Sebelum mobilnya melaju, suara ponselnya membuat Rama menunda mengemudikan mobilnya. Sebuah nama yang ingin sekali Rama hindari saat ini, karena Rama yakin dan tahu pasti isi dalam panggilannya nanti.
“Halo, Ram?” suara Septa terdengar sangat ceria berbanding terbalik dengan Rama saat ini.
Rama menormalkan kontrol emosinya sebelum menjawab sahutan Septa, “ Halo, Sep. ada apa? Tumben malam begini telepon gue,” tanya Rama mencoba berbicara senormal mungkin.
“Gue gak sabar kasih tahu ini ke lo, Ram!” suara Septa antusias layaknya anak TK baru mendapat nilai A, “Lo tahu, kan, kalo besok gue balik ke Jakarta?” tanya Septa.
Rama mengangguk, “Iya tahu, Om Santoso panggil gue sama Nayra untuk kasih tahu ini,” jawab Rama. Dia sudah tahu alasan kenapa Nayra dipanggil dan diundang makan malam oleh keluarga Septa dan ternyata alasannya lebih serius dari dugaannya karena Pak Santoso pun mengundang wali Nayra.
“Lo gak ada penasaran apa-apa memang kenapa Nayra juga ikut diundang?” tanya Septa masih mempertahankan nada antusiasnya.
Rama tertawa rendah menertawakan dirinya, “Gak tahu. Gue sempat aneh juga, sih!” jawab Rama. Jika orang dalam panggilan ini bukan sahabat baiknya, maka akan Rama pastikan Nayra tidak akan datang ke rumah Septa. Namun, Septa dan Nayra adalah dua orang yang sangat penting dalam hidup Rama.
Septa menjeda ucapannya seperti bersiap untuk berbicara mengenai hal yang luar biasa, “gue mau lamar Nayra pas makan malam itu. Dan lo tahu? Papa yang mengusulkan hal ini!” ujar Septa. Benar saja, sesuatu yang sangat luar biasa bagi Septa namun menjadi hal yang menjadi titik penyesalan Rama karena terlambat menyadari sesuatu.
“Oh, ya? Congrats, Bro!” ujar Rama. Dia tidak tahu harus merespons seperti apa atas berita kebahagiaan bagi sahabatnya itu.
“Ram? Lo lagi ada masalah, kah?” tanya Septa. Suara Rama terdengar lemah dan tidak seantusias dirinya, biasanya Rama tidak akan kalah heboh jika Septa mengutarakan sesuatu yang sangat serius dalam hidupnya.
“Hah? Enggak, cuma ada hal yang memang buat gue pusing sekarang,” jawab Rama ketika mendapat pertanyaan dari sahabatnya itu. Septa pasti sadar akan sikap Rama hanya terdengar dari suaranya saja.
“Apa pekerjaan di rumah sakit berat banget? Kalo begitu gue bisa bilang ke Papa-,”
“Bukan karena itu!” sanggah Rama cepat sebelum Septa salah mengartikan. Rama menghela napas dalam, “Karin lagi dirawat di rumah sakit, dia mencoba bunuh diri dan hampir meninggal karena itu,” ujar Rama, biarlah dirinya berbohong mengenai pikirannya yang sedang kacau karena fakta bahwa Nayra adalah gadis dari masa lalunya.
“Dan lo yang jadi dokternya?” tanya Septa tidak habis pikir dengan langkah yang diambil Rama. “Ram, dokter di rumah sakit itu banyak! Kenapa harus lo yang tangani dia!” suara Septa meninggi. Rama adalah pria cerdas namun, sangat bodoh dalam urusan wanita.
“Gue ingin memastikan dia pulih kembali, karena bagaimana pun dia melakukan itu karena gue,” ucap Rama. Untuk urusan dia ingin memastikan keadaan Karin, Rama tidak berbohong pada Septa. Setelah mendengar penjelasan dari Wira, Rama menjadi sedikit merasa bersalah.
Septa tertawa remeh, “itu karena kesalahan dia! Di sini yang jadi korban pengkhianatan dia itu Lo, Ram!” ujar Septa. Dia ingin sekali memukul kepala Rama agar bisa berpikir jernih atas keputusan yang dirinya ambil.
“Kayaknya untuk sekali ini saja,” sahut Rama lirih dan dia langsung memutuskan panggilan dengan Septa.
Jadwal penanganan pasien untuk Rama sekarang sedikit berkurang, karena dirinya harus melakukan pemeriksaan intensif untuk Karin. Seperti pagi ini, Rama dipanggil oleh perawat khusus yang menjaga Karin bahwa wanita itu sudah siuman. Setelah menyerahkan laporan beberapa pasiennya, Rama langsung menuju lantai di mana mantan kekasihnya itu dirawat.
“Karin sudah siuman Ram,” ujar Wira ketika Rama sudah tiba di depan ruangan Karin dirawat. Wira sepertinya tidak tidur semalaman, terlihat dari wajah lelahnya. Namun, pagi ini wajah lelahnya dihiasi dengan raut kelegaan.
Rama mengangguk, “gue tahu, tadi perawat di sini yang bilang Kari sudah siuman,” balas Rama. Ketika hendak memasuki ruangan Karin, lengannya dicekal oleh Wira.
“Gue mohon, lakukan apa yang dia mau dulu. Seenggaknya sampai dia benar-benar siap secara fisik dan hatinya,” pinta Wira penuh harap. Walaupun sakit baginya mengatakan hal tersebut, namun melihat tubuh tergeletak tak berdaya Karin lebih menyakitinya.
“Kenapa harus gue? Gue sudah bilang gak bisa!” tolak Rama. Sudah cukup dia membantu mantan kekasihnya itu selama koma, dia tidak ingin melibatkan lagi dirinya dalam lingkaran perasaan semu.
“Kalo lo bersikeras kayak gini, bisa-bisa dia kehilangan lagi akalnya dan mencoba bunuh diri lagi!” ujar Wira tahu akan semua yang akan terjadi pada Karin jika Rama tidak ingin membantunya. “Sampai dia benar-benar menerima semuanya,” ucap Wira dengan tulus.
Rama menghela napas dalam, “oke,” setelah itu dirinya langsung memasuki ruangan Karin.
Hal pertama yang terlihat di indra penglihatan Rama adalah mantan kekasihnya yang masih terbaring lemah, namun kemajuannya wanita itu sudah sadar dari tidur lelapnya. Rama melangkahkan kakinya menuju ranjang pesakitan Karin, dia mencoba bersikap profesional sebagai seorang dokter dan sebagai orang yang pernah sangat dekat dengan wanita itu.
“Hai,” sapa Rama sembari mencatat perkembangan Karin pada kertas yang berada di dalam map.
Mendengar suara Rama, sontak membuat Karin terperanjat dan berusaha mendudukkan tubuh lemahnya. Hal tersebut berhenti ketika Rama menahan bahu Karin untuk tidak memaksakan dirinya agar bisa duduk. “Jangan dipaksakan! Kamu masih harus memulihkan tubuhmu dahulu,” ujar Rama sembari memeriksa pergelangan tangan yang sempat menjadi korban sayatan Karin.
“Ram aku mohon-,”
“Sekarang bukan saatnya untuk itu, Rin. Kamu gak sadar apa? Kamu hampir mati karena kelakuan bodoh kamu sendiri!” ucap Rama dengan nada tinggi. Dia lebih kecewa akan tindakan percobaan bunuh diri Karin, dibandingkan dengan ketika mengetahui mantan kekasihnya itu telah berselingkuh di belakangnya.
“Aku lebih baik mati daripada harus kehilangan kamu, Ram,” lirih Karin, terpancar sebuah tatapan keputusasaan dalam matanya.
Rama menghela napas dalam, dia tidak ingin mengungkit hal tersebut untuk saat ini. Karena, semua keputusannya telah bulat, dirinya tidak bisa memulai lagi kisahnya dengan mantan kekasihnya itu. Rama menggenggam tangan kanan Karin dan menunduk dalam tumpuan tersebut, “Aku mohon untuk saat ini, kesehatan kamu lebih utama daripada membahas permasalahan yang terjadi pada kita,” pinta Rama lelah.
Dia ingin menghilang pada setiap kenyataan ini. Kenyataan bahwa dia dikhianati kekasihnya dan kenyataan bahwa dia terlambat menyadari sosok paling berarti dalam hidupnya ternyata ada di lingkungannya. Fatalnya, orang tersebut sebentar lagi akan dipinang oleh sahabat terbaiknya sendiri.
Karin mengangguk dalam tangis diamnya, dia bisa merasakan sebuah tekanan yang sangat berat dalam ucapan Rama. Sudah cukup Karin menyakiti Rama, dia sekarang ingin Rama meluapkan segala bebannya walaupun hanya di atas tangannya saja bukan dalam pelukannya seperti saat Rama menjadi kekasihnya.
“Eh, Nay? Mau ke mana? Katanya mau jenguk teman Mas Wira juga,” tanya Fani.
Setelah mengetahui bahwa Wira sudah beberapa malam sering menginap di rumah sakit dari tantenya, membuat Fani penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi. Wira sedang menemani temannya yang masih tidak sadarkan diri karena melakukan percobaan bunuh diri. Dari semua pengorbanan Wira, Fani bisa melihat bahwa Wira sangat menyayangi orang tersebut bukan sebagai teman melainkan sangat dalam artinya.
“Aku tiba-tiba kebelet, Fan. Sampaikan salamku saja, ya!” ujar Nayra dengan senyum kaku namun menyembunyikan sesuatu, “Saya duluan ya, Mas Wira,” pamit Nayra kepada Wira.
“Nayra kenapa nangis begitu pas liat Karin? Dia kenal sama Karin, Fan?” tanya Wira masih memandangi punggung Nayra yang semakin menjauh.
Fani mengerutkan keningnya, “Nayra gak nangis, kok. Dia itu lagi tahan kebelet saja,” ujar Fani. Ada-ada saja perkiraan Wira, lagi pula Nayra sama sekali tidak kenal dengan Karin, teman dari Wira tersebut.