Part 2

1602 Words
“Pedes huhh...” “Ray enggak tahan pedes?” tanya Anwa sambil memberikan minum yang sudah ia disediakan di dekat bocah berambut tebal itu. Ray langsung meneguk air minum hingga membuat kaos dalam yang ia kenakan basah. “Enggak,” gelengnya sambil menghela nafas lega. “Hah..” “Pelan-pelan minumnya,” peringat Anwa sambil mengelus bibir bocah itu yang basah. “Ray emang kelas berapa?”  “Kelas tiga,” ujarnya lalu menatap Anwa. “Ray cemen ya Tante karena enggak tahan pedas?” tanyanya dengan bibir mengerucut. “Enggak dong. Setiap orang itu punya hal yang disuka maupun yang enggak disuka. Anak Tante udah besar tapi enggak tahan pedas,” cerita Anwa sambil menyuapkan kembali Ray. Anwa tersenyum senang ketika melihat Ray melahap dengan semangat masakan yang ia buat. Hanya sayur sop—ia sengaja untuk selalu membuat makanan berkuah agar memudahkan Mbah Endang untuk makan. Lalu ditambah lauk tempe tahu goreng serta sambal.  Setelah Anwa meninggalkan Ray untuk membantu Mbah Endang berjualan dan kembali ketika anak-anak sudah kembali ke kelasnya, bocah lelaki itu terlelap dengan baju dan sepatu yang masih terpasang di tubuhnya ketika Anwa temukan. Ia kemudian membangunkan Ray karena jam sudah menujukan waktu makan siang. Anwa meminta Ray untuk membuka baju seragam sehingga hanya tersisa singlet di tubuh putih mulusnya. Sekali lihat saja Anwa bisa tahu bahwa Ray adalah anak orang kaya. Seragam sekolah anak itu sangat berbeda dengan seragam sekolah di depan ini. Bahanya lembut dan tebal. Lalu ditambah sepatunya nampak mahal. “Masakan Tante enak, pasti anak-anak Tante senang!” seru Ray sambil mengacungkan jempolnya.  Wanita tersenyum menanggapi perkataan Ray, nyatanya ia sudah tujuh tahun tak bertemu dengan kedua anaknya sejak ia berpisah dengan sang mantan suami. Anwa yang awalnya berniat menolong dua kakak-beradik yang tidak memiliki tempat berteduh malah berakhir dituduh berkhianat oleh sang suami, rumah tangga dan kehidupannya tiba-tiba lenyap dalam sekejap. Namun, Anwa sama sekali tidak menyesal untuk menolong remaja dan adiknya itu kala hujan lebat itu.  Namun sang suami yang tak ingin mendengar penjelasannya malah menuduhnya bermain api ketika pria itu bertugas sebagai nahkoda dan menceraikannya. Hak asuh kedua anaknya jatuh pada sang suami karena ia dinilai tak layak untuk menghidupi keduanya. Dan, saat itulah terakhir kali Anwa melihat kedua anaknya. Sampai saat ini, Anwa masih terus berharap sekarang atau suatu saat nanti ia bisa kembali bertemu dengan kedua anaknya. Tapi apa daya, sang suami sudah mempupuki kebencian terhadap dirinya kepada kedua anaknya “Tante kenapa?” tanya Ray menggerakan tangannya di hadapan Anwa yang melamun. Anwa tersentak lalu menggeleng. “Ray udah kenyang?” Anak laki-laki itu mengangguk dan kemudian menguap. Anwa dengan cepat menutup mulutnya lembut dan memberi tahu Ray untuk selalu menutup mulutnya, bocah itu hanya terkekeh dan mengangguk. “Tante Ray ngantuk...” adunya terdengar seperti rengekan. “Ray ke kamar Tante aja dulu, nanti Tante nyusul,” saran Anwa. Namun bukannya segera pergi menuju kamar, Ray malam mengggengam tangan Anwa membuat wanita itu mengerutkan dahinya. “Kenapa Ray?” tanya Anwa sambil meletakan dulu piring kotor disampingnya dan meminta Ray mendekat. “Ray enggak tahu. Kok Ray enggak mau pisah sama Tante Wawa ya?” tanyanya dengan bibir mengerucut. Tangan mungil itu menyelesup dan memeluk pinggang erat Anwa. Wajahnya ia benamkan di perut wanita yang baru ia temui beberapa jam yang lalu. Ray merasa sangat nyaman dan hangat ketika bersama dengan Anwa. Sama seperti ketika ia bersama dengan Kakaknya yang tukang pemarah itu.  Anwa terdiam sambil mengelus rambut Rayyan, ia juga sama herannya dengan bocah itu. Apa ini semu karena ia sudah terlalu rindu dengan anak-anaknya? Wanita itu sendiri memang sangat suka dengan anak-anak, apalagi ketika melihat bocah-bocah berseragam merah putih yang tak sabaran untuk berbelanja. Tingkah polos mereka, jahilnya, hal yang membuat Anwa betah tinggal bersama dengan Mbah Endang. “Boboknya di kamar Tante aja, yuk?” ajak Anwa ketika melihat kelopak mata Rayyan yang sudah mulai menutup. “Hemm,” angguknya melepaskan pelukan pada Anwa. Anak laki-laki itu kemudian pergi menuju kamar Anwa. Sedangkan wanita itu membawa piring kotor menuju dapur. “Nduk, Ray itu enggak dicari orang tuanya?” Di dapur, Anwa bertemu dengan Mbah Endang yang menanyai tentang orang tua Ray. Anwa yang mendengar perkataan Mbah Endang menjadi bersalah.  “Mbah tahu Wawa sayang sama Rayyan tapi dia punya orang tua, Nduk. Nanti mereka khawatir,” pesan Mbah Endang yang membuat Anwa mengangguk. “Iya, Mbah. Wawa bakal suruh Ray untuk pulang,” ujar Anwa kemudian keluar dari dapur dan menuju kamar. Ia sempat mengambil baku seragam dan sepatu Ray. Benar kata Mbah Endang, orang tua Arrayan pasti sekarang sedang resah tentang anaknya. Ia juga pernah merasakannya, ketika kedua anaknya terlambat pulang dari sekolah. Anwa langsung saja menuju sekolah dan bernafas lega ketika mengetahui dari satpam bahwa kedua anaknya dijemput mertua. “Ray? Rayyan?” panggil Anwa ketika tidak menemukan bocah lelaki sepuluh tahun itu di kamarnya.  “JANGAN DATANG KESINI!” Teriakan dari luar membuat Anwa menjatuhkan baju seragam dan sepatu itu lalu berlari menuju keluar. Jantungnya berdetak cepat ketika mengetahui bahwa itu suara Rayyan. Ia tidka mau terjadi hal buruk pada anak manis itu. “Rayyan kenapa, nak?” tanya Anwa sambil merendahkan tubuhnya disamping Rayyan. Wajah bocah sepuluh tahun itu memerah, dadanya nampak kembang kempis. Anwa tidak pernah melihat anak seusia Rayyan seemosional ini. Ia berusaha memeluk Ray dan mengusap punggungnya. “Saya ingin menghancurkan warung ini, nona,” ujar seorang pria yang sedari tadi terus ditatap tajam oleh Alvaro. Anwa tentu saja terkejut ketika mendengar perkataan yang terdengar saat ringan itu, seolah baru saja mengatakan hal sederhana. “A-apa? Kenapa kalian ingin menghancurkan warung ini? Kalian tidak berhak.” Alvaro menghembuskan nafasnya. “Apa Nona pemilik warung ini?”  Anwa sontak terdiam, ia memang bukan pemilik warung ini. Namun, ia sangat yakin Mbah Endang juga setuju dengannya. “Ada apa ini?” tanya Mbah Endang yang baru keluar dari rumah. Ia heran melihat banyak mobil mewah di depan rumahnya. “Saya Alvaro, saya ingin menghancurkan warung Ibu,” ujar pria itu sambil tersenyum. “Tentu saja saya akan memberikan imbalan untuk ibu, tiga kali lipat dari warung ini. Ibu mungkin tidak perlu berjualan lagi dan bisa mengunjungi cucu-cucu ibu di pulau lain.”  Tentu saja sebelum melakukan eskekusi, Alvaro mencari informasi yang nanti tidak akan membuatnya kesulitan untuk melakukan penawaran. “Tiga kali lipat?” tanya Mbah Endang membuat Rayyan dan Anwa menoleh. Anwa tahu bahwa Mbah Endang memiliki seorang anak yang sudah menikah dan memiliki dua cucu. Namun, karena tahu sang anak memiliki ekonomi yang pas-pasan, Mbah Endang memutuskan untuk tinggal di warung peninggalan suaminya dan tak ingin membebani anaknya. Dan mungkin, dengan uang itu Mbah Endang bisa bertemu dengan anak dan cucu-cucunya. “Nduk, kamu setujukan? Nanti Mbah bakal bagi hasilnya sama kamu. Wawa bisa buka usaha sendiri.” Anwa tak langsung menjawab perkataan Mbah Endang, ia melirik ke arah Rayyan yang menatapnya dengan mata memerah. Bocah itu seakan menunggu jawabannya. Namun, Anwa tak memiliki kuasa atas warung Mbah Endang, bahkan diinzinkan saja untuk tinggal ia sudah sangat bersyukur. Dan, Anwa juga tidak memiliki hubungan dengan Rayyan. Bocah itu mungkin akan bersedih hari ini dan mungkin kembali ceria besok hari. “Iya, Mbah,” angguk Anwa perlahan. Mbah Endang tersenyum lebar dan kembali melihat ke arah Alvaro. “Iya, saya mau.” “Ray,” panggil Anwa memegang pundak anak laki-laki itu namun langsung ditepis. “Hiks! Kenapa?! Tante mau pergi dari Ray?” tanyanya dengan tangis yang cukup keras. Ansell yang sedari tadi berada di mobil mendengar semuanya, ia mengerutkan dahinya ketika mendengar tangisan Rayyan. Kapan terakhir kali ia mendengar tangis adiknya itu? Bahkan ketika ketika kecil, Rayyan sangat jarang menangis. Lelaki itu yang penasaran akhirnya keluar dari mobil dan melihat dari depan warung. Detak jantung lelaki itu seakan berhenti ketika melihar siapa sosok yang berada disebelah Arrayan. Wanita yang selama ini ia cari, wanita yang bahkan tidak pernah ia lupakan ketika memejamkan mata berada di hadapannya. Tujuh tahun menunggu dan mencari, Ansell kembali bisa melihatnya. Lelaki itu mengerutkan dahinya ketika melihat wanita itu menatap Rayyan dan hendak memeluknya. Apa hubungan mereka? “Ray, engg—“ Anak laki-laki itu menggeleng dan menjauh ketika Anwa hendak meranggkulnya. Tangisnya masih sama, menyayat hati barang siapa yang mendengarnya.  “Ray enggak punya Mama dan Papa, tapi waktu Ray meluk Tante, Ray yakin rasanya punya Mama seperti itu,” katanya dengan tersendat-sendat.  Anwa yang mendengarnya merasakan hatinya teriris pedih. Ia tidak tahu ternyata Rayyan tidak memiliki orang tua. Bocah itu terlihat baik-baik saja dan bahagia. Ah, itu masalahnya. Rayyan sudah terlalu dewasa untuk anak seumurannya, menutupi kesedihannya dengan sangat baik. “Tapi, kanapa Tante Wawa pergi—hiks. Kenapa?!” pekiknya histeris membuat yang disana membatu.  “Tante enggak akan kemana-mana,” ujar Anwa pelan sambil mendekat ke arah Rayyan. Ketika sudah berada di dekatnya, wanita itu langsung memeluk Rayyan. Bocah itu awalnya memberontak namun ketika Anwa mengucapkan bahwa ia tidak  akan kemana-mana. Gerakan Rayyan melemah beserta tangisnya. “Hikss— jangan pergi,” ujar Rayyan membuat Anwa merasa bersalah. Ia merasakan sesuatu yang membuatnya tak tega untuk meninggalkan Rayyan. “Tante Wawa enggak akan kemana-mana.” Anwa tersenyum ketika melihat Rayyan yang memeluknya erat. Ia mengusap lembut kening bocah itu yang berkeringat. Rayyan kemudian melepaskan pelukannya dari Anwa namun tetap berada sangat dekat dengan wanita itu. Bola matanya kemudian menangkap sesosok yang ternyata berada disini.  “Kak Ansell?” Anwa ikut menolehkan kepalanya ke arah pandangan Rayyan. Bola mata Anwa membulat ketika melihat sosok yang baru saja dipanggil oleh Rayyan.  Ansell? Batin Anwa bertanya. Ia kemudian kembali menoleh ke arah Rayyan dan akhirnya mengingat siapa kedua kakak beradik ini. Dua orang yang bisa dikatakan menghancurkan keluarganya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD