"Kemarin kita semua sudah saling kenal, ya. Tapi itu, ada suaminya Bude Pangestutik, yang sebelumnya belum pernah ikut kenalan. Namanya adalah Pakpuh Sumardi." Pak Hartawan mengenalkan kakak iparnya pada keluarga Sora.
Mereka hanya saling tersenyum tipis. Sebelum akhirnya situasi kembali canggung.
Suasana hening, hanya terdengar murotal dari pajangan dinding bergambar Ka'bah.
"Sehat semua, kan, Pak Fuad?" Pak Hartawan akhirnya kembali membuka obrolan.
Pak Fuad agak terkejut sebenarnya. Tapi segera bisa mengendalikan situasi. "Alhamdulillah, sehat semua. Pak Hartawan dan keluarga sehat semua juga, kan?"
"Iya, Alhamdulillah, sehat." Pak Hartawan kembali menjawab, sambil memikirkan topik pembicaraan apa yang akan mereka bahas, supaya situasinya hidup.
"Alhamdulillah." Pak Fuad menimpali. Laki-laki itu belum berminat untuk membuka obrolan. Membiarkan sang tuan rumah saja yang memikirkan topik. Siapa tahu mau langsung membahas maksud mereka meminta keluarga Sora tetap datang, setelah memberi tahu berita buruk, kalau weton dua sejoli yang dijodohkan tidak cocok.
"Adiknya Mbak Sora, yang nomor dua dan nomor tiga, lagi nggak bisa ikut datang?" Akhirnya Pak Hartawan kembali menemukan topik pembicaraan setelah sekian lama.
Basa-basi dengan calon besan itu ternyata tidak lah mudah. Baru ia ketahui hal itu. Padahal ia sebenarnya suda tahu, anak ke dua, dan ke tiga Pak Fuad, satunya kerja di Surabaya, dan satunya mondok di Pare. Saking ia tak tahu harus membahas apa. Jadi lah ia menanyakan hal yang sudah ia ketahui.
"Iya, satunya udah masuk kerja. Satunya udah balik pondok." Pak Fuad menjawab sekedarnya, pendek. Asal semua pertanyaan Pak Hartawan sudah terjawab lunas.
Pak Hartawan bingung lagi harus mulai bicara apa. Samran malah masih belum kedengaran suaranya, masih belum kelihatan batang hidungnya. Ke mana pula dia? Sora jadi makin kesal. Makin buruk situasi hatinya.
Sora menatap Bude Pangestutik. Kebetulan wanita itu sedang menatapnya juga, dengan tatapan yang tidak enak. Seperti tokoh antagonis yang sedang melirik tokoh lain yang tidak ia sukai, dalam sebuah sinetron.
Sora pun langsung mengalihkan pandangan. Dari pada makin runyam urusan hati dengan Bude Pangestutik.
"Mas Samran masih di belakang. Masak. Dari tadi siang sibuk terus di dapur, maunya masak sendiri buat menyambut Sora dan keluarga. Belum selesai masaknya. Tadi ditinggal dulu jemput Sora. Terus sekarang dilanjutkan lagi masaknya." Bu Harumi seakan mengerti pertanyaan terbesar dalam benak Sora.
Sora yang tadinya kesal, jadi sedikit luluh. Tidak menyangka saja, jika Samran begitu niat, sampai menyiapkan makanan sendiri untuk para tamu yang datang. Sora jadi merasa tak enak karena sudah berburuk sangka.
"Hari ini jualannya jadi tutup?" Bu Rahma yang sekarang ikut nimbrung dalam pembicaraan.
"Iya, hari ini resto tutup satu hari. Nggak apa-apa, karena memang sedang ada tamu." Bu Harumi menjelaskan dengan banyak senyum tulus.
Berbeda sekali dengan Bude Pangestutik yang melempar banyak senyuman palsu.
Dan dari sekian banyak obrolan basa-basi, sama sekali belum ada yang membahas masalah perjodohan.
Sora dan keluarga jadi semakin bingung. Mau di bawa ke mana sebenarnya perihal perjodohan ini.
"Mari ... ayo dimakan. Ayo, Monggo." Bu Harumi berakhir mempersilakan mereka kembali untuk memakan hidangan di meja. Karena sejak tadi belum ada yang menyentuh.
"Mas Zona ... ayo jangan malu-malu. Langsung aja ambil, mau yang mana." Bu Harumi langsung to the points menunjuk Zona.
Karena di antara semua orang yang ada, hanya Zona yang tidak memberikan aura nyungkani. Bicara pada anak di bawah umur, memang lebih mudah dibandingkan bicara dengan orang dewasa. Itu fakta.
Pak Fuad pamit ingin keluar ruangan, karena ia ingin merokok. Tidak menyangka saja jika akhirnya disusul oleh Pak Hartawan. Tak lama kemudian, Pak Sumardi ikut juga keluar.
Sora menatap sekilas ke luar. Tiga orang laki-laki itu, di luar pasti akan terlibat obrolan. Sora berharap, di sana Pak Fuad akan langsung bertanya pada Pak Hartawan, tentang kepastian perjodohan ini. Supaya semuanya segera menjadi jelas. Tidak mengambang lagi seperti sekarang, sehingga membuat kebingungan.
***
"Dengar dari Samran, katanya Pak Fuad aslinya berasal dari desa sebelah, ya." Pak Hartawan merasa lebih rileks ketika berada dalam obrolan bersama sesama laki-laki. Ia jadi langsung bisa menemukan topik pembicaraan yang pas. Terlebih kini ia sudah bertemu dengan rokok sang sahabat sejati, yang selalu setia memberikan inspirasi.
"Benar, Pak. Saya dari desa sebelah. Setelah menikah, baru pindah ke tempat tinggal yang sekarang sama istri, ibunya Sora."
"Nggak nyangka, ya. Ternyata sebenarnya Pak Fuad orang dekat sini. Kata Samran juga, katanya masih saudaraan sama Ibu Darwati, kepala sekolah TK Al-Insani. Dulu Samran sekolah di sana soalnya."
"Oh, iya, Pak. Bu Darwati itu salah satu adik dari ibu saya, neneknya Sora. Udah lama sekali menjabat jadi kepala sekolah Al-Insani. Sejak adik saya yang rumahnya Pare, masih TK. Beliau udah jadi kepala sekolah."
Pak Hartawan mengangguk mengerti. "Karena dulu tempat tinggalnya deket sini, jadi sering renang di Tirta Buana juga pasti." Pak Hartawan membicarakan kolam renang legenda yang sudah ada sejak istrinya, Bu Harumi, masih anak-anak dulu.
Pak Fuad awalnya masih menyimpan rasa kesal. Tapi karena Pak Hartawan banyak membicarakan hal positif, pikiran buruk Pak Fuad pun akhirnya menguar juga. Ia mulai menanggapi obrolan Pak Hartawan dengan baik, dan menyelingi dengan candaan, supaya terdengar lebih akrab.
"Iya, dulu sering renang di tirta buana. Sama adik-adik. Suka main ke pabrik gula yang ada di belakang perumahan Brantas Utara juga."
"Wah, ternyata dunia ini benar-benar sempit, ya."
"Iya, benar."
Bapak-bapak itu pun akhirnya terlibat obrolan seru. Bahkan Pak Sumardi yang merupakan suaminya Bude Pangestutik, juga ikut ngobrol asyik dengan mereka.
Terlalu asyik ngobrol, Pak Fuad pun lupa untuk melakukan misi yang ia anggap sebagai tanggung jawab sebagai seorang kepala keluarga. Yaitu menanyakan perihal kepastian perjodohan itu.
***
Samran akhirnya muncul, setelah sekitar 1 jam Sora dan keluarga ada di sini. Ia langsung mempersilakan Sora dan semuanya untuk makan dulu.
Banyak sekali makanan terhidang. Ada nasi goreng, mie goreng, capjay, fuyunghai, sate ayam, dan beberapa side dish lainnya.
Mereka pun akhirnya makan bersama, menghabiskan waktu berkualitas bersama. Seakan lupa dengan peristiwa pembatalan perjodohan yang dilakukan Bude Pangestutik di siang hari sebelumnya.
Namun tetap saja satu-satunya orang yang terlihat tak suka di sana adalah Bude Pangestutik.
Karena hari sudah larut, Pak Fuad mewakili keluarganya untuk berpamitan pulang. Keluarga Pak Hartawan membawakan banyak oleh-oleh pada keluarga Pak Fuad.
Membuat mereka merasa tak enak, karena tadi datang tidak membawa apa-apa.
Dan mereka pun akhirnya pulang -- dengan kembali diantar oleh Samran seperti saat berangkat tadi.