04 : TOPENG PENJAHAT

1063 Words
Sekelebat dua sosok berlari sangat cepat. Langkah keduanya, mengejar hewan bertanduk panjang yang tubuhnya gemuk dengan warna bulu cokelat tua dan berbintik-bintik putih, yang berlari sangat cepat. Dua sosok itu terus mengejar hewan yang menjadi sumber makanan mereka, tanpa kelelahan. Meskipun, sebenarnya hewan itu tidak akan membuat keduanya kenyang, dahaga akan tetap mereka rasakan. Tetapi, tidak menjadi masalah, daripada memburu manusia yang tak bersalah. Dilihat dari dekat, ternyata dua sosok itu berlainan jenis kelamin. Lelaki bersurai cokelat yang berlari sangat cepat, berhasil menangkap rusa besar itu. Sedangkan, perempuan yang wajahnya sebening kristal menatap jengah, karena ia telah kalah untuk mendapatkan rusa itu. “Kita bisa membaginya, Vio. Apa kamu mau?” tanya lelaki itu. Ia tentu tidak akan membiarkan perempuan yang ia cintai, kelaparan. Perempuan itu menggeleng. Bukan tidak ingin, tetapi ia akan mencari makanannya sendiri. “Ini untukmu saja, Jensen. Aku akan berburu lagi,” ujarnya. Namun, baru saja perempuan itu hendak berlari, lelaki bernama Jensen itu, malah berdiri di depannya dan memberikan rusa itu padanya. “Ini untukmu saja,” kata lelaki itu lalu mengambil sebilah kayu dan menusukkannya pada leher rusa, sehingga mati. Perempuan bersurai cokelat kemerahan, menghela napas. Jensen pasti akan memaksanya, jika ia tidak menerima pemberiannya. Meskipun, lelaki itu sudah susah payah mendapatkannya dan lebih baik dimakan sendiri. “Kalau itu maumu. Lebih baik kita berbagi saja,” jawabnya dengan senyum paksa. Jawaban itu lantas membuat Jensen tersenyum, lalu merangkul pundak perempuan yang memakai gaun putih yang sudah menjadi temannya sejak kecil. Tubuh keduanya sekelebat berlari, meninggalkan hutan belantara yang berbatasan dengan danau kecil yang alirannya tenang. Setelah sampai di tempat biasa keduanya bertemu, Jensen langsung mencabik rusa dengan kukunya yang panjang. Perempuan bersurai cokelat kemerahan sendiri, mengambil kayu yang tertancap di leher rusa, lalu menggigit dan mengisap darah segar yang mengalir keluar. Bibirnya berlumuran cairan warna merah pekat yang amis nan manis. Jensen pun melakukan hal yang sama, tetapi di bagian perut rusa. Warna matanya yang semula sepekat tinta, berubah menjadi kuning keemasan. Terus mengisap sampai bunyi seruput terdengar. Perempuan bergaun putih pun berdiri, kala dirasa ia sudah cukup mengisap darah rusa. Ia membiarkan Jensen yang mengurus sisanya, sebab lelaki itu yang mendapatkannya. Perempuan itu lalu duduk di bebatuan yang kokoh sambil mengelap sisa bercak darah yang masih menempel di sudut bibirnya. Meskipun terbilang memiliki paras yang cantik dan anggun. Ia tetap merupakan penjahat yang tak memiliki belas kasihan. Ia akan dengan senang hati mengeluarkan gigi runcing yang disembunyikan. Rela mencabik kulit, dan mengisap darahnya sampai tak tersisa. Menutupi semua kebenaran itu, ia seperti memaki topeng. Dan siap melepas topeng buruk itu kapan saja, saat lawan menghadang atau ada sesuatu yang mengusiknya. Namun, itu tidak berlaku untuk penduduk Blomerys, sesuai perjanjian yang telah disepakati. Jensen telah selesai mengurus rusa mati. Lelaki itu lantas mendekati perempuan bergaun putih dan mengelus surai cokelat kemerahannya. “Apa kita akan pulang sekarang, Vio?” tanya lelaki itu, memastikan. Perempuan bernama lengkap Violetta, menggeleng. Ia masih ingin di sini dan menikmati pemandangan lalu-lalang penduduk wilayah Foesch. “Biarkan kita di sini dulu, beberapa menit lagi.” Violetta menatap Jensen penuh permohonan. Alhasil, lelaki itu tidak bisa berbuat apa pun, selain menurutinya. Ia pun memilih duduk bersebelahan dengan Violetta sambil memandangi wajah cantik itu. Kapan Violetta menyadari perasaannya? Violetta menajamkan matanya, saat semak-semak bergoyang. Tanpa basa-basi, ia langsung mendekati semak belukar yang mulai menguning. Jensen sendiri, segera menyusulnya, karena khawatir. Perempuan bergaun putih membelah semak-semak, terlihat hewan berkumis berbulu putih kecokelatan sedang mengeong dan menggaruk tubuhnya. Ia pun mengambil kucing itu dengan raut wajah berseri. Violetta menyukai hewan lucu dan mungil itu. “Siapa yang memiliki hewan ini ya, Jensen?” tanya Violetta sambil mengelus bulu halus milik si kucing. Jensen sendiri tak menjawab, ia malah menatap hewan bercakar itu dengan tatapan aneh dan curiga. Sedangkan, Violetta membawa kucing itu ke tempat mereka duduk tadi, tanpa memikirkan jawaban dari Jensen yang berjalan mengikuti. Lamat-lamat, Jensen merasakan energi negatif dari kucing itu, sebelum pandangan matanya memudar dan ia melihat cahaya putih meta yang bersinar begitu terang. *** Violetta tengah mengelus kucing mungil itu. Sesekali, hewan berkumis itu mengeong, merasakan sentuhan halus yang diterimanya. Perempuan yang cantik nan anggun tersenyum, kala melihat hewan itu seakan merajuk saat ia tidak lagi mengelus bulu halusnya. Jensen sendiri, hanya diam mengamati sambil menelan ludah. Mendengar suara mengeong, sepasang suami istri yang lewat, mencari keberadaan suara itu. Keduanya melihat Violetta sedang asyik menggendong kucing yang mirip dengan kucing milik anak mereka yang menghilang. Wanita yang memakai jubah warna merah, segera mengambil paksa hewan berkumis itu dari tangan Violetta. Mengakibatkan perempuan bergaun putih itu tersentak kaget, begitu pula Jensen. “Ada apa kalian kemari?” tanya Jensen, menahan Violetta yang hendak bicara lebih dulu. “Dasar pencuri! Seharian aku dan suamiku mencari kucing ini ke sana ke mari. Ternyata ... oh ... ternyata, cucu Tuan r****h yang telah mencurinya.” Tuduh wanita itu kepada Violetta. “Benar sekali. Dasar tidak tahu malu! Aku mencari kucing ini karena anakku menangis sedari tadi pagi. Tahu-tahunya, kucingnya diambil sama kamu, Vio. Dasar tidak punya orang tua!” caci pria berjubah biru. “Tidak!” teriak Violetta, “aku berani bersumpah, untuk tidak mencuri. Jensen saksinya!” Jensen bisa melihat Violetta terlihat murung dan sedih dituduh seperti itu. Sebagai seorang pria, ia pun maju. “Maaf ... tapi kami menemukan kucing itu dibalik semak-semak. Sebaiknya, Tuan dan Nyonya, menjaga kucing itu baik-baik, agar tidak hilang.” Jensen menatap tajam pada sepasang suami istri yang malah tersenyum miring. “Tidak ada pencuri yang mau mengaku! Akui saja!” desak wanita itu dengan tatapan nyalang. Amarah sudah sampai ke ubun-ubun kepala Jensen. Pemuda itu mengeluarkan taringnya dan menggeram. “Kami tidak takut padamu. Berita ini akan tersebar ke seluruh wilayah Foesch. Tuan r****h akan kehilangan keturunan untuk melanjutkan tahta.” Suami istri itu lalu segera pergi. Menyebarkan fitnah bahwa Violetta telah mencuri barang berharga milik mereka, yang tak lain, kucing yang digendong wanita berjubah merah. *** Jensen dengan cekatan, mengambil kucing dari tangan Violetta dan melemparnya asal. Perempuan bersurai cokelat kemerahan tersentak kaget dan hendak marah. Akan tetapi, lelaki yang pandangannya sudah tak kabur lagi, membawa tubuh keduanya berlari dan bersembunyi di balik pohon cemara. “Diam dan jangan bergerak,” ujar Jensen sambil memeluk Violetta. Perempuan bergaun putih itu pun bisa mendongak dan menatap wajah Jensen yang tampan. Sebelum pemuda bersurai cokelat menyadari tatapan itu dan bertanya, “Apa yang sedang kamu lihat, Vio?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD