Part 3

2096 Words
"Tante Wawa." "Hemm?" "Nanti di rumah Ray, ada kulkas besar yang bisa langsung buat batu es yang kecil-kecil gitu, jadi Tante Wawa enggak perlu pecahinnya pake tenaga dalam kayak tadi," celoteh Rayyan sambil mendongak memandang Anwa yang tersenyum ke arahnya. Tangan wanita itu bergerak mengelus dahi sang bocah yang tertidur dipahanya. Anwa tidak menyangka bocah itu ternyata memperhatikannya ketika memecahkan batu es untuk membuat minuman yang akan dijual. Namun, perempuan itu hanya hanya mengangguk, tak menjawab lebih karena sedikit risih saat merasa terus sepasang mata tengah memperhatikannya. Anwa menyadari bahwa orang yang berada di bangku pengemudi itu sekarang tengah menatapnya dari spion yang menggantung. "Tante Wawa nanti bobok sama Ray ya?" tanya Ray lagi dengan pandangan berbinar. "Enggak bisa sayang," tolak Anwa berusaha selembut mungkin. Ia harus membantu Mbah Endang untuk mengemasi barangnya sebelum wanita itu berangkat menuju kota anaknya dan setelah itu mungkin dirinya harus mencari tempat tinggal lagi. "Kanapa tidak bisa?" Anwa terkejut ketika mendengar suara berat tiba-tiba bergabung. "Tante Wawa harus nemenin Mbah Endang dulu tidur di warung.” Anwa mengatakannya pada Rayyan, mengabaikan pria itu yang sebenarnya bertanya. "Yah..." ujar Rayyan tak mengerucutkan bibirnya. Anwa mengalihkan pandangannya ke arah depan, saat mendengar Ansell sedang menelpon seseorang. "Berikan uang itu kepada Mbah Endang sekarang, belikan dia tiket serta bantu berkemas setelah itu antarkan ke Bandara. Dan, jangan lupa hancurkan warung itu sekarang juga sampai rata dan tak bersisa!” Anwa sontak terkejut, tidak bisa berkata apa-apa ketika mendengar perintah yang diberikan pria bernama Ansell itu kepada anak buahnya. Apa harus seperti itu? Kenapa pria itu tidak menunggu lebih lama lagi? Apa Ansell ingin membangun sesuatu disini? "Mbah Endang akan pergi hari ini dan warungnya akan dihancurkan siang ini juga," tutur Ansell membalikan tubuhnya sehingga sekarang pandangannya menatap ke arah Anwa. "Jadi Tante Wawa bakal nginap di rumah Ray dong?" tanya Ray yang sekarang bangun dari posisi tidurnya, anak laki-laki itu memegang tangan Anwa dengan pandangan memelas namun sangat imut. "Apa aku juga harus seperti Ray agar kamu bisa menginap di rumah kami?" tanya Ansell yang sekarang menatap ke arah Anwa dengan sebuah senyuman yang nampak mengerikan. "Eum, Tante Wawa bakal menginap sehari di rumah Ray." Anwa melakukannya karena Rayyan, ia sudah berjanji untuk tidak meninggalkan anak laki-laki itu. Setidaknya mereka akan bersama hingga bocah itu bosan sendiri dengannya. "Yeayyyy!" pekik Rayyan bahagia. Ansell yang mendengarnya ikut tersenyum, laki-laki itu merasa sangat bahagia ketika tahu bahwa wanita yang ia cari selama ini berada di mobilnya dan akan menginap di rumahnya. Ah, ia pastikan bahwa malam ini ia tidak tidur dan akan terus memandangi wajah Anwa. Tuk! Tuk! Pintu kaca mobil diketuk, Ansell pun mengerutkan dahinya ketika melihat bayangan pria yang menjadi tangan kanannya dari balik kaca. Alvaro ternyata ingin menyampaikan bahwa barang-barang Anwa dan Mbah Endang sudah siap. "Aku ingin berpamitan dengan Mbah Endang dulu,” ujar Anwa yang merasa aneh dengan dirinya. Kenapa ia harus memberitahukan itu pada Ansell? "Boleh, asal tidak ikut Mbah Endang saja," balas Ansell yang membuat Anwa terdiam. Ansell ikut turun dari dalam mobil namun tidak mengikuti langkah Anwa, pria itu hanya bersandar di depan pintu mobilnya sambil mengarahkan tatapannya ke arah Anwa dan Mbah Endang yang menangis. Untung saja Mbah Endang adalah orang yang menolong Anwa, jika tidak mungkin ia akan menyingkirkan wanita itu karena sudah membuat wanitanya menangis sesegukan seperti itu. "Itu wanita yang lo cari?" tanya Alvaro yang telah menyelesaikan urusannya, pria itu berdiri di samping Ansell. Ansell hanya mengangguk, tak sekali pun mengalihkan pandangannya dari Anwa yang masih dengan acara haru birunya. "Sialan, ternyata seksi banget! Pantesan lo pengen banget ketemu dia. p****t sama bukit kembarnya mantap dan gede cuy!" komentar Alvaro membuat Ansell yang mendengarnya langsung menatap tajam ke arah pria itu. "Lo mau Pak Burhan dan Buk Melati kehilangan anak sulung mereka?" tanya pria itu penuh penekanan sambil menyembut kedua orang tua Alvaro membuat laki-laki yang sedang diancam itu mendengus. "Tapi, kalo lo bosan, kasih gue aja ya?" "Tidak akan pernah,” jawab Ansell mutlak. Ansell kemudian melangkah kakinya mendekat ke arah Anwa ketika acara peluk dan menangis itu selesai. Pria itu sekarang tepat berada di depan Anwa yang sedang berwajah sembab.  "Biar aku yang bawa," kata Ansell menunduk dan mengambil barang Anwa yang hanya berupa tas. "Tunggu, ini isinya apa? Kapas atau baju?" tanya Ansell hendak membuka tas itu namun langsung dicegah oleh Anwa yang sekarang wajahnya tengah memerah antara malu dan sedikit tersinggung. Hampir saja laki-laki itu melihat pakaian dalam miliknya. Namun sebenarnya, Anwa tak perlu tersinggung. Toh, apa yang dikatakan Ansell benar. Bajunya sangat sedikit sehingga tas ini terasa sangat ringan. "Kita beli pakaian yang banyak untuk kamu nanti," tutur Ansell sambil mengambil tas itu dari Anwa lalu berbalik. "Ayo!" ajaknya ketika melihat Anwa sama sekali tidak bergerak. "Apa aku harus menggendong kamu, Anwa?” goda Ansell membuat Anwa buru-buru mengikuti langkah pria itu yang seoarang tergelak. Anwa  mengikut langkah Ansell masuk ke dalam mobil. Pria itu membukakan pintu bagian belakang dimana Rayyan sudah menunggunya. Lalu Ansell berbalik dan masuk ke bagian pengemudi. Tuk! Tuk! Ansell menurunkan kaca mobilnya ketika ada yang mengetuk. "Apa?" tanya Ansell menatap datar ke arah Alvaro. "Gue nebeng mobil lo dong, anak buah gue ngantar Mbah Endang,” ujar pria itu dengan wajah memelas. "Enggak," tolak Ansell cepat lalu menaikan kaca mobil. Tuk! Tuk! Ansell mengabaikan Alvaro yang terus mengetuk kaca mobilnya, laki-laki itu lalu menghidupkan mesin mobil dan berjalan meninggalkan Alvaro yang kebingungan. "Kenapa tidak diajak saja?" tanya Anwa membuat Ansell menatap wanita itu dengan dahi berkerut. "Tidak perlu," jawabnya. "Padahal ada satu kursi kosong," ucap Anwa sambil melirik ke arah kursi yang ada di samping Ansell. Ansell sontak membuka jas hitamnya dan meletakannya di kursi sampingnya. "Sudah terisi." Wanita itu yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala saja. Tingkah pria itu sungguh kekanak-kanakan. Padahal apa salahnya membantu seseorang? Anwa tidak tahu saja, jika Ansel sekarang sudah terbakar api cemburu karena merasa wanita itu sangat perhatian dengan Alvaro. Mobil yang dikendarai Ansell kemudian berhenti di depan sebuah pagar besar nan kokoh. Seorang satpam belari-lari ke arah gerbang dan membukanya. Anwa yang sudah menebak bahwa rumah itu akan sangat besar terkejut ketika mobil masuk ke dalam. Tidak, rumah ini lebih besar bahkan ini sudah tak seperti rumah lagi. Istana, mungkin? Mobil itu kemudian berhenti di depan pintu rumah. Seorang dengan seragaman entah apa tugasnya membukakan pintu untuk mereka semua. Jangan bilang kalo pekerjaan pria itu hanya membukakan pintu? Ansell kemudian memberikan kunci mobilnya pada pria pruh baya yang membukakan pintu mobil tadi. "Ayo masuk!" ajak Ansell pada Anwa. Beberapa asisten rumah tangga dengan pakaian seragam berdiri berbaris rapi di depan pintu utama. Mereka semua kompak menunduk ketika Ansell berjalan. "Tante Wawa ayo ke kamar, Rey!" ajak Rayyan sambil menggengam tangan Anwa. "Bibi Elen, bikinkan dua jus untuk Rey dan Tante Wawa!" seru anak laki-laki itu pada seorang wanita paruh baya yang nampaknya adalah kepala pelayan. "Rey, minta tolongnya mana?" tegur Anwa lembut. "Untuk apa? Kan Kak Ansell yang membayar mereka," tutur Ray polos membuat wanita itu menatap ke arah Ansell dengan kesal. "Apa?" tanya Ansell bingung karena ditatap seperti itu. "Aku memang membayar mereka semua kok,” tambah laki-laki itu tak mengerti. Anwa yang mendengar perkataan pria itu menghela nafas panjang. Ansell benar-benar tidak bisa diharapkan untuk mengajarkan Ray. Ia kemudian beralih menatap seorang bocah yang ada di sampingnya. “Walaupun mereka berkerja untuk Ray namun harus tetap hormat pada yang lebih tua. Ray jangan lupa untuk meminta tolong.” "Oke, kalo Tante Wawa yang bilang, Ray mau!" seru Ray sambil mengangguk semangat, Anwa yang mendengarnya menghadiahi usapan lembut pada rambut bocah laki-laki itu yang kini tersenyum lebar. "Bibi Elena, tolong buatakan jus untuk Ray dan Tante Wawa ya.” "B-baik, tuan Muda," jawab Bibi Elen sedikit terkejut. Ansell merasa sekarang dirinya adalah Kakak yang buruk. Pasti Anwa juga beranggapan bahwa ia tidak becus mengajari Ray. "Aku sudah berulang kali kok menasehati Ray untuk meminta tolong, tapi tidak mau didengarkannya," alibi Ansell agar Anwa tidak membencinya padanya. "Bohong, Kak Ansell bilang jika orang itu tidak menuruti kita, ancam saja!" Anwa semakin menatap datar ke arah Ansell yang menyengir seperti tidak bersalah. "Ayo Tante ke kamar Ray!" ———— Anwa tersenyum lembut ke arah Rayyan yang tertidur di pelukannya. Wanita itu tersenyum sendu, kapan terakhir kali ia melihat wajah polos seorang anak tertidur dipelukannya? Sudah lama sekali, sejak mantan suaminya membawa kedua anaknya.  Wanita itu melepaskan pelukannya dengan sangat pelan, tak ingin membuat Ray yang terlelap bangun. Anwa tiba-tiba merasakan haus, ia  memutuskan untuk turun ke lantai bawah untuk mengambil segelas air minum guna menandaskan rasa hausnya. Sebelum keluar dari kamar, Anwa melirik jam yang ada di dinding, pukul 10 malam. Anwa keluar dari kamar, suasana temaram menyambutnya membuat ia merasa sedikit takut. Apalagi ketika merasakan ada sosok seperti sedang mengawasinya. Wanita itu kemudian segera turun ke bawah, ketika Anwa sedang menuangkan air ke dalam gelas, ia terkejut ketika menemukan Ansell berada di belakangnya memandangnya lekat. "Kenapa tidak menekan bel yang berada di dekat lampu tidur untuk meminta pelayan mengambil minum?" "Tidak apa, aku bisa sendiri,” jawab Anwa yang merasa ingin meninggalkan dapur dengan cepat. Namun, sebenarnya ada yang ingin ia katakan pada Ansell saat ini. “Ada apa?” tanya Ansell ketika melihat Anwa ingin mengatakan sesuatu. “Aku ingin—-“ Ansell meminta wanita itu untuk berhenti sebentar ketika ponselnya bergetar menandakan bahwa ada panggilan yang masuk. Ck, meganggu waktunya berduan dengan Anwa saja. Awas saja tidak penting. Batin Ansell. "Sell, Mbah Endang diculik waktu keluar dari Bandara," ujar Alvaro sedikit keras, terdengar suara angin yang berhembus kencang. Ansell tebak, pria itu sedang mengendarai motor besarnya. "Mbah Endang diculik? Sudah, itu bukan urusan kita lagi," balas Ansell pendek. Laki-laki itu segera memutuskan panggilan telepon. Tunggu, ia dan Anwa tadi sudah sampai dimana? Ah, wanita itu ingin mengatakan sesuatu pada Ansell. Apa jangan-jangan Anwa ingin menikah dengannya? Jika iya, malam ini juga akan ia selenggarakan pesta pernikahan termewah untuknya. "A-apa?! Mbah Endang diculik?" tanya Anwa yang dengan raut wajah khawatir sekaligus panik. "Mbak Endang diculik setelah sampai di kota tinggal putranya. Jadi itu bukan urusan aku lagi, palingan penculik itu menginginkan uangnya lalu kemudian membuang Mbah Endang." "Kamu tidak bisa begitu, Ansell!" seru Anwa yang sedikit terbawa emosi, bagaimana bisa pria itu bisa semudah itu mengatakan hal kejam seperti itu? Sungguh Ansell tidak memiliki perasaan! "Ulangi lagi," ujar Ansell dengan suara beratnya membuat nyali Anwa langsung ciut. Apalagi ketika pria itu melangkah maju, mempersempit jarak mereka. Tubuh pria itu sekarang tepat berada di depan Anwa, bahkan ia dapat mencium aroma parfum yang dikenakan Ansell. "A—ansell...” ucap Anwa terbata. "Kenapa aku tidak bisa begitu?" tanya Ansell menatap Anwa tajam seolah hendak menerkamnya saat ini juga. Pandangan laki-laki itu kemudian perlahan turun ke bawah dan terkejut ketika menemukan sesuatu yang sedang mengintip malu-malu. Ansell mati-matian menahan sesuatu yang membara di tubuhnya ketika melihat dua kancing daster milik Anwa terbuka yang nampaknya tidak disadarinya. Laki-laki itu membayangkan bagaimana dua bukit kembar yang terbalut bra itu pasti sangat pas di telapak tangan Ansell, membayangkan bisa meremasnya lembut dan memainkannya membuat laki-laki itu mengerang. Sedangkan Anwa saat ini tengah mengumpulkan keberanian. Wanita itu meneguk ludahnya pelan, mengepalkan kedua tangannya berani. Ingat saja kebaikan yang diberikan oleh Mbah Endang, batinya. "Kamu harus membantu Mbah Endang." "Tidak, aku tidak mau,” balas Ansell yang sama sekali tidak melepaskan pandangannya pada dua bukit kembar Anwa yang menggoda. "Ansell, tolong..." mohon Anwa suara yang bergemetar, bahkan hampir terisak. Sontak saja membuat semua pikiran kotor yang berserang di otak pria itu lenyap. Batapa terkejutnya, Ansell ketika melihat wanita di depannya sudah menangis tersedu. Shit! Padahal Ansell berjanji akan menghancurkan orang yang membuat Anwa menangis. Apa ia perlu mengancurkan dirinya? Namun yang membuatnya bingung. Kenapa Anwa sangat peduli pada perempuan paruh baya yang sama sekali tidak memiliki ikatan darah dengannya? Ah, Ansell paham. Setelah menemukan Anwa, ia masih tetap meminta anak buahnya untuk mencari tahu apa yang sudah terjadi pada wanita itu. Cukup membuatnya ingin mengancurkan apa saja tadi. Dan yang membuat hati laki-laki itu sekarang seperti ditusuk-tusuk adalah kenyataan bahwa Mbah Endang menolong Anwa yang saat itu luntang-lantung tidak memiliki tempat tinggal. Seperti dirinya dan adiknya saat diselamatkan oleh Anwa. “Baiklah, aku akan membantu menceri Mbah Endang,” putus Ansell membuat Anwa tersenyum diantar lelehan air matanya. “Tapi, aku akan minta satu syarat,” tambah laki-laki itu dengan sebuah smirk di bibirnya. Ah, tetap saja laki-laki itu tidak akan melewatkan kesempatan ini. Ia akan meminta sesuatu yang sangat ia inginkan dari Anwa. “Terima kasih Ansell!” tutur Anwa merasa lega namun tidak menyadari bahwa ada sepasang mata yang tengah menatap tubuhnya lapar. “Aku ingin.....”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD