* Tanya Hati *

2280 Words
Rama keluar dari ruangan tersebut, untuk kali ini Rama terpaksa berbohong kepada ayah dari sahabatnya itu. Sebenarnya dia sudah tahu kenapa Nayra diundang ke rumah Septa saat kepulangan Septa adalah karena sahabatnya itu berniat melamar Nayra. Dan sudah Rama pastikan bahwa Dokter Santoso tidak hanya akan mengundang Nayra saja, dia juga akan menyuruh Nayra membawa keluarganya, maka dari itu Rama terpaksa berbohong. “Kenapa hati gue gak rela pas tahu Septa benar-benar serius mau melamar Nayra? Ada apa sih sama gue!” ucap Rama memukul kepalanya sendiri dan berjalan menuju atap. Dia harus menenangkan kepalanya yang tiba-tiba bermasalah. Ketika akan naik ke atap rumah sakit, suara alarm darurat berbunyi. Hal itu tentu membuat tujuan Rama urung, karena hari ini dialah yang mendapat jadwal pasien darurat. Rama langsung berlari menuju lift untuk langsung menuju lantai dasar. “Pasien kenapa?” tanya Rama kepada Anita yang sibuk menghubungi pihak rumah sakit untuk menyiapkan ruangan operasi secepatnya. “Dia mencoba melakukan bunuh diri, Dok,” beritahu Dokter Anita. Rama langsung menuju pasien tersebut, namun langkahnya sempat terhenti ketika Rama melihat ada Wira sedang gelisah di depan ruangan tersebut. Namun, semua sangkaan Rama dia hilangkan karena bisa saja Wira mengantar teman atau sanak keluarganya. “Karin,” dugaan Rama benar ketika melihat Wira gelisah di depan sana. Karin sudah terbaring lemah dengan wajah pucat dan darah terus mengalir dari pergelangan tangannya. Karin ternyata mencoba melakukan percobaan bunuh diri pada pergelangan tangannya. Rama langsung mencoba menghentikan aliran darah mantan kekasihnya itu sembari menunggu konfirmasi Anita mengenai ruangan operasi. Tidak selang lama dari itu, Anita datang dan ruang operasi sudah bisa digunakan. “Kamu kenapa melakukan ini sih, Rin. Apa kamu tidak lihat betapa Wira sangat mencintai kamu?” gumam Rama ketika mendorong Karin menuju ruang operasi. Walaupun rasa sakit atas pengkhianatan wanita itu masih belum terlupakan, namun melihat wanita itu terbaring antara hidup dan mati membuat Rama cukup terkejut dan takut. Operasi Karin berjalan lancar dan berhasil melewati masa kritisnya. Sekarang Karin dipindahkan ke ruang pasca operasi. “Bagaimana keadaan Karin, Ram?” tanya Wira dengan gelisah. “Operasinya berjalan lancar. Setelah kondisinya mulai stabil, dia bakal dipindahkan ke ruang rawat inap,” jawab Rama tanpa ingin berbasa-basi dengan Wira, pria yang dulu Rama anggap adalah sosok kakak dari mantan kekasihnya. Terdengar napas lega dari Wira dan wajahnya pun tidak segelisah tadi. “Thanks, Ram,” ucap Wira tulus kepada Rama. Dia pikir Rama tidak akan peduli lagi dengan Karin tadi, namun ketika mengetahui pasien percobaan bunuh diri tadi adalah Karin terlihat Rama juga ketar-ketir dan sigap. “Kenapa sampai melakukan percobaan bunuh diri?” tanya Rama kepada Wira. Selama Rama mengenal Karin yang bahkan dulu keadaannya lebih memprihatinkan dibandingkan sekarang, Karin adalah sosok wanita yang tegar dan anti dengan istilah menyerah bahkan putus asa dengan kehidupannya. Karina adalah seorang gadis yatim piatu dan hidup dengan dirawat oleh kakeknya dulu. Bahkan, ketika Karin kehilangan sosok walinya satu-satunya, kakeknya, dia tetap tegar dan enggan untuk menangis. Jadi, melihat wanita itu tergeletak tak berdaya dengan darah bercucuran dari pergelangan tangannya membuat Rama miris dan kasihan. Jika akan seperti ini, mengapa wanita itu berkhianat kepadanya? Rama tidak mungkin menerima Karin kembali karena dia adalah orang yang paling anti dengan pengkhianatan atau mungkin hati Rama memang sudah tidak sepenuhnya milik wanita itu ketika ada sosok baru di hidupnya. Tidak, sepertinya sosok itu memang lebih dulu hadir sebelum Karin mengisi hatinya selama bertahun-tahun ini. “Dia kecewa sama dirinya sendiri karena selingkuh dari lo,” ujar Wira dengan lirih. Rama menatap Wira, “kenapa? Bukankah harusnya gue yang putus asa dan kecewa sama dia?” tanya Rama tajam. Dia mengerti kondisi Karin saat ini, namun rasa kecewanya belum hilang. “Dia sangat mencintai lo, Ram!” ujar Wira menatap Rama, “gue ternyata salah. Gue kira bisa menggantikan posisi lo di hatinya karena hubungan salah kita, namun ternyata gue hanyalah pelampiasan dia sesaat ketika kecewa sama sikap lo!,” lanjut Wira dengan tawa miris, menertawakan dirinya sendiri. “Gue yakin lo sangat mencintai dia melebihi gue. Jadi, lo bisa perjuangkan dia!” ucap Rama tulus. Dia sudah ikhlas melepas semua yang berkaitan dengan Karin dalam dirinya. Wira menggeleng, “enggak! Dia gak bisa hidup tanpa lo, Ram!” sanggah Wira. “Terus lo?” tanya Rama. Apa sekarang adalah waktu untuk saling melempar keikhlasan? Wira tidak menjawab dan hanya tertunduk diam. “Gue mungkin hanya bisa membantu dia selama dirawat di rumah sakit. Tapi, setelah itu maaf gue gak bisa memulai ini lagi,” setelah mengucapkan itu Rama beranjak dari posisinya meninggalkan Wira. Ya, Rama akan berperan sebagai dokter yang bertanggung jawab atas Karin. Dia akan memberikan perawatan dan kemampuan terbaiknya untuk Karin. “Dia, kan, model papan atas itu? Yang hampir semua brand ternama pakai jasa dia,” ujar salah satu perawat ketika mereka sedang berkumpul di ruang administrasi lantai tiga. “Kok bisa ya dia melakukan percobaan bunuh diri. Kurang apalagi, wajah cantik, uang banyak, dan yang tadi bawa dia kayaknya pacarnya, deh? Ganteng pula,” jawab Anita tidak habis pikir dan mungkin penasaran akan motif percobaan bunuh diri tadi. “Siapa yang melakukan percobaan bunuh diri?” tanya Nayra ketika mendengar topik obrolan para perawat tersebut. Dia baru saja kembali dari ruangan Dokter Santoso dan samar-samar Nayra mendengar obrolan bunuh diri sepanjang koridor rumah sakit. Semua orang di sana langsung menghadap Nayra, “Eh Dokter. Tadi ada salah satu model yang melakukan percobaan bunuh diri,” jawab Anita. “Terus bagaimana? Saya tadi lihat hampir semua dokter memiliki jadwal padat dan juga sebagian masih berada di kegiatan sosialisasi,” tanya Nayra khawatir. “Tadi ditangani sama Dokter Rama,” jawab Anita. “Sepertinya Dokter Rama kenal sama orangnya, deh. Tadi saya sempat dengar dia bilang nama ‘Karin’, kalo tidak salah namanya memang Karin, Dok,” lanjut Anita menjelaskan apa yang tadi dirinya saksikan dan dia pun tidak lupa Rama cukup terlihat khawatir ketika melihat pasien darurat tadi. Hati Nayra tiba-tiba seperti dihantam benda besar, sangat sakit. Dia tahu siapa pemilik nama tersebut, Karin adalah kekasih Rama. Bodoh sekali Nayra merasa kalau Rama sudah kembali pada Rama yang dulu dirinya kenal hanya karena Rama berdalih sedang kacau. Nayra pikir perhatian Rama padanya adalah bentuk ingatan pria itu yang sudah mulai terkumpul. “Saya permisi duluan, ya. Sepertinya perut saya mulas,” alibi Nayra, karena sebenarnya dirinya sudah tidak kuat menahan air mata yang terus mendorong ingin keluar. “Dokter Nayra kok kayak mau nangis, sih?” tanya salah satu perawat ketika Nayra sudah benar-benar menghilang dari jangkauan penglihatan mereka. “Gak kuat karena sakit perut kayaknya atau memang Dokter Nayra kan orangnya gak tegaan jadi kalo dengar ada yang bunuh diri apalagi masih muda bawaannya sedih kali,” tanggap Anita. Semua orang di sana tidak ingin ambil pusing dan melanjutkan kembali tugas mereka masing-masing di sana. Sudah tiga hari ini, Karin masih dirawat dengan perawatan intensif di rumah sakit. Setiap hari Rama melakukan kewajibannya untuk memeriksa keadaan dan perkembangan mantan kekasihnya itu. Begitu pun Wira, pria itu setiap pulang dari studio selalu mampir bahkan menginap di rumah sakit. Tidak hanya itu yang terjadi selama tiga hari ini, perubahan sikap Nayra pun semakin kentara menghindari Rama kembali. Namun, karena sibuk akan perawatan Karin, pria itu tidak terlalu ambil pusing dia hanya mengira Nayra memang cukup sibuk juga seperti dirinya. Rama memasuki ruangannya setelah selesai memeriksa Karin dan juga beberapa pasiennya. Sebuah panggilan menginterupsinya dan nama ibunya tertera di layar ponselnya. “Halo, Assalamu’alaikum, Mi?” sapa Rama ketika panggilan mereka terhubung. “Wa’alaikumussalam, Anak. Kamu lagi sibuk gak?” tanya ibunya, dia khawatir panggilannya mengganggu pekerjaan anaknya. “Tidak kok, Umi. Rama baru saja mau istirahat,” jawab Rama, “ada apa?” lanjutnya. Karena jika ibunya menelepon pada jam kerja seperti ini selalu ada hal penting yang ingin disampaikan kepadanya. “Nanti pulang dari rumah sakit ke rumah Umi dulu, ya. Ada tamu yang ingin Umi perkenalkan sama kamu, terus ada kejutan juga yang pasti bikin kamu terkejut,” ujar Bu Retno kepada sang anak dengan suara yang ceria. “Umi kebiasaan, deh. Jangan main kejutan-kejutan segala sama Rama. Kasih tahu sekarang saja!” pinta Rama sembari mendudukkan tubuhnya di kursi. Akhir-akhir ini dirinya merasa lelah ditambah banyak sekali pikiran yang sering terlintas di kepalanya. “Pokoknya nanti pulang ke rumah Umi saja. Tamunya ingin ketemu sama kamu!” suruh ibunya dan langsung menutup panggilan mereka. Rama menghela napas kasar, kebiasaan ibunya jika tidak mau didebat atau disanggah selalu memutuskan panggilan secara sepihak seperti tadi. “Siapa, ya? Kok kayaknya Umi senang banget,” ucap Rama sedikit dibuat penasaran oleh ibunya. Biarlah nanti dia akan pulang ke rumah orang tuanya, karena dirinya juga butuh asupan senyuman dari ibunya yang akan menjadi obat kegundahan hatinya. Seperti apa yang telah diperintahkan ibunya, sepulang dari rumah sakit Rama langsung menuju ke rumah orang tuanya, karena jika tidak dilaksanakan bisa dipastikan ibunya akan marah dan perlu dibujuk berhari-hari. Di depan rumah mereka telah bertengger sebuah mobil berwarna putih dan Rama baru melihatnya, sepertinya tamu yang ibunya bilang. “Assalamu’alaikum, Umi Abi!” sapa Rama membuka sepatu kerjanya di teras. “Wa’alaikumussalam, cepat masuk, Nak!” sahut ibunya dari dalam rumah. Ketika Rama masuk ke ruang tamu, netranya melihat satu sosok pria asing. Rama melirik pria yang sedang tersenyum padanya tersebut dan dia bisa menemukan satu kesamaan, pria itu berwajah hampir mirip dengan ayahnya. “Duduk, Nak!” ujar ibunya kepada Rama, namun sebelum duduk Rama terlebih dulu menjabat tangan tamu tersebut. Walaupun dirinya sudah terbiasa dengan kehidupan kota dan tinggal lama di luar negeri, tidak membuat dia menghilangkan adab yang telah diajarkan kedua orang tuanya.  “Ram, kamu ingat gak paman ini siapa?” tanya ibunya antusias. Sedangkan, ayahnya hanya menggeleng memaklumi tingkah super aktif sang ibu. Rama menggeleng, “Gak tahu, Umi,” jawab Rama dengan sopan. “Dia Om Pitra saudara Abi yang di Bandung tapi setelah kecelakaan kamu mereka pindah sementara ke Semarang karena keluarga kakaknya meninggal karena kecelakaan juga,” jelas Bu Retno kepada anaknya yang sepertinya tidak tahu apa-apa mengenai silsilah keluarga ayahnya. Ini salah satu dampak kecelakaan Rama ketika masih kecil, bersyukur Rama hanya kehilangan memorinya dan nyawanya masih bisa diselamatkan. Rama mengernyit mendengar penjelasan ibunya. Bukan karena penjelasan mengenai siapa tamu tersebut yang ternyata adalah kerabat ayahnya, tapi Rama masih bingung mencari letak hal yang membuatnya akan terkejut seperti apa yang ibunya katakan tadi. “Maaf ya Rama saya tidak bisa menjenguk kamu bahkan saya tidak tahu kamu mengalami kecelakaan sangat serius, karena kakak saya pun mengalami hal yang sama,” ujar Pitra kepada Rama. “Kamu tahu? Om Pitra ini kesini karena disuruh keponakannya untuk datang ke makan malam Pak Santoso ayahnya Septa, sahabat kamu itu,” setelah mendengar hal tersebut, tentu Rama bisa sedikit melihat celah di mana letak topik utama percakapan ini. “Om kenal dengan Om Santoso juga?” tanya Rama. Apa kerabat ayahnya itu adalah kenalan dari ayahnya Septa, jika benar ternyata dunia memang sangat sempit. Pitra menggeleng sembari tersenyum, “saya diajak karena permintaan keponakan saya. Anak kakak saya yang meninggal saat kecelakaan itu sekarang dirawat dan saya sebagai walinya,” ucap Pitra, “kamu masih ingat sama anak perempuan yang dulu sempat tinggal di rumah kamu sewaktu kalian masih tinggal di Bandung?” tanya Pitra kepada Rama. “Pit, sebenarnya selain kecelakaan itu ada satu hal lagi yang belum kami beritahu kamu,” ucap Pak Permana. Karena melihat Rama yang kebingungan pada situasi ini dimulai dengan kedatangan Pitra yang kebetulan sedang ada urusan di Jakarta. “Saat kecelakaan itu, Rama kehilangan memorinya hampir 95%  bahkan saat awal pulih dari komanya, Rama tidak ingat kepada kami,” jelas Pak Permana dan mendapat respons terkejut dari Pitra. Sebagian besar keluarganya di Bandung tahu akan hal ini, namun karena Pitra harus tinggal di Semarang dalam jangka waktu lama membuat dirinya tidak tega memberitahu hal tersebut. “Maafkan saya. Mas. Saya terlalu sibuk pada mendiang Mas Teza dan Mbak Diana sampai tidak melirik lagi keluarga di Bandung,” sesal Pitra. Kecelakaan kakaknya menjadi pukulan terbesar terlebih kakaknya meninggalkan anak perempuan mereka yang saat itu masih kecil, Pitra harus menetap di Semarang karena permintaan kakaknya ketika di rumah sakit sebelum merenggang nyawa. “Tidak apa-apa, kami masih bersyukur Rama bisa tetap bertahan hidup. Tapi Teza dan Diana harus pergi tanpa dihadiri keluarga satu pun dari pihak kami,” sela Pak Permana tidak ingin Pitra berlarut pada rasa bersalah. “Maaf Om, tadi Om bilang anak perempuan yang dulu tinggal dengan saya dan itu berarti dia adalah keponakan Om yang tinggal di Jakarta sekarang?” Rama mencoba menemukan susunan alur salah satu memori masa lalunya. Karena memang akhir-akhir ini ada banyak sekali kepingan seorang gadis kecil dalam masa lalunya dan Rama yakin jawabannya akan dia dapatkan sekarang. Pitra menatap Rama dan tersenyum tenang, “Iya, dia juga seorang Dokter sama seperti kamu,” setelah mendengar itu pikiran Rama menelaah pada beberapa dokter perempuan di rumah sakit, namun hanya ada satu wajah yang kuat dalam kepala Rama, Nayra. “Keponakan Om Pitra ini adalah Nayra. Yang pernah Umi ceritakan dan ternyata dugaan kamu benar kalau Nayra memang pernah mengenal kita bahkan lebih,” lanjut Bu Retno antusias. “Tapi kenapa Pak Santoso meminta Nayra ikut membawa walinya segala, ya? Tidak biasanya makan malam harus dihadiri wali salah satu dokter di rumah sakitnya,” seru Bu Retno, dia melupakan fakta bahwa Septa memiliki perasaan serius pada Nayra. Mendengar semua itu membuat hati Rama gelisah, sepertinya dia terlambat menyadari sesuatu yang mungkin setelah ini akan jadi salah satu penyesalan dalam hidupnya. Rama beranjak dari duduknya, “Om Pitra, Rama pamit duluan ya. Besok malam kita bakal bertemu lagi di rumah Om Santoso kok, Om,” setelah berlanjut berpamitan pada kedua orang tuanya, Rama berlanjut menuju mobilnya.        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD