Bab 1

1057 Words
"Bukankah aku sudah mengirimkan tanda untuk menurunkan hujan dan kesuburan di wilayah Ranhold?" ujar seorang gadis dengan gaun putih yang menyapu lantai. Para elf bisa saja terbuai dengan keindahan gadis di hadapan mereka. Ya, siapa yang bisa menolak aura kecantikan dari rambut putih tersebut? Tentu, tidak ada, tetapi situasi ini berbeda. Mereka takut dengan mata di balik kain hitam tersebut; penutup mata itu benar-benar keramat! Tangan sang gadis tiba-tiba menyelusup ke dalam rambut putih panjangnya. Mencari-cari ikatan di belakang kepal. Saat semuanya menjadi jelas, dia melihat lima orang elf cahaya tersebut. "Aku rasa intruksiku sudah cukup jelas, tetapi kenapa kalian malah tidak menuruti ucapanku?" tanya gadis tersebut. "Pu ... putri Ellena, manusia dan para penyihir itu sangat serakah. Berdamai atau tidak, menurut kami me-mereka sama sa-saja," ucap salah satu elf cahaya di hadapanya. Ellena menatap tajam. Tidak ada yang berani menatap lama mata keemasan itu, terkecuali elf di hadapannya. Dalam sekian detik dia melihat makhluk dengan telinga runcing itu berteriak kesakitan dan terjatuh. Meronta-ronta meminta bantuan teman-temannya. Namun, semua hanya bisa pasrah, karena tuan putri mereka sangat tuli ketika kejadian seperti ini berlangsung. Hanya perlu beberapa menit saja hingga elf cahaya itu berubah menjadi butiran debu dan Ellena kembali ditarik ke alam sadarnya kembali. Dia segera menutup mulut dengan mata yang membelalak. Apakah kematian pantas hanya demi satu kebohongan? Karena elf yang berucap di hadapannya harus menempuh kematian akibat kebohongannya. "Maaf, Putri. Kami ... kami tidak bermaksud untuk mengelabui Anda," ucap elf lainnya. Ellena hanya menoleh tanpa melihat. Dia menuurunkan tangan yang membekap mulut sendiri. Dia lalu menggenggam erat kain penutup matanya. "Ini perintah Yang Mulia." "Pergilah!" tegas Ellena. Dia masih mematung menghadap pada tembok pembatas dengan ruangan kerjanya. Para elf cahaya segera pergi dengan sayap mereka, hanya tersisa satu orang. Jean, nama elf manis dengan rambut yang dikepang. Ellena tidak akan mempermasalahkan keberadaannya. Justru sebaliknya. Ellena berbalik dan memeluk gadis dengan tinggi yang jauh lebih pendek darinya. "Ini bukan salah, Putri," ujar Jean. Ellena semakin mengeratkan pelukannya dan membiarkan tetesan air mengalir membasahi pipinya. "Aku tetap membunuhnya, Jean." Membunuh seorang elf itu bukan yang pertama kali untuk putri dari Kekaisaran Langit. Tanpa perlu memegang pedang, matanya sudah cukup mengetahui kenyataan sebenarnya. Matanya adalah senjata rahasia Ellena, tidak hanya para elf, bahkan para petinggi dan ayahnya pun sangat takut jika harus berhadapan. Jean mengelus pelan punggu putrinya lalu meminta untuk melepaskan pelukan. Tangannya yang dua kali lebih mungil segera mengambil ikatan mata yang Ellena pegang. Satu-satunya cara menyegel kekuatan itu adalah dengan menutup penglihatannya. "Putri Ellena tidak salah, tidak seharusnya mereka berbohong seperti itu. Ayolah! Putri sangat cantik dan tidak ada yang bisa menandingimu, bahkan para Dewi Langit sebelumnya. Sekarang hapus air mata dan gunakan bibir Anda untuk tersenyum," ujar Jean. Ellena mencoba untuk tersenyum, tetapi tidak bertahan sampai lima deti. Dia lalu menarik napasnya dalam-dalam sebelum pada akhirnya dia keluarkan. Segera dia melihat ke sekitar, ruangan kerjanya memang sangat sepi. Ya, lagi pula siapa yang mau mencelakan putri dari seorang Kaisar Langit? "Aku rasa aku perlu beristirahat sejenak, Jean. Bisa kamu membuat teh dengan daun mint dan kayu manis? Antarkan itu ke ruang keluarga di kerajaan," ucap Ellena seraya menggunakan penutup matanya kembali. "Baiklah, Putri." Jean segera membungkuk hormat lalu terbang dengan kedua sayapnya yang menyerupai sayap seekor kupu-kupu. Ellena kembali mengatur napas lalu melangkahkan kakinya di atas batu yang menjadi lantai Kekaisaran langit. Dari ruangannya ke ruang keluarga cukup jauh; dia sendiri yang meminta pada ayahnya. Menjauh dari keributan di langit adalah cara terbaik untuk mengamankan matanya. Andai semua bisa berkata jujur, dia tidak perlu menangis karena melihat siapa pun menjadi butiran debu. Ellena berhenti di depan pintu yang tingginya dua kali lipat dari dirinya. Para peri penjaga segera membungkuk hormat, dia membalas dan langsung membuka pintu. Ruangan besar dengan berbagai barang tersusun rapi. Satu meja dan beberapa bantal terletak di tengah ruangan. Bunga anyelir merah menjadi hiasan yang indah. Semerbak harumnya dapat Ellena hidu. Kaisar Ferarus, ayahnya, sangat tahu bagaimana membuat dia melepas penat. Dia menghampiri bunga anyelir merah yang berada di depan pintu. Segera dia ambil salah satu dan lalu duduk di atas bantal. "Putri ini teh daun mint dan kayu manis yang Anda minta," ucap Jean yang mengacaukan lamunannya. Ellena membalas dengan senyum dan membiarkan Jean pergi dari hadapannya. Dia benar-benar butuh ketenangan. Ruangan santai ini salah satu cara yang tepat, terlebih Kaisar Ferarus masih sibuk dengan urusan langit dan bumi mereka. Namun, ketenangannya hanya berakhir sebentar karena cahaya yang terang terlihat dari balik pintu. Ellena memutuskan tetap meminum teh dan membiarkan sosok tersebut masuk dengan jubah kebesarannya. "Putriku Ellen, kamu adalah calon Dewi Langit selanjutnya," ujar seorang pria dengan mahkota dan jubah kebesarannya. "Tidak bisakah kamu membuka penutup matamu?" Ellena mengembuskan napas lalu meletakkan cangkir teh di atas meja. Dia menaikkan wajah. Dia tahu sosok bercahaya di hadapannya, menutup mata bukan berarti dia tidak mengetahui apa pun. Dia bahkan bisa melihat dengan jelas seperti mata normal pada umumnya, hanya kekuatan matanya saja yang tidak dapat berfungsi. "Kaisar Langit, bisakah langsung saja bicarakan tujuan Anda ke mari?" ucap Ellena dengan senyum mengembang. Kaisar Ferarus segera duduk berhadapan dengan anaknya. Dia tatap surai putih nan indah itu. Rambut yang membuat para prajurit langit terpesona hingga terus menatap putrinya lekat-lekat. Ketidaksopanan itu membuat Ellena tidak nyaman. Hanya butuh persekian detik hingga para prajurit menyadari keduanya butuh privasi. "Nak, menikahlah. Usiamu sudah cukup matang dan sudah menjadi tradisi lama jika bangsa kita menikah dengan para penyihir. Demi menjaga keseimbangan di dunia ini," ucap Ferarus, Kaisar Langit sekaligus ayahnya. Ellena dengan anggun menarik cangkir teh lalu meminumnya lagi. Dia tidak mau langsung menjawab, membuat ayahnya berharap jika dia sedang memikirkan jawaban. Tidak. Ellena diam demi ketenangannya. Lalu memegang kembali cangkir tehnya. "Bukankah Kaisar Langit sendiri tahu, Kaisar Bumi sudah memiliki istri yang sangat dicintainya. Tentu saja aku tidak pernah ingin menjadi perusak hubungan mereka," jelas Ellena membuat Kaisar Langit menatapnya tajam. "Kita sudah terikat perjanjian! Tidak peduli jodoh atau kamu tidak menyukainya! Kamu harus menikah dengannya." Baiklah ketenangan Ellena sudah berakhir sekarang. Gadis berambut putih pun hanya tersenyum kikuk. Rahang Kaisar Ferarus sudah mengeras, dia yakin karena jika membahas perjanjian pernikahan sudah pasti Ellena menentang semua itu. "Tidak bisakah kita memperbarui perjanjian ini, Kaisar Langit? Keseimbangan tidak selalu harus tercipta dengan pernikahan. Bahkan tanpa pernikahan ... putrimu ini berhasil mengawasi langit dan bumi." "Kamu jelas sudah tahu kenapa pernikahan ini harus dilaksanakan, Ellena," ucap Kaisar Langit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD