Star High School, New York.
Semilir angin yang bersatu dengan butiran es berwarna putih menerpa wajah cantik milik gadis dengan pakaian serba hitamnya. Seragam baru yang dibalut jaket hitam berbulu, sepatu sneaker hitam dan syal tebal berwarna senada yang menutupi seluruh bagian dari lehernya yang jenjang, membuat gadis itu tampak baru kembali dari pemakaman alih-alih pergi ke asrama pertamanya. Dan gadis itu adalah Isabella Moore.
"Nona Moore?"
Suara rendah milik seseorang berhasil menarik perhatian Isabella. Seorang pria kurus menggunakan setelan jas hitam dan putih sederhana berlari kecil, menghampiri Isabella dengan senyuman lebar di bibirnya yang abu. Wajahnya tampak tidak muda lagi dengan lingkaran hitam di bawah kedua mata cokelatnya dan kerutan di sekitar sudut mulutnya. "Kau tiba lebih awal rupanya."
Isabella mengamati sang pria dari puncak kepala sampai ke ujung kaki. Seorang pria bertubuh ceking, mata yang sayu, jas hitam putih yang terlihat murahan. Isabella lalu mengangkat kedua alisnya. "Apa kau adalah Paman Ben?"
"Ya. Perkenalkan, Ben Jhonson." Pria itu menyodorkan tangannya dengan sopan. "Aku adalah sekertaris asrama yang akan membantumu di musim pertamamu."
Namun gadis berambut cokelat itu sama sekali tidak menggerakkan tubuhnya. Ia hanya diam, menatap Ben dengan tatapan datar dan membiarkan kedua tangannya tetap berada di dalam saku jaketnya sendiri. Dan satu-satunya kalimat yang terlontar dari bibirnya yang merah muda adalah, "Bukankah kau seharusnya mengajakku masuk ke dalam, Paman Ben?"
Membuat kedua sudut bibir pria berusia 40-an itu turun seketika. Dengan senyuman canggung, Ben pun mengangguk mengiyakan dan mengangkat tangannya ke udara. Memberi isyarat agar gadis di hadapannya dapat segera masuk ke dalam bangunan berlantai empat dengan papan besar bertuliskan 'STAR HIGH SCHOOL' di atas gerbangnya.
Isabella hanya diam dan menyeret koper hitam di tangan kirinya ketika Ben terus bercerita mengenai seluk beluk asrama. Pria kurus itu bahkan menceritakan awal mula perjalanan karirnya, bagaimana seorang pengemis sepertinya bisa diangkat menjadi sekertaris asrama oleh sang pemilik dan bekerja sampai dua belas tahun lamanya. Ben tidak berhenti bisa berhenti membicarakan penghargaan, piagam dan pujian yang diterima oleh sang pimpinan asrama meski Isabella sama sekali tidak mendengarkan.
Persetan! Siapa yang peduli dengan asrama ini?
Karena tujuan awal gadis itu pindah ke asrama ini bukanlah sebab rekam jejak asramanya, melainkan sebab kematian Alisa Harrison, sahabatnya yang meninggal di toilet asrama secara tiba-tiba beberapa hari kebelakang.
"Paman Ben."
Ben menghentikan langkahnya dan berbalik. Matanya yang sendu melihat Isabella yang sudah lebih dulu berhenti berjalan dengan pandangan heran.
"Apa kau tahu sesuatu mengenai kematian Alisa?"
Pria itu tak lagi seantusias sebelumnya. Bahkan suara berisik yang berasal dari kenangan masa lalu yang diceritakan oleh Ben, kini tidak terdengar lagi. Wajahnya membeku, lalu memucat, seperti baru saja melihat hantu. Atau, mendengar hantu yang baru saja dibangkitkan dari kuburannya yang dilupakan seiring berjalannya waktu. Ben berdeham dan mengerjapkan matanya bingung, canggung. "Ah, soal itu, aku tidak bisa memberi tahu apa-apa," terangnya dengan suara yang lebih pelan dari sebelumnya. "Pimpinan melarangku membicarakannya pada siapapun, terutama murid pindahan sepertimu, Nona Moore."
"Kasusnya ramai dibicarakan di televisi, orang-orang berasumsi." Meski terdengar penasaran, Isabella sama sekali tidak berekspresi. Wajahnya datar seperti patung yang tidak memiliki nyawa. Namun sorot matanya jelas berbicara di sana, ada perasaan marah yang terpendam jauh di dalam. "Lalu, apa sembunyi menjadi jalan satu-satunya yang asrama ini ambil?"
Ben berdeham lagi, kali ini dengan maksud agar gadis yang notabenenya hanyalah seorang murid pindahan baru segera menutup mulut. Isabella harus diam atau dia akan terkena masalah. Kemudian tubuhnya yang bangsai menghampiri Isa, tidak lupa dengan senyum sopan yang membalut bibir abu-abu itu. "Nona Moore, asrama dan orang tuanya sudah mengutus seorang polisi untuk mengusut kasus ini secara rahasia," bisiknya. "Polisi itu sedang menyamar dan sebaiknya kita tidak membicarakannya di sini."
"Apa pelakunya sungguh salah satu di antara penghuni asrama ini, Paman Ben?"
"Nona Moore."
"Apa pihak asrama juga yakin bahwa Alisa tidak mungkin membunuh dirinya sendiri?"
Darah di seluruh tubuh Ben terasa mendidih hanya karena seorang bocah. Ia mengepalkan kedua tangannya dan menatap tajam ke arah Isabella, sebelum pada detik selanjutnya, sikapnya kembali normal dan pria bernama Ben Jhonson itu tersenyum ramah pada Isabella. "Nona Moore, kau pasti lelah dan kedinginan karena menungguku di luar. Ini adalah kamarmu, kamar yang sebelumnya digunakan oleh Nona Harrison."
Isabella menoleh perlahan, menatap pintu berbahan kayu jati terbaik di kota New York dengan pandangan antusias. "Ini kamar Alisa?"
"Ya, Nona. Tidak ada satupun dari siswa di sini yang mau menggunakannya," jawab Paman Ben seadanya. "Aku cukup terkejut ketika orang tuamu meminta kamar ini untukmu, Nona. Ditambah, kami belum selesai membereskan barang-barang miliknya. Mungkin jika kau beruntung, ada beberapa barang miliknya yang dapat menjadi milikmu. Jadi, beristirahatlah."
Isabella menghela napas pendek dan mengangguk patuh. "Baiklah. Terima kasih, Paman Ben."
"Kartu namaku ada di atas meja setiap kamar dan kau dapat menghubungiku ketika kau butuh sesuatu," jelasnya masih dengan suara rendahnya. "Aku sudah meletakkan jadwal kelas dan beberapa buku pelajaran di dalam, jadi periksalah nanti."
"Baiklah."
"Aku permisi, Nona." Ben lalu berbalik, meninggalkan Isabella yang langsung masuk ke dalam kamar barunya di asrama dengan perasaan yang campur aduk.
Sesaat, Isabella merasa kesedihan dan kecewa itu merasuki dirinya. Namun yang ia rasa selanjutnya hanyalah sesak dan sepi yang tak berujung. Isabella melangkah masuk ke dalam kamarnya, yang juga menjadi kamar Alisa sebelumnya. Ruangan itu didominasi oleh dinding polos berwarna putih. Ada dua ranjang terpisah di sana dan masih didominasi oleh warna yang sama. Aroma dedaunan segar yang berasal dari tubuh Alisa tiba-tiba menyeruak masuk ke hidung Isabella. Mengingatkannya akan setiap detil adegan demi adegan yang pernah dilaluinya bersama sahabatnya itu. Matanya yang sudah berkaca-kaca lantas menyapu seluruh sudut dan yang terlihat di sana adalah kekosongan.
Isabella kemudian memejamkan matanya dan menghirup oksigen sedalam-dalamnya. Lalu, waktu seolah berhenti di sana. Tepat ketika secara tiba-tiba gadis itu merasa ada seseorang yang menepuk pundaknya dari belakang.
Membuat Isabella tersentak dan membuka matanya. Jantungnya kini berdetak tak beraturan, membayangkan sosok apa yang muncul di kamar yang baru saja ditinggalkan oleh sahabatnya. Dengan satu helaan napas berat, Isabella melepaskan koper di tangannya dan membalikkan tubuhnya. Menatap tak percaya ke sumber suara yang kini justru terlihat manis dengan senyum di bibirnya yang mungil.
"A.. Alisa?"
"Akhirnya kamu datang, Isabella." []
***