Seorang Maniak Psikopat

1592 Words
Sepeninggal Sora, Alshad tak ragu untuk segera berbicara 4 mata dengan Kiki. Kiki yang masih berusaha bersembunyi di balik pohon pisang yang bahkan tak bisa menutup tubuhnya dengan maksimal. "Ki ... apa itu bahkan pantes dilakuin? Temen kamu digangguin sama cowok gila di depan mata kamu, tapi kamu cuman diem sambil sembunyi kayak orang bego? Nggak ada tanggung jawabnya sama sekali. Di mana letak sikap gentleman kamu? Jelas - jelas kamu yang bawa si Hasi gila itu di tengah - tengah kita , kan?" Kiki mencebik. Ia nampak sedih. Nampak langsung menjadi manusia paling sedih di dunia -- kelihatannya. "Shad ... jadi kamu pikir aku nggak menyesal nggak bisa belain Sora? Aku juga nyesel, Shad. Aku juga kesel sama diri aku sendiri yang pengecut ini. Mana aku berani bersikap tegas sama orang yang udah bantuin kelompok KKN kita?" Alshad langsung menyahut dengan nada yang lebih tinggi. "Oh, jadi kamu adalah tipe orang yang tunduk sama seseorang yang udah bantuin kamu? Coba bayangkan, jika yang ada di posisi Sora tadi adalah ibu kamu, atau adik perempuan kamu. Atau bayangkan jika kelak kamu punya istri, atau punya anak, yang diganggu sama orang gila macam Hasi, di hadapan mata kepala kamu sendiri. Apa kamu masih tetap akan sembunyi di balik pohon kayak gitu? "Nggak bersikap apa pun demi membela mereka, para wanita yang berarti dalam hidup kamu? Hanya karena seseorang pernah membantu kamu, kamu mengesampingkan kenyamanan dan keselamatan orang terdekat kamu. Apa bedanya kamu sama si Hasi berarti? Laki - laki itu harus punya sikap. Karena semua laki - laki adalah calon pemimpin. Aku yakin, andai aja pacar kamu tahu dengan sikap nggak gentleman kamu itu, kamu pasti bakal langsung diputusin. Aku jamin itu." Kiki masih saja sembunyi di balik pohon. Penyesalannya menjadi serius sekarang. Tidak hanya sok menyesal dan berlagak seperti orang paling sedih di dunia seperti tadi. "Aku nyesel, Shad. Aku minta maaf." Kiki langsung mengakui penyesalannya. "Kenapa kamu minta maaf sama aku? Harusnya kamu minta maaf sama Sora. Sama Wenda juga." "I - iya, nanti aku minta maaf juga sama mereka." Usai Kiki mengucapkan hal itu, Alshad tidak bicara apa - apa lagi. Ia bahkan tidak sudi menatap Kiki lagi di belakangnya. Ia hanya fokus memotong rumput dengan serius, sambil menunggu adzan sholat Jumat. Kiki memandang takut - takut ke arah Alshad. Jaga - jaga jika ia akan diomeli sekali lagi. Tapi ternyata tidak. Alshad benar - benar diam kali ini. Kiki pun keluar dari persembunyiannya di balik pohon pisang, kemudian berlutut, turut lanjut memotong rumput. *** Sora kembali ke posko masih dengan tampangnya yang kusut luar biasa. Masih terbayang betapa menyebalkan wajah si Hasi. Masih terngiang suara tertawa si Hasi yang sungguh annoying. Sampai Sora merasa harus segera rukyah mandiri, supaya ia bisa segera terlepas dari bayang - bayang si Hasi. "Assalamualaikum." Sora langsung mengucap salam ketika masuk rumah. Ia langsung mengundang perhatian Dana dan Wenda yang sedang belajar merajut tas dengan bahan dasar tali kur. Jadi mereka berada dalam satu kelompok posdaya. Kelompok mereka membuat pelatihan karya tas dari tali kur, kepada para warga desa Selopanggung yang mengkehendaki untuk ikut pelatihan tersebut. Wenda dan Dana sangat beruntung, karena saat pengundian nama kelompok, nama mereka justru berada di kelompok yang sama. Tidak seperti Sora yang justru menyasar ke kelompok lain. Di mana dalam kelompoknya, tak ada yang membuatnya nyaman, karena tak ada yang kenal dekat dengannya. Hanya Kiki seorang yang bisa menjadi sasaran pelampiasan amarahnya jika terjadi sesuatu. Ya, Kiki yang tak bisa diandalkan itu. Syukur lah tadi ada Alshad yang datang membantunya. Ia benar - benar berterima kasih pada Alshad. Tak terbayangkan jika saja tadi tidak ada Alshad. "Lho ... udah balik, Sora?" tanya Wenda segera. "Sini, gabung sama kita. Aku ajarin bikin tas dari tali kur. Seru lho." "Iya, Sora. Nggak nyangka ternyata si Intan jago banget bikin tas kayak gini. Kayaknya besok bakal seru banget pas kiya benar - benar udah bikin kelas pelatihan itu." Dana turut menyahut. Tapi tentu saja Sora sama sekali tidak mood untuk melakukan hal itu untuk sekarang ini. "Aku ke kamar mandi dulu." Hanya itu jawaban Sora. Sambil terus masuk semakin dalam ke area rumah. Wajah kesal dan tertekan Sora langsung menjadi pusat perhatian Dana dan Wenda. "Si Sora kenapa, sih?" tanya Wenda. Dana mengangkat bahu seraya menggeleng. "Mana aku tahu!" "Pasti terjadi sesuatu yang nyebelin deh di lahan tadi." "Kayaknya sih begitu. Duh ... jadi nyesek tadi aku nggak ikut sama dia ke ladang." "Iya, aku juga nyesel. Tapi ya mau gimana lagi. Kita kan juga harus serius sama kelompok kita sendiri, Demi pelatihan besok Senin. Ya kali kita yang kasih pelatihan, tapi yang menguasai ilmunya cuman si Intan? Ya tengsin dong nanti kalau ada warga yang tiba - tiba tanya sama kita. Kita jadi nggak bisa jelasin." Dana nampak menyesal. "Ya bener sih." Beberapa saat kemudian, Sora sudah selesai dengan urusan per kamar mandiannya. Ia keluar dari sana dengan wajah yang sedikit lebih segar dibandingkan saat pertama masuk rumah tadi. Ketika Sora datang, Dana dan Wenda langsung menghentikan aktivitas merajut mereka. "Eh, Sora ... sini deh." Wenda langsung memanggil Sora. Sora yang tadinya ingin duduk diam di atas kursi jati sambil mengecek ponsel -- karena tidak ingin menganggu Dana dan Wenda dengan urusan kelompok mereka -- kini jadi bergabung dengan dua gadis itu. "Kalian udah selesai ngerajutnya?" tanya Sora. Suaranya masih terdengar tidak bersemangat. "Udah kok," jawab Dana segera. Wenda lanjut bicara. "Ada apa, sih, Sora? Apa yang terjadi di ladang? Kenapa kamu kayaknya lagi kesel banget?" Mendengar rentetan pertanyaan dari Wenda itu, Sora langsung menarik napas dalam. Berusaha untuk tidak mengingat kembali bagaimana menyesalkannya si Hasi itu. Sora sebenarnya masih enggan bercerita. Tapi karena yang bertanya adalah dua teman dekat yang selalu peduli padanya, Sora memutuskan untuk langsung menceritakan hal itu. "Jadi tadi si Hasi gila itu gabung sama kelompok kami di ladang. Dia kedoknya sih mau bantuin kami lagi, setelah bantu kami cari lahan kosong kemarin. Eh, selama kami bersih - bersih ladang itu, dia malah deketin aku terus. Dia minta tolong sama aku buat menyampaikan ke kamu Wenda, buat jangan blokir nomor dia. Karena dia cuman mau kenal aja. Aku bilang sesuai permintaan kamu, kamu udah punya pacar. Nggak mau diganggu. Tapi dia malah ngeyel terus. Ujung - ujungnya dia makin gila. Katanya kalau kamu nggak mau sama dia ...." Sora sampai tidak sanggup bercerita dengan lancar. Teringat selalu bagaimana ekspresi wajah si Hasi yang begitu menjijikkan. Suaranya juga sama menjijikkannya. "Kalau kamu nggak mau sama dia ... dia bilang ... sebenarnya dia juga naksir sama aku. Katanya aku aja yang sama dia gitu. Gila nggak sih tuh orang. Cengengesan melulu. Omongannya aneh. Aku marah, aku kata - katain dia maniak psikopat. Mana nggak ada yang bantuin aku. Si Kiki yang nggak bertanggung jawab itu malah sibuk sembunyi di balik pohon pisang. Untung aja Alshad tiba - tiba dateng. Dia langsung berhasil ngusir si Hasi dalam satu kali bentakan. Aku benar - benar bersyukur Alshad datang. Coba aja kalau dia nggak dateng, mungkin aku udah nekat nyelurit si Hasi itu dengan celuritnya sendiri." Dana dan Wenda terlihat begitu menyesal karena tidak ada di samping Sora saat semua itu terjadi. "Astaga ... Sora ... pasti rasanya nggak enak banget saat itu terjadi, kan. Si Hasi kayaknya emang psikopat deh. Sorry aku nggak ada saat kamu butuh bantuan ya." Wenda mengungkapkan penyesalan nya. "Aku juga minta maaf ya, Sora. Seharusnya tadi aku sama Wenda ada di sana sama kamu." Dana pun ikut menyuarakan penyesalannya. Sora tersenyum maklum. "Kalian kan juga punya kelompok posdaya sendiri yang juga harus diurus. Aku malah nggak akan setuju kalau kalian abai sama kelompok kalian sendiri hanya demi nemenin aku. Udah .. nggak apa - apa kok. Yang penting si Hasi udah pergi." Melihat kedua temannya yang masih tampak begitu menyesal, Sora pun lanjut bicara. "Ya udah, kalian lanjutin dulu belajar merajutnya ya. Nanti kalau kalian udah mahir, aku mau juga dong diajarin. Aku juga pengin bisa tau, ngerajut kayak gitu." Sora berusaha menunjukkan bahwa ia baik - baik saja, supaya mereka tidak khawatir dan larut dalam penyesalan. "Aku mau istirahat dulu. Cape banget rasanya." Sora tanpa ragu langsung berbaring pada sisi tikar yang kosong di sebelah tempat Dana dan Wenda merajut. Sora sengaja menyibukkan diri dengan ponsel. Supaya Dana dan Wenda bisa fokus kembali merajut. Awalnya mereka masih menatap Sora dengan tatapan menyesal. Tapi karena Sora terlihat baik - baik saja, mereka pun lanjut merajut. Sora mengecek aplikasi chat yang ia gunakan. Seperti biasa, ada pesan dari Samran. Sora langsung membukanya. 'Sora ... kamu minggu ini ada kesempatan untuk pulang lagi, kah? Orang tua aku pengin ketemu sama kamu. Rencananya besok mereka mau datang berkunjung ke rumah kamu.' Sora seketika langsung mendelik membaca pesan dari Samran itu. Astaga .... Sementara Sora sudah tidak memiliki jatah untuk pulang lagi. Kan jatah nya sudah diambil minggu lalu. Aduh ... bagaimana ini? Sora langsung mengirim pesan pada Kiki. 'Ki ... sorry to say ... tapi besok kayaknya aku harus pulang lagi. Ada acara keluarga yang penting banget. Tolong kasih aku izin pulang, ya.' Syukur lah Kiki langsung membaca pesannya. Sepertinya pekerjaan di lahan sudah selesai. Mengingat sekarang sudah mendekati waktu sholat Jumat. Masjid juga sudah menyetel rekaman puji - pujian. 'Kan kamu udah dapat jatah pulang minggu kemarin, Sora. Tapi kalau memang acaranya penting banget, coba kamu minta tolong sama yang dapat jatah pulang weekend besok aja. Ada Intan, Albert, Alshad, Yuniar, sama Heni.' Sora membaca pesan balasan dari Kiki itu. Ia berpikir keras sekarang. Dan satu nama yang mencuri perhatiannya ... Alshad. Sepertinya dari 5 nama yang disebutkan Kiki ... hanya Alshad yang bisa ia harapkan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD