Sissi menatap nyalang pada kedua orangtuanya terutama Papinya. Hatinya kesal dan merasa kecewa sekali. Bagaimana bisa mereka membuat keputusan Siapa yang meminta Kehidupan Sissi tanpa meminta dulu.
Selama ini ia selalu saja menjadi anak yg manis dan menuruti semua orang ingin Papinya.
"Sissi, nanti saat SMA Papi ingin kamu masuk ke Gonzaga." SMA Gonzaga adalah sekolah swasta yang hanya elit saja yang mampu bersekolah di sana. Sementara saat itu Sissi sudah menyetujui masa-masa indah putih abu-abu-nya bersama dengan kedua sahabatnya Meli dan Meta yg sekolah di SMA Negeri.
"Si, Papi sudah menyetujui kamu kuliah di jurusan manajemen bisnis, agar nanti saat Papi akhirnya kamu bisa memenangkan Papi di perusahan." Sissi hanya bisa mengatakan 'iya' karena dia pikir apa yang salahnya menyenangkan hati sesuai dengan semua keinginannya. Sementara Sissi sudah berangan-angan untuk mengambil jurusan desain karena kecintaannya pada semua hal yang berkaitan dengan desain-mendesain.
Dan inilah puncaknya. Sissi tidak bisa menerima lagi jika ia harus menerima keputusan Papinya kali ini. Ini adalah selamanya. Menikah demi hal yg main-main. Sissi ingin menikah hanya dengan orang yang menerima dan ia cintai saja. Tidak munafik bukan. Mana mungkin seseorang menikah tanpa ada cinta, meski itu dijodohkan, pasti saat pertama kali bertemu sudah muncul getar-getar yang aneh di dalam hati jika memang cinta itu ada.
"Apa-apaan ini Pap!" cerca Sissi saat Digo dan Rega sudah pamit pulang.
Sebenarnya Digo juga sama seperti gelisahnya seperti Sissi saat mendengar gadis cerewet yang sudah mengisi hari-hari ini akan dijodohkan dengan lelaki lain. Tapi Digo tidak punya hak dan wewenang untuk ikut andil dalam masalah keluarga Sissi.
Digo akhirnya pamit pulang duluan. Ia senang Sissi butuh waktu untuk membicarakan tentang soal kedua.
Sementara Rega. Lelaki itu bahkan sangat betah untuk tidak beranjak dari rumah Sissi.
Pak Alam yang melihat gelagat putrinya itu kurang nyaman saat bersama Rega kemudian menyeret pada pemuda itu agar halus dikembalikan di hotel yang sudah ia boking.
Pak Alam sengaja tidak menawari Rega untuk menginap. Ia sudah paham dengan sorot mata anak gadisnya yang terlihat tidak terima dengan ucapan Rega saat mengatakan bhwa kedua pembicaraan mereka menjodohkan mereka.
"Sissi sayang, dengarkan Papi dulu Nak,"
"Selain Pap! Sissi kecewa sama Papi, kenapa selalu mengambil keputusan tentang siapa yang ingin hidup Sissi tanpa bertanya lebih dulu."
"Sissi sayang, dengarkan penjelasan Papi dulu Nak,"
Senja mencoba membujuk Sissi agar putrinya itu mau mendengarkan penjelasan Papinya. Sissi menurut dan ia duduk di sebelah Alam dan Senja masih dengan wajah yg tertekuk.
"Dengar sayang, sebenarnya ini bukan kemauan Papi sama Mami."
"Maksud Papi apa?"
Alam mendekat ke Sissi dan dengan lembut menjelaskan pada putri satu-satunya itu.
"Sebenarnya saat kemarin Papi dan Mami ke Bandung untuk meminta bantuan pada Om Tama,"
Sissi mengerti arah pwmbicaraan Papinya. Mungkin karena kondisi perusahaan Papinya yg sedang di ambang kebangkrutan makanya Alam meminta bantuan pada Tama salah satu sahabatnya.
"Lalu apa ini Pap? Kenapa datang-datang Papa membawa lelaki yg mengaku akan di jodohkan denganku."
"Om Tama memberi syarat jika ia akan membantu asalkan mau menjodohkan Rega dengan kamu Nak,"
Pernyataan Papinya membuat Sissi kembali tersulut emosinya.
Kalau seperti itu apa tidak sama dengan Papi menjualnya sebagai jaminan. Demi perusahaan masa iya Alam Sasmitha rela menggadaikan masa depan anaknya pada lelaki yg belum sepeenuhnya ia kenal.
"Papi benar-benat kelewatan! Itu sama saja Papi menukar aku sebagai jaminan untuk bantuan yg akan Papi terima!"
"Sabar Si, tidak seperti itu cerita sebenarnya Nak,"
Senja berusaha menenangkan Sissi.
"Lalu seperti apa Mam?"
"Papi sudah jelaskan pada mereka, Papi memang berjanji akan mengenalkan kamu pada Rega, tapi Papi bilang itu bisa berlanjut kalau kamu juga menyetujuinya, tapi belum sempat Papi menjelaskan semuanya, Rega sudah terlebih dulu mengatakan padamu Si."
Sissi terdiam mencerna kata-kata Papinya. Hatinya sedikit merasa bersalah karena sudah salah duga dengan Papinya. Tapi ia juga tidak bisa memungkiri kalau hatinya sedang kesal saat ini.
"Kenapa Papi tidak cerita semuanya dari awal Pap? Kalau memang keadaaan kita tidak memungkinkan Sissi rela kog berhenti kuliah terus kerja biat bisa bantu-bantu Papi."
Alam menggeleng mendengar perkataan Sissi. "Tidak Sayang, Papi dan Mami akan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa membahagiakanmu. Pendidikanmu itu sangat penting, jangan sampai terbengkalai."
"Tapi tidak begini caranya Pap, seenggaknya Papi sama Mami tanyakan dulu padaku."
"Maafkan Papa sama Mama ya Nak, sebenarnya bukan seperti ini yg Papa mau," Alam mengelus lembut kepala Sissi.
"Iya Pap, maafkan Sissi juga ya, tadi sempat marah dan kesel sama Pap," ucap Sissi menyesal karena tadi sempat emosi.
"Jadi, nona Rimba?"
"Apa Pap?"
"Katakan pada Papi sekarang,"
"Katakan apa?"
Sissi menoleh Papinya heran. Apa yg dimaksud dengan kata-kata Papinya itu Sissi tidak paham sama sekali.
"Iya katakan Sayang, beritahu Mami dan Papi, sejak kapan?"
Mami Senja ikut-ikutan menimpali omongan Sissi dan Papinya.
"Papi sama Mami ngomongin apa sih? Sissi benar-benar nggak ngerti deh. Apa yg harus Sissi katakan?" ucap Sissi bingung.
"Hmm, dasar Nona Rimba nakal, masih mau ngeles rupanya Mam." goda Alam pada putrinya.
"Ngeles apaan sih Papi sayang??"
"Sejak kapan kamu dekat sama Digo?" tanya Papinya langsung.
"Dekat? Apaan sih Pap, Sissi nggak dekat kog sama dia." elak Sissi salah tingkah.
"Masih mau mengelak Rimba sayang?" cerca Papinya tepat sasaran.
"Apanya yg mengelak Pap, orang Sissi sama dia cuma, cuma..temen biasa kog."
"Sissi sayang, Mami sama Papi itu bisa lihat dari sorot mata kalian, kalau kamu dan Digo dekat bukan sekedar teman, iya kan Pap." sahut Mami Sissi diangguki oleh Papinya.
"Iish, Mami sama Papi kepoan banget sih, udah ah Sissi mau ke kamar dulu, capek mau istirahat." ucap Sissi melangkah ke kamarnya dengan cepat sebelum Mami dan Papinya terlalu banyak bertanya tentang dia dan Digo. Sissi merasa canggung saja jika harus menjawab tentang ia dan Digo. Apalagi kalau sampai nanti Mami dan Papinya tahu.
>
Digo menggeliat dalam tidurnya. Matanya memang terpejam, tapi pikirannya jauh melayang pada Sissi. Iya, sejak mengetahui siang tadi kalau Sissi akan dijodohkan dengan lelaki bernama Rega pikiran Digo menjadi tidak tenang.
'Apa ini! Kenapa tiba-tiba gue marasa nggak rela melihat si rimba mau dijodohkan oleh orangtuanya. Tidak Digo! Berhenti berpikir seperti ini. Ingat lo sudah punya Kathryn.' gumam Digo dalam hatinya.
Digo melirik handphone-nya yg tergeletak di tempat tidur di sampingnya. 'Telpon nggak ya, telpon aja kali ya, tapi nggak deh ntar si rimba kege-eran lagi! Tapi nggak ada salahnya juga kan gue telpon duluan. Aaaargh...ada apa denganmu Digo. Come on men! Hanya karena perempuan macem si rimba kenapa gue jadi kayak orang bingung begini sih!'
Batin Digo berperang antara ingin menghubungi Sissi dan rasa gengsinya saling berlawanan.
Baru ia ingin meraih handphone di sebelahnya disaat bersamaan handphone-nya berdering.
Digo melihat nomer yg tertera di layar, nomer tidak dikenal.
"Iya hallo, siapa?" tanya Digo pada orang di seberang telpon.
"Honey, ini aku. Kangeeeen banget tahu sama kamu. Kamu kemana aja sih kog nggak pernah hubungi aku."
Digo tertegun sejenak mendengar suara di seberang telpon yg ternyata dari Kathryn kekasihnya yg kini sedang berada di Milan.
"Kath, iya hallo."
"Digoooo, kenapa kamu manggil aku begitu sih? Digo sayang, semua baik-baik saja kan? Aku ada kabar gembira, cobak tebak sayang,"
"Iya, maksudku apakabar sayang, semua baik-baik saja. Kabar baik apa?" Digo agak tergagap saat mengucapkan panggilan sayang untuk Kathryn.
"Seminggu lagi aku kembali ke Indao Sayang, yeeeay..kamu pasti seneng kan. Akhirnya kita bisa sama-sama lagi nanti."
Digo kaget mendengar ucapan Kathryn yg mengatakan akan kembali dalam waktu seminggu lagi.
Suara memanggil dari seberang telpon masih terdengar saat Digo tiba-tiba terdiam.
"Digo sayang? Hallo..kamu masih disitu kan?"
"Iya Kath,"
"Kamu kog kayak nggak suka gitu aku mau pulang,"
"Bukan begitu Kath, aku seneng, bahkan saking senengnya sampai tidak bisa berkata-kata." bohong Digo pada Kathryn.
"Ya Tuhan! Sempurna Digo! Rencana pernikahan siapa lagi, Sissi yang dijodohkan, dan sekarang Kathryn akan datang dalam waktu seminggu lagi. Perfeck Digo! Aaaargggh sial! Omong kosong, sekarang semua jadi mudah begini sih."
Digo berteriak. Merasa pusing dengan masalah yg sedang terjadi akan dihadapinya.
#########