas bertanya , tugasku hanya patuh menjalankan perintah. Mau disuruh ke kanan, aku harus ke kanan. Ke kiri begitu juga. Itulah tugas seorang serdadu pada jendralnya.
“ Kamu tidak ingin tahu, mengapa kita harus ke klinik kewanitaan itu?” Tanya dokter Evie sambil menatapku yang sedang sibuk mencari tempat parkir.
“ Bukan kapasitasku bertanya, Madam.” Jawabku sambil menarik hand break mobil yang telah terparkir rapi di samping klinik.
“ Kamu akan menjalani test STD ( Sexually Transmitted Disesase).” Katanya tanpa merubah mimik wajahnya.
Aku mau bertanya, mengapa? Tapi pantaskah aku bertanya? Aku ingin bertanya, untuk apa? Tapi pantaskah aku mengajukan pertanyaan itu, aku ini hanya serdadu tak pantas bertanya apapun pada sang jendral ? Kenapa dia malah menyuruh aku menjalani test STD, bukan test penyakit menular lainnya, seperti TBC yang jelas-jelas lebih menular kalau aku menjadi perawatnya. Aku toh tidak berminat melakukan hubungan seksual dengan madam Evie. Mengapa dia malah menyuruhku test bebas penyakit kelamin?. Pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa berputar di otakku tanpa berani aku ungkapkan.
“Kamu test aja dulu. Nanti di rumah akan aku jelasin,semua pertanyaan-pertanyaan yang ada di otakmu itu.” Katanya sambil tersenyum melihatku yang terbengong-bengong.
Aku mengangguk patuh. Apa lagi yang bisa kulakukan selain hanya mengangguk, karena aku yakin, sebagai seorang dokter yang terikat sumpah jabatan, tidak mungkin dia membuatku celaka, pasti ada alasannya mengapa dia menyuruhku test STD tersebut.
Kami turun dari mobil dan berjalan bergandengan tangan menuju klinik. Bagaikan dua orang kakak adik yang saling menjaga.
Membuka pintu klinik dan bertemu seorang dokter pria yang tampaknya tidak mengenal dokter Evie.
Mereka berbicara dan dokter pria tampak mengangguk-angguk lalu mempersilahkan diriku memasuki ruang periksa yang berisi sebuah kursi dengan dua buah penahan kaki di samping kanan kiri tempat tidur . Hatiku langsung berdebar, aku tahu tindakan apa yang akan dia lakukan terhadapku untuk test STD ini. Sang dokter pasti akan memakai metode swab genital, seperti saat kita melakukan papsmear.
Okay, Jen. Kamu bukan perawan, kok takut melihat kursi ini. Angkat tinggi kakimu dan sandarkan ke dua tiang itu biar dokter ini bisa segera melaksanakan tugasnya . Kata hatiku menguatkanku. Pasti ada alasan tertentu, sampai majikanku menyuruhku test SDT.
Aku mengepalkan tanganku dan berjalan pelan menuju kursi ajaib ini. Kursi tempat para dokter-dokter specialis kandungan memeriksa bagian kewanitaan seorang wanita. Tempat para wanita tak perlu malu membuka diri selebar-lebarnya kepada pria lain yang bukan pasangannya agar dia bisa memeriksa apakah ada yang salah dalam alat kelamin kita.
Dokter keluar duluan setelah mengambil genital swab milikku yang diletakannya pada selembar kaca bening berukuran 3 x 2 cm. Aku merapikan diri dan berjalan keluar dengan keadaan va.gina yang sedikit dingin karena olesan gel untuk memperlancar pengambilan swab.
“ Nanti hasilnya bisa di w******p aja ke nomorku ini.” Kata Madam Evie, sambil menulis deretan 12 nomor handphonenya.
Dan kamipun berjalan pulang dalam diam. Aku masih dengan pikiranku tentang kenapa dan apa sehingga Madam Evie menyuruhku melakukan test STD. Bertanya-tanya dalam setiap jengkal kebingungan tentang alasan apa yang harus dia katakan kepadaku, sampai dia harus menyuruhku melakukan test ini. Tapi sampai mobil kami memasuki rumah, aku belum menemukan jawabannya.
+++
Aku duduk di depan Madam Evie yang memandangku dengan sorot mata yang tidak bisa kujelaskan. Antara memohon bantuan ataupun ingin memberi perintah. Aku tidak bisa menebak, sorot mata yang mana yang ingin dia pakai saat berbicara denganku.
Kedua sorot mata itu terlihat jelas di wajahnya yang berahang kokoh dengan tulang dagu tinggi khas seorang pemimpin.
Dia menghela nafas, tampak berat memulai percakapan kami. Menghela nafas lagi seakan memberinya kekuatan. Aku tetap diam menunggunya dalam sabar berkepanjangan.
“ Jen… Aku perlu bantuanmu.” Beberapa menit kemudian, baru terdengar suara tegasnya.
“ Iya, aku siap membantu, Madam.” Jawabku tangkas.
“ Mulai sekarang, biasakan di rumah juga memanggilku dokter, jangan lagi madam.” Katanya kali ini dengan suaranya yang berubah menjadi lebih lembut.
Aku secepat kilat mengangguk.
Dia menghela nafas lagi dan mengengam erat tangannya yang dia letakkan di meja. Dan kali ini suaranya terdengar bagaikan lantunan meriam di telingaku yang langsung membuatku menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku tetap menggeleng-geleng tanda aku tak mengerti mengapa dia meminta bantuanku untuk melakukan hal ini. Hal yang sama sekali seharusnya tidak boleh dia minta kepada wanita lain untuk melakukannya.
“Jangan menggeleng terus. Ini satu-satunya cara untuk menolongku. Kamu ini wanita dewasa dan kamu satu-satunya orang yang bisa membantuku, bukan wanita lain.”
“ Tapi Madam..”
“ Madam lagi.” Potongnya sambil mendelik
“ Tapi dokter.. Aku tidak bisa melakukannya.” Kataku segera merubah panggilan ku kepadanya.
“ Kenapa tidak bisa? Kamu bukan gadis remaja. Kamu juga bukan perawan. Kamu sudah pernah melakukannya bersama suamimu. Dan suamimu menghianatimu dengan bermesraan bersama wanita lain. Jadi kamu juga bisa melakukannya bersama pria lain. ”
“ Tapi aku tidak ingin jadi wanita yang menyakiti wanita lain, seperti wanita selingkuhan suamiku itu. Tidak pernah terbersit dalam otakku untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya.” Kataku kali ini dengan suara lebih tegas, dengan harapan dokter Evie menggurungkan niatnya meminta pertolongan gila itu padaku.
“ Aku yang menyuruhmu. Kamu tidak menyakiti aku. Kamu malah membantuku dan membantu suamiku. Dengarkan Jenni. Ini satu-saatunya cara agar aku tidak terus merasa bersalah pada Mister Kevin. Aku ingin dia kembali menjadi seorang pria . Aku tidak ingin gara-gara diriku, dia harus melewati semua hal yang sangat menakutkan bagi pria sehat seperti dirinya.” Katanya tanpa menyebutkan dengan jelas, apa yang sebenarnya terjadi pada mister Kevin. Tapi aku sudah menduganya, pasti Mister Kevin tidak bisa melaksankanan tugasnya sebagai seorang suami, tapi kenapa mesti aku yang menolongnya?
“ Kenapa tidak madam saja sendiri yang mencoba segala cara agar Mister Kevin bisa kembali seperti semula.” Kataku kepadanya.
“ Inilah caraku , meminta bantuan padamu. Sebenarnya aku sangat malu padamu. Tapi aku sudah tidak punya orang lain yang bisa kupercaya, hanya kepadamu aku bisa meminta bantuan. Aku hanya ingin tahu, apakah kemampuan seksual mister Kevin, hanya bermasalah terhadapku karena sakit parkinsonku membuatnya tidak tega, atau memang dia ada gangguan kesehatan permanen yang menyebabkan dia tidak bisa melaksanakan tugasnya, seperti dia mengalami diabetes atau penyakit lainnya. Kalau karena itu, berarti kita harus secepatnya mencari pertolongan medis ke dokter agar dia bisa sembuh kembali.” Kata dokter Evie dengan pemikiran khas dokter.
“ Jadi test STD ku tadi, untuk keperluan ini?” Tanyaku
“Iya.”
“ Kalau aku tetap tidak bersedia.” Kataku pelan, sambil berdoa agar dia bisa mengurungkan niatnya meminta bantuanku untuk hal ini.
“ Kalau kamu menolaknya aku bukan lagi meminta pertolongan tapi….”
Aku memandangnya yang terdiam. Matanya bersorot semakin tegas dan ketika dia mengeluarkan surat kontrakku dari laci mejanya, surat kontrak yang aku tanda tangani pada hari pertama aku tiba bekerja di sini. Melihat surat itu, aku tahu aku tidak bisa lagi menolaknya. Kali ini, dia bukan lagi meminta bantuan tapi melakukan perintah kerja. Perintah seorang jendral kepada serdadunya yang hanya bisa menerima pasrah dan siap menjalankan tugas dengan sekuat tenaganya.
Perintah yang aku tahu akan segera dia turunkan kepadaku. Perintah yang sejujurnya tidak mau aku jalankan, karena aku tidak ingin menyakiti siapa-siapa. Menyakiti diri Madam Evie, Menyakiti Mister Kevin dan aku takut, aku menyakiti hatiku yang sudah berangsur sembuh. Bisakah aku menjalankan perintah itu tanpa harus menyakiti siapa-siapa??