"Ngaku aja kamu, Ki. Kamu, kan, yang kasih nomor aku ke dia?" Wenda sudah mengesahkan, mulai malam ini, Kiki akan menjadi bulan - bulanannya entah sampai kapan.
Suasana posko yang tadinya sudah hening, kini menjadi runyam kembali. Banyak yang mengomel karena merasa terganggu, ingin istirahat. Tapi Wenda tidak peduli.
"Udah, Ki. Kamu ngaku aja!" Sora ikut - ikutan membantu Wenda. Tapi Sora benar - benar ikut kesal, sih. Siapa juga yang tidak akan marah, jika nomor ponsel yang merupakan hal pribadi, justru disebar ke sembarang orang tanpa izin.
"Ki, kamu kok kurang ajar, sih. Harusnya kamu izin sama Wenda dulu dong, sebelum kasih nomornya ke orang itu!" Dana tak mau kalah. Ia juga kesal, lah, otomatis. Apa lagi belum jelas tipe manusia seperti apa laki - laki itu.
Kiki awalnya ingin cuek saja. Ingin lanjut rebahan di dalam mushola bersama si Fajar. Tapi kalau sudah dikeroyok 3 wanita seperti ini, mana bisa ia berkutik.
"Ini sebenarnya ada apa, to? Kenapa kalian tiba - tiba ngerumpul di sini. Malam - malam bikin ribut." Fajar yang kelihatan sudah malas ribut, malah membuat situasi makin runyam.
"Udah deh, Jar. Kamu diem aja. Ini urusan kami sama si Kiki ember bocor ini. Nggak usah ikut campur kalau nggak mau hidup kamu kena teror!" Wenda menunjuk - nunjuk muka Fajar.
"Astaghfirullah ... istighfar, Mbak Wenda." Fajar yang memang terkenal agamis namun juga utun -- memiliki kepribadian ndeso tidak ketulungan -- itu, langsung memperingatkan Wenda.
"Itu si Kiki tuh hang disuruh istighfar. Siapa suruh ngasih nomor hp aku ke sembarang orang. Emang cari gara - gara dia." Wenda sudah benar - benar kehilangan kesabaran rupanya.
"Astaghfirullah ...." Fajar menatap Kiki di sebelahnya sekarang. "Emang bener, Ki, kamu nyebarin nomor ho Mbak Wenda ke sembarang orang?" Fajar terlihat ikut kesal juga dengan kelakuan Kiki.
Kiki menunduk. Ia nampak merasa bersalah. Ia mengusap tengkuknya yang tidak gatal. "Ya ... Sorry deh, Wen. Habisnya mau gimana lagi. Aku nggak ada pilihan lain."
"Nggak ada pilihan lain gimana maksudnya?" Wenda semakin nyolot saja.
Kiki nampak kebingungan harus menjelaskan bagaimana. "Ya ... gimana ya ... tadi kita kan baru aja menjalin kerja sama Karang Taruna desa ini. Mereka udah berbaik hati mau bantuin kita. Mereka nggak minta imbalan apa - apa lho. Ya kali saat Mas Hasi kasih satu permintaan ke aku, malah nggak aku kasih. Ya terpaksa aku kasih lah, saat dia minta nomor kamu."
Wenda langsung melotot lebar. Ia menarik kerah kaos Kiki dengan kuat, sampai muka keduanya berhadap - hadapan cukup dekat. "Aku nggak mau tahu. Pokoknya kamu harus tanggung jawab. Aku sama sekali nggak suka dapat pesan dari itu orang. Apa lagi bahasanya cringe parah. Hoek ... cuih ... aku nggak sudi!"
Kiki semakin menunduk. Semakin takut. Semakin menyesal. "Ya gimana Wen ... aku kan udah minta maaf tadi." Muka si Kiki terlihat seperti mau menangis.
"Aku lihat tadi cewek - cewek pada seneng sama kegantengan Mas Hasi. Pada terpesona sama dia. Jadi aku pikir kamu juga sama. Aku pikir kamu malah bakal seneng kalau dichat sama Mas Hasi. Mana aku tahu kalau kamu bakal jadi marah kayak gini."
Wenda semakin kuat saja menarik kerah kaos Kiki. Sampai Sora dan Wenda harus memeganginya untuk membuatnya sedikit tenang.
Dan Fajar sedang memegangi Kiki supaya rasa takutnya sedikit terkikis. "Ya jangan kamu samain aku kayak temen - temen yang lain dong. Malah dari awal aku udah nggak suka sama gaya orang itu yang sok kecakepan. Aku nggak peduli dia nau bantuin kita atau enggak. Aku cuman nggak suka kalau nomorku kamu sebar, apa lagi ke orang itu. Dan tanpa izin pula. Enak aja kamu ngorbanin aku, demi dapat bantuan lebih dari ketua karang taruna desa."
"Ya gimana dong, Wen. Aku tadi kan juga udah minta maaf. Aku khilaf, Wen. Terus gimana dong, udah terlanjur aku kasih juga. Ya kali mau aku minta lagi? Sekali pun aku minta lagi, ya dia bakal tetap simpan nomor kamu, kan. Jadi nggak ada gunanya juga. Udah lah, Wen. Maklumin aja kalau dia chat. Kamu bales syukur, kalau nggak mau bales juga nggak apa - apa. Atau kamu blokir aja lah nomornya. Lagian sedikit Berkorban demi kelompok kita kan nggak ada salahnya, Wen. Malah kamu nanti bisa dapat pahala dan berkah."
Wenda sudah sempat tenang dan lega karena Kiki mau meminta maaf dengan tulus, dan mengakui serta menyesali perbuatannya. Eh, tapi pada akhirnya, si Kiki malah berulah lagi dengan menceramahi Wenda.
Astaga ... Wenda sudah sangat gelas ingin menonjok pipi gembul si Kiki di hadapannya. Tapi nanti kalau sampai terjadi apa - apa pada Kiki, ia bisa kena pasal. Banyak saksinya pula.
Astaga ... meski masih sangat kesal, Wenda akhirnya melepaskan tarikannya dari kerah kaos Kiki. Ia lalu pergi keluar dadi mushola rumah dengan amarah tertahan. Sora dan Wenda membuntut di belakangnya.
Wenda yang tidak mau berlarut - larut dalam amarah, langsung menuju ke kamar mandi. Ia Ingin mengambil air wudhu untuk meredam amarahnya sendiri.
Kalau dipikir benar juga kata - kata Kiki tadi. Mau ia memaki atau bahkan memukul Kiki sekali pun, itu tidak akan mengubah apa - apa, karena nomornya sudah telanjur disimpan oleh Hasi. Apakah Wenda harus ganti nomor? Tentu saja tidak. Karena nomor itu sudah menyebar pada orang - orang penting dalam hidupnya.
Urusan perskripsian semuanya juga terdaftar dengan nomor itu. Jadi ia tidak bisa sembarangan ganti nomor ponsel.
Cara satu - satunya ... ya ia memang harus segera memblokir nomor Hasi.
Selesai melakukan wudhu, Wenda, Sora, dan Dana langsung kembali ke dalam rumah, menuju ke tempat tidur mereka. Tapi baru juga membuka pintu, mereka sudah mendengar suara - suara tak mengenakkan.
"Gila, jual mahal amat ya si Wenda. Sok - sok nggak mau diajak kenalan sama Mas Hasi."
"Iya. Ya emang cocok Wenda temenan sama Sora. Dua - duanya sama - sama sok jual mahal. Sok kecakepan."
"Andai aja aku jadi mereka, nggak bakal lah aku sia - siain momen ditaksir sama cowok ganteng. Kesempatan buat cuci mata setiap hari."
Mereka cekikikan. Namun setelah tahu ada Wenda, Sora, dan Dana, seketika mereka berhenti tertawa, langsung kicep lah semua.
Mereka lanjut berjalan kemudian.
"Astaga ... kayaknya kita bakal makin banyak musuh mulai sekarang." Sora mendahului bicara.
"Nggak apa - apa, lah, Sora. Bukannya mending kita ke mana - mana. Jual mahal, tapi terhormat. Dari pada diobral, tapi nggak laku - laku!" Wenda menimpali.
Dana juga tak mau kalah. "Nggak aku pungkiri, aku juga seneng lihat cowok yabg good looking. Tapi sorry, aku juga nggak akan rela melakukan apa pun demi cowok ganteng. Apa lagi sampai merendahkan harga diri aku dengan hanya luluh bermodalkan penampilan luar. Hilih ... kayak gitu udah nggak jaman, keles!"
Ucapakan Dana seketika disambut seringai dari Dana dan Sora, sambil melirik tajam pada anggota kelompok yang baru saja menggosipkan mereka.
Mereka pun kemudian berbaring di tempat tidur masing - masing, mencoba untuk tidur, menyimpan energi untuk beraktifitas keesokan harinya.
***