Sora merasa kesal. Kenapa? Karena hari berjalan begitu cepat. Tiba - tiba hari Jumat sudah datang. Jadwalnya untuk pulang. Padahal ia masih belum siap untuk bertemu dengan Samran. Tapi di saat bersamaan ia juga rindu pada Ibu, Bapak, dan juga adik - adiknya.
Meski di rumah adiknya hanya tersisa satu -- yang bungsu. Adik Sora yang pertama -- perempuan, jarak dua tahun -- kerja di Surabaya. Adik yang kedua -- laki - laki, jarak tujuh tahun -- mondok di salah satu pesantren di Pare, sehingga jarang pulang.
Pagi - pagi sekali Sora sudah keluar dari asrama bersama Suri dan juga Hesti yang jadwal pulangnya sama.
Sesampai di rumah, Sora disambut oleh Ibu yang sedang sibuk bersih - bersih. Oh, ada calon menantu akan datang. Tentu saja harus bersih - bersih. Hanya perasaan Sora saja, atau memang Ibu terlihat lebih kurus.
Sora segera menjabat dan mencium tangan Ibu. Sora masuk rumah melalui pintu samping yang menghubungkan dengan warnet tua nan sederhana milik Bapak. Seperti biasa, Bapak sedang dinas -- berdiam diri di dalam salah satu bilik warnet -- konsentrasi di depan komputer untuk mengurus bit coin, sumber penghasilan terbesar keluarga Sora saat ini, meskipun nominalnya belum terlalu besar juga, sih.
Keluarga Sora bisa dibilang merupakan keluarga besar yang kecil. Haha. Maksudnya, dewasa ini jumlah anak dalam keluarga pada umumnya adalah dua orang saja. Semua berusaha menjalankan program keluarga berencana dari pemerintah, dua anak cukup. Atau misal tidak dua, maksimal tiga anak, lah.
Sedangkan keluarga Sora? Ada empat anak yang hidup di dalam keluarga ini. Jika saja dulu Ibu tidak keguguran, maka akan ada lima anak. Luar biasa sekali, bukan?
Padahal mereka bukan berasal dari keluarga yang berada. Mereka hidup serba pas - pasan. Namun semua dijalani dengan hati lapang.
Bapak dulu pernah kerja di Hotel Merdeka saat Sora masih kecil. Ia bekerja di Sky Disc hotel itu, tempat ajep - ajep. Tak ingin masa depan anak - anaknya suram karena bekerja di tempat yang kurang baik, Bapak memutuskan untuk berhenti. Kemudian banting setir menjadi seorang wiraswasta.
Usaha pertama Bapak adalah percetakan. Dulu pernah sangat sukses. Tapi yang namanya hidup, pasti mengalami pasang surut. Bapak beralih usaha dengan membuka rental PS.
Pernah sangat sukses juga. Tapi karena sering kemalingan, Bapak tak punya biaya lagi untuk membeli PS baru. Lagi pula rasanya seperti kanji alias kapok karena sering diambil maling.
Ibu dulu juga pernah bekerja di bank kredit lokal. Tapi Ibu resign saat hamil anak ketiga. Dikarenakan, saat hamil muda, Ibu dibuang oleh bosnya. Maksud dari kata dibuang, adalah dipindahkan ke Nganjuk.
Bayangkan saja! Seorang wanita yang sedang hamil muda, kala morning sickness yang parah selalu dialami, justru diberatkan dengan pindah tugas ke Nganjuk. Ibu harus setiap hari perjalanan jauh, pulang - pergi naik bus. Apa namanya kalau bukan dibuang? Ibu akhirnya berhenti juga.
Bapak dan Ibu mengajukan hutang pada salah satu bank. Syukurlah, meski jaminan yang dimiliki hanya sebuah motor butut, bank berbaik hati memberikan pinjaman. Kala itu mereka mendapat 10 juta. Mereka menggunakannya untuk membuka usaha baru, yaitu warnet yang masih berdiri sampai sekarang.
Saat ini Bapak sedang mencoba peruntungan dengan berusaha membuat sebuah aplikasi android untuk melihat harga bitcoin secara real - time, dan perbandingannya dengan dolar. Sehingga akan memudahkan semua orang yang mencari nafkah dengan bitcoin untuk melihat harga.
Sejauh ini belum ada aplikasi seperti itu. Makanya Bapak optimis sekali. Pasti akan banyak orang yang menggunakannya. Bapak berharap jika aplikasi itu booming, akan menjadi sumber pendapatan baru yang besar untuk keluarga. Terutama untuk biaya pernikahan Sora -- jika Samran jadi mempersuntingnya.
Well, sedikit cerita yang disampaikan Bude Liza, keluarga Samran akan menanggung semua biaya, pernikahan akan dilaksanakan di kediaman mereka, lalu segera membawa Sora untuk tinggal bersama.
Tapi keluarga Sora tak mungkin tidak membuat acara apa pun di rumah. Orang tua mana yang tak berkeinginan merayakan pernikahan sang Anak? Apalagi Sora adalah anak pertama.
"Aplikasinya udah mau jadi, Nduk," ucap Bapak ketika Sora menjabat dan mencium tangannya. Wajah Bapak terlihat berseri - seri.
"Wuih ...." Reaksi singkat dari Sora.
"Kemarin sebenernya udah hampir jadi. Eh, pas Bapak ke kamar mandi, ada bocah masuk ke sini. Dikira komputernya belum nyala. Power - nya dipencet, mati, deh!" Bapak menceritakan pengalaman pahitnya.
Sering, sih, seperti itu. Dulu sebelum Sora punya laptop sendiri, tulisannya juga sering hilang karena komputer yang ia pakai, tak sengaja dimatikan oleh pelanggan warnet. Lalu Sora malas mengetik ulang. Ide terpaksa terbuang sia - sia. Atau mungkin akan didaur ulang, saat Sora kembali mendapat semangat dan waktu untuk mengetik.
"Sing sabar!" ucap Sora. "Yang penting udah mau jadi lagi, kan?"
Bapak mengangguk - angguk mendengar jawaban Sora. "Nanti habis jumatan Samran ke sini."
Sora tersenyum mendengarnya. "Iya, Pak. Udah tahu. Ya udah, aku masuk dulu."
"Oke. Bapak juga mau lanjut."
Masuk rumah, Sora melepas jaket pengabdiannya, sepatu, helm, dkk. Tak lupa ia mengeluarkan laptop, menyempatkan streaming sebentar. Mumpung ada kesempatan dapat sinyal bagus.
"Kata Bude Liza, beberapa hari yang lalu si Samran ngecek ke sini." Ibu duduk lesehan di sebelah Sora. "Katanya dia di depan sana pakek sedan ijo. Tapi Ibu juga nggak tahu."
"Lhoh, dia nggak tahu kalo aku lagi pengabdian di Selopanggung? Kok ngecek - nya ke sini?"
"Tahu, Mbak. Jadi dia cuman tinjau aja gitu. Lihat - lihat," jelas Ibu. "Terus gimana? Dia udah hubungin kamu?"
"Udah. Tapi ...." Sora terlihat malas membahas masalah obrolan super singkatnya dengan Samran lewat chat. "Dia kayaknya beneran pendiem dan sibuk, deh, Buk. Ya kali aku bales pagi, dia bales lagi malem. Mana basa - basinya garing abis!" Sora mengambil ponsel dari dalem tas. "Eh, ini dia chat, Buk!"
Sora ingin segera membuka chat dari Samran. Tapi ia ingat sesuatu. Mumpung sinyal sedang bagus, inilah kesempatan untuk membuka foto profil lelaki itu.
Sora segera menyentuh ikon kecil berbentuk lingkaran. Sebuah tampilan foto berbentuk persegi muncul. Sora menyentuh sekali lagi, sehingga foto itu berubah ukuran lebih besar.
Sora mengernyit menatap foto Samran. Terlihat lelaki itu sedang duduk bersila di sebuah kedai, dengan jari telunjuk dan jari tengah yang mengapit sepuntung rokok.
Dilihat sekilas, Samran terlihat seperti lelaki urakan dan nakal.
"Apa, Mbak, isi chat - nya?"
Pertanyaan Ibu menyadarkan Sora tentang tujuan awalnya. Wanita itu segera menyentuh ikon back, dan segera membuka pesan baru dari Samran.
Mbak lagi di rumah, ya? Btw, aku dapet nomor Mbak dari Bu Liza
Bola mata Sora memutar malas membaca pesan itu. Basa basi yang sungguh basi. Samran jelas - jelas sudah tahu bahwa Sora ada di rumah. Pasti sang Bude sudah memberitahu lelaki itu. Makanya ia akan ke sini selepas Jumatan nanti untuk saling bertemu. Eh, malah tanya sekarang Sora ada di rumah atau tidak. Oh, please!
'Sora, positive thinking! Bisa jadi Samran benar - benar lugu dan pendiam sampai - sampai dia nggak punya topik buat dibahas. Dan untuk penampilannya di foto profil, kamu nggak boleh menilai seseorang dari luarnya aja, kan?' Sora membatin, berusaha menenangkan hatinya sendiri.
"Apa, Mbak, katanya?" tanya Ibu.
Sora menggeleng. "Basa basi aja, Buk."
"Basa basi gimana?"
Sora menggeleng lagi. Lalu lanjut streaming music video baru dari grup idol Korea, NCT, yang berjudul BOSS.
***
Sora asyik melanjutkan revisian skripsi sebelum ia serahkan pada dosen pembimbing nanti sore. Sora sedang konsentrasi penuh, sampai Ibu lari tergopoh - gopoh menghampirinya dari arah depan.
"Kenapa, Buk?"
"Itu ... si Samran udah dateng!" Raut Ibu terlihat antara panik, penasaran, sekaligus senang.
Sora seketika menutup laptop. Ia beranjak mengikuti Ibu yang sudah duluan kembali ke depan untuk menyambut kedatangan Samran.
Sora membenahi tata letak hijabnya di kaca jendela. Tidak ada yang miring. Rambutnya juga tidak keluar - keluar. Aman.
Sedan berwarna hijau tua itu terparkir dengan baik di halaman rumah. Terlebih dulu keluar seorang wanita paruh baya. Terlihat sudah berumur, namun sangat cantik dan fashionable. Ia memakai hijab dan juga kacamata.
Mungkin itu bundanya Samran. Kalau sang Bunda saja terlihat seperti itu, maka ada kemungkinan bahwa putranya memiliki paras yang tampan.
Sora terkikik sendiri. Bisa - bisanya ia memikirkan hal seperti itu di saat seperti ini?
Sora mengantisipasi ketika pintu sisi kemudi terbuka. Sora benar - benar sudah tak sabar melihat wujud nyata seorang Samran.
Seorang lelaki tinggi menjulang, dengan penampilan yang rapi keluar dari sana. Ia berjalan perlahan menuju ke mari.
Oh, jadi itu yang namanya Samran.
Hmh ... tidak buruk!
***