Bab 9. Dia Yang Kutinggal

1163 Words
“Aku gak apa-apa, Daddy! Masa Daddy gak percaya sih? Aku mau pulang aja!” rengek Venus pada ayahnya Arjoona. Arjoona tersenyum pelan dan sedikit memindahkan beberapa helai rambut Venus ke balik telinganya. “Sebaiknya kamu istirahat di sini saja dulu hanya untuk malam ini saja. Besok pagi setelah pemeriksaan menyeluruh, kamu baru boleh pulang. Iya kan, Nathan?” tanya Arjoona sekaligus menoleh ke belakang melihat dr. Nathan yang berdiri di sebelah Jayden Lin. Dr. Nathan langsung mengiyakan dengan senyuman dan menaikkan kedua aliasnya bersamaan. “Iya, lagi pula kamar ini kan bukan kamar perawatan biasa. Kamu dapat kamar VVIP yang senyaman kamar pribadi. Besok setelah Om memastikan kamu baik-baik saja, kamu baru boleh pulang” sambung dr. Nathan menimpali. Venus hanya bisa diam saja. Arjoona pun mengecup kening Venus sebelum ia pamit pulang. “Daddy pulang dulu, besok kalau kamu mau Daddy bisa jemput ...” tawar Arjoona dan Venus langsung menggelengkan kepalanya. “Gak Dad, aku pulang sendiri saja. Toh, ada pengawal!” ujar Venus sembari melirik pada Dion yang berdiri tak jauh dari pintu masuk. Dion hanya diam saja dan sedikit menundukkan pandangannya. “Ya sudah, Daddy pulang dulu ya, Sayang. Be good girl, I love you!” ujar Arjoona seraya membelai sebelah pipi Venus yang tersenyum menanggapi sang ayah. Jayden juga ikut menghampiri dan pamit pada Venus. Venus tersenyum dan ikut menerima kecupan di sisi kening dari Jayden. “Kami pulang dulu, Nat!” Arjoona menepuk lengan Nathan dan Jayden sempat memeluk Nathan sebelum ia ikut keluar. “Jaga Venus!” ujar Arjoona pada Dion saat dibukakan pintu olehnya. “Baik, Pak!” Jayden pun ikut melirik pada Dion dan tak mengatakan apa pun selain pergi mengikuti Arjoona. “Kalau ada apa-apa sama luka kamu, kasih tahu. Panggil perawat dengan tekan tombol ini, mengerti?” ujar Nathan menunjuk tombol di sisi ranjang Venus sebagai tombol darurat dan panggilan pada petugas medis yang berjaga. Dr. Nathan pun keluar dari kamar tersebut tanpa melihat pada Dion yang masih jadi pembuka pintu. Saat hanya tinggal berdua, suasana jadi kembali sepi. Dion tak tahu harus berbuat apa selain menunggu. Venus pun menoleh pada Dion lalu tersenyum. Dion ikut membalas senyuman Venus dan menunduk lagi. Tak berapa lama kemudian, seorang staf menghidangkan makan malam untuk Venus. Tapi daripada menggunakan meja lipat khusus pasien, Venus meminta agar makanan diletakkan di meja kopi dekat sofa saja. “Terima kasih,” ucap Venus tersenyum pada staf tersebut. Ia berpaling dan mengajak Dion ikut makan malam. “Ayo Mas, kita makan dulu!” ajak Venus dengan santai dan ia langsung duduk. Dion jadi bingung dan sedikit kelabakan. Kenapa sekarang ia malah diajak makan? “Silakan, Nona. Saya bisa makan di luar saja,” balas Dion mempersilahkan Venus makan sendirian. Venus tampak sedikit tak enak. Tapi lebih aneh lagi jika ia makan dan Dion hanya berdiri saja. “Gak apa, Mas. Kita bisa berbagi ...” “Jangan! Akan sangat mengganggu Nona nantinya. Saya akan menunggu di luar saja. Silahkan nikmati makan malamnya.” Dion masih bersikeras menolak dan meninggalkan Venus sendirian di kamarnya. Venus terpaku ditolak oleh Dion seperti itu. Perlahan ia menatap telapak tangan kirinya yang terluka. Venus adalah seorang kidal. Ia lebih banyak menggunakan tangan kirinya dari pada sebelah kanan termasuk untuk urusan makan. “Kenapa dia malah takut sama aku?” gerutu Venus bergumam sambil cemberut. Bahkan Dion pun menghindar darinya. Di luar kamar, Dion harus mengatur detak jantungnya yang aneh gara-gara tawaran Venus. Sesungguhnya Dion tak mengerti dengan detak jantungnya yang sering melompat-lompat kala beberapa kali menatap Venus. “Mungkin aku hanya capek,” gumamnya pada dirinya sendiri. “Pak?” panggil Kyle menghampirinya. Dion pun berdiri lalu tersenyum. “Sebaiknya kamu makan malam dulu, biar aku yang berjaga di depan pintu,” tawar Kyle pada Dion. Dion pun mengangguk. “Langsung hubungi aku jika ada apa-apa!” perintah Dion sebelum ia pergi. “Tentu saja, Pak. Pergilah, kamu butuh istirahat!” ujar Kyle lagi meyakinkan Dion. Dion lalu pergi meninggalkan koridor kamar Venus untuk makan di cafetaria rumah sakit. Ia memilih tempat terdekat untuk mengisi perut sekaligus beristirahat. Sedang menikmati sandwich dan sebotol air mineral, ponsel Dion berdering. Dion cepat menyambar ponselnya mengira jika itu dari Kyle dan ternyata bukan. Keningnya sempat mengernyit sebelum mengangkat. “Halo, Mas Dion?” sapa suara seorang gadis dari seberang panggilan. “Halo, Yuli. Apa kabar kamu?” Dion balik menyapa Yuli. Tetangga sebelah rumah kontrakannya dan masih berusia 17 tahun. “Baek, Mas. Mas Dion kok gak pulang-pulang sih? Tugas di luar kota ya?” Dion menggaruk sisi tekuknya sedikit meringis. Ia memang hanya memberitahu keluarga dekat yaitu neneknya dan tunangannya Laras jika sekarang Dion ada di New York. “Iya ... begitu deh kira-kira. Ada apa, Yul? Tumben kamu telepon Mas?” “Habisnya Mas Dion gak pernah ada di rumah!” sungut Yuli dan Dion hanya tersenyum tipis. “Ya ada apa kamu telepon aku, bukannya ini jam ... masih sekolah?” Dion melirik jam tangannya dan ada sekitar 18 jam perbedaan waktu dengan di Indonesia. “Aku ... ehm ...” “Kamu bolos ya?” potong Dion cepat. “Gak Mas. Ada yang harus aku kerjain di luar sekolah. Ah, tapi itu gak penting! Aku mau ngasih tahu sesuatu yang penting ni, Mas!” Dion jadi mengernyitkan keningnya mendengar Yuli seperti tengah bermain kucing-kucingan. “Hal penting apa?” “Aku barusan lihat Mba Laras sama temenmu yang suka ke rumah itu lho, Mas. Siapa namanya?” “Rico!” sahut Dion cepat. “Iya itu! Aku lihat mereka jalan berdua lho Mas dari restoran Jepang gitu.” Dion mendengus dan tersenyum. “Jadi?” “Lho, kok jadi? Mas Dion tenang-tenang saja!” protes Yuli lagi. “Ya kan mereka kerja di bank yang sama. Laras jadi customer service dan Rico itu staf dalam. Apa yang salah kalau mereka keluar sama-sama buat makan siang?” balas Dion balik mempertanyakan esensi dari laporan itu. “Jadi Mas ngijinin Mba Laras jalan ma cowok laen?” “Cowok laen itu teman dan sahabatku sendiri, Yul. Lagian Laras dan Rico kerja di satu tempat dan mereka sudah biasa sekali pergi makan siang!” bantah Dion balik membela kekasihnya. “Tapi kan dia bisa ajak orang lain buat nemenin biar gak berdua doang!” cetus Yuli membalikkan keadaan. Dion hanya bisa diam saja tapi ia memang bukan orang yang gampang terpengaruh. “Yul, Laras itu sedang penghematan untuk biaya pernikahan kami. Kalo dia ngajak orang lain bisa jadi karena dia gak enak kalo gak nraktir,” tukas Dion memberikan argumentasinya. “Tapi, Mas ...” “Udah, daripada kamu mikir yang gak-gak, mending kamu balik ke sekolah atau pulang deh! Nanti kalo telat pulang, ibu kamu bisa marah!” ujar Dion menasihati. “Ah, Mas Dion.” “Sudah, nanti kalo Mas pulang, Mas belikan kamu oleh-oleh deh. Sekarang pulang ya. Biarin Laras di situ, jangan ganggu dia, hmmm!” Dion pun langsung mematikan panggilan dan menghela napas. “Ah, ada-ada saja anak kecil!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD