05 : CINTA SEMBUNYI

1153 Words
Violetta menyikut pinggang Jensen, terlihat sangat jelas, pipi perempuan itu merona. Ia lalu segera menggeser tubuhnya sedikit menjauhi Jensen yang mengulum senyum. Lalu, mengintip ke arah kucing yang tadi Jensen buang asal. “Kenapa kamu malah membuang kucing lucu itu?” tanya Violetta melirik pada pemuda bersurai cokelat. Jensen belum menjawab. Berada di dekat Violetta, membuat jantungnya berdebar sangat kencang. Apalagi, mengetahui perempuan itu memandanginya tadi. Seakan ada ribuan kupu-kupu yang menggelitik, Jensen senang bukan main. Jensen berdehem, sebelum menjawab, “Kita lihat saja dari sini. Kamu akan tahu nanti.” Violetta tampak mencebik, lalu menatap ke arah Jensen lekat. “Kamu tega membuang kucing itu. Tidakkah kamu tahu, dia pasti kesakitan!” Lelaki yang memakai jubah warna hijau tua, menutup matanya sejenak, lalu membalas tatapan Violetta. “Aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu, Vio.” Violetta tampak mengerutkan kening, ia mencoba memikirkan ucapan Jensen yang terasa tidak asing. Ya, lelaki itu selalu mengatakan hal yang sama, jika kemampuan melihat masa depannya itu aktif. “Apa yang kamu lihat, Jensen?” tanya Violetta penuh curiga. Ia masih tidak terima akan sikap Jensen yang langsung membuang asal hewan berbulu putih kecokelatan itu. Jensen menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia bingung harus menjelaskan dari mana, pasti Violetta akan marah-marah padanya. “Aku melihat--" ucapan Jensen terhenti, kala Violetta membekap mulutnya. Perempuan bergaun putih itu mendengar suara derap langkah kaki. Ia lalu melepaskan tangannya dari mulut Jensen yang menganga. Pemuda itu tak kalah terkejut. Violetta mengintip dari balik pohon camar. Dapat ia lihat seorang wanita berjubah merah dan pria paruh baya berjubah biru mendekati kucing tersebut. “Akhirnya kucing ini ketemu juga. Aku sudah capek mutar-mutar sedari tadi,” ujar wanita paruh baya yang mengambil hewan berkumis tersebut. Dari tempat mereka sembunyi, Violetta mampu mendengar ucapan itu. Ia memiliki indra pendengaran yang sangat tajam. “Syukurlah kalau begitu. Tetapi, aku masih heran, kenapa kucing ini ada di sekitar sini?” Pria paruh baya tampak curiga dan memandang ke sekeliling. “Sudahlah, tak usah dipikirkan. Toh, kucingnya sudah ketemu. Lagi pula, memangnya ada yang mau mencuri kucing ini?” Pria itu mendekati sang istri, ikut mengelus bulu halus kucing lalu mendekatkan wajahnya ke hewan bercakar itu. Menghirup aroma asing yang ia duga ada orang yang tadi memegang kucing itu. Kecurigaannya semakin bertambah. Violetta membalikkan kepala saat ia melihat pria paruh baya memandang ke arah tempatnya bersembunyi. Dan tanpa sengaja, kepalanya malah membentur sikut Jensen yang tak sengaja berada di belakangnya. “Siapa di sana!?” teriak pria gondrong yang sedari tadi merasa ada yang aneh di balik pohon cemara. Jensen melebarkan jubahnya dan menyembunyikan Violetta agar tak terlihat. Pasalnya, pria itu terlihat akan mendatangi pohon cemara tempat keduanya bersembunyi. “Keluar saja, kalian! Sebelum aku menangkap kalian dan membawa kalian ke hadapan Tuan r****h Alpha karena telah mencuri kucing milik anakku.” Mata Jensen melebar. Tidak! Kali ini, ia harus bisa menyelamatkan Violetta. Apa pun yang terjadi, lelaki itu akan memastikan bahwa semua yang ia lihat, tidak akan terjadi. Jensen berharap sepenuh hati. “Sudahlah, lebih baik kita pulang. Kamu ini kenapa malah teriak-teriak. Di sana tak ada orang,” ujar wanita paruh baya berjubah merah, lalu mencoba menarik suaminya. “Aku ingin memastikan dulu,” kata sang suami, membuat wanita itu memutar bola matanya malas. “Apa lagi? Ayo pulang sebelum anak kita melakukan yang tidak-tidak. Dia masih belum bisa mengendalikan diri.” Pria itu tampak pasrah. Meskipun, ia curiga dengan jubah hijau tua yang menjuntai di dekat pohon cemara. “Baiklah. Kita pergi sekarang!” Jensen mengintip dan tak mendapati sepasang suami istri itu masih di sana. Ia pun membuka jubah yang menutupi Violetta yang langsung berdiri dan menatap Jensen tajam. “Sebenarnya apa yang kamu lihat? Aku yakin kamu tidak akan sampai melakukan ini, jika hal baik yang terjadi.” Violetta berjalan menuju bebatuan kokoh tempat mereka duduk tadi. Ia sempat melihat tempat di mana hewan mungil itu dijatuhkan oleh Jensen. Ternyata, kucing itu sudah ada yang memiliki. “Ini memang bukan hal yang baik, Vio. Itu sebabnya aku harus melindungimu,” ujar Jensen lalu mengambil tangan Violetta, “Aku tidak ingin sesuatu hal buruk terjadi padamu. Itulah kenapa aku mencoba untuk mencegahnya.” Violetta melepaskan tangan Jensen. Terasa sangat aneh, saat lelaki itu menggenggam dan menyentuh jemarinya. Ia pun memandang jauh ke jalanan yang sepi. “Kalau begitu, aku ucapkan terima kasih. Tetapi, tolong ceritakan padaku, apa yang telah kamu lihat, Jensen.” Jensen memandang tangannya yang tampak kosong. Mungkin benar, Violetta tak menyadari perasannya. Ia harus ekstra sabar untuk menunggu dan mengharapkan keajaiban. “Akan aku ceritakan padamu ...,” Jensen menarik napas lalu mengembuskannya. “Aku melihat mereka datang saat kamu sedang asyik mengelus kucing itu.” “Mereka siapa?” sela Violetta, membuat Jensen memegang kedua pundaknya. “Sepasang suami istri itu datang menghampiri aku dan kamu yang sedang duduk di sini. Posisinya, kamu sedang mengelus kucing itu dan aku berdiri.” Jensen menatap dalam ke mata Violetta. “Melihat kamu mengelus kucing yang sangat mirip dengan milik anaknya, wanita itu langsung mengambilnya darimu, dan kamu kaget.” “Ia menuduhmu telah mencuri kucing itu dan terus mendesak agar aku dan kamu mengaku. Meski, kita sudah menjelaskan bahwa kita menemukan kucing itu di semak-semak.” Violetta menunduk, wajahnya terlihat sedih. Andai ia tidak memiliki Jensen, pasti hal itu akan terjadi dan sepasang suami istri itu akan mendatangi kakeknya. “Mereka tetap pada pendirian mereka dan menuduh kamu telah mencuri. Mereka tidak takut dan akan memfitnahmu mencuri barang berharga milik mereka.” Mata Violetta melebar. “Barang berharga?” Jensen mengangguk. “Ya, mereka akan menyebarkan rumor kamu mencuri ke seluruh penduduk Foesch. Tetapi bukan mencuri kucing, melainkan mencuri barang berharga milik mereka yang akan penduduk sangka adalah barang yang memiliki nilai jual yang tinggi.” Violetta seketika memeluk Jensen. Ia tidak tahu harus berucap apa lagi. Perkataan terima kasih rasanya sangat kurang. Jensen telah menyelamatkan hidupnya dari fitnah nan keji itu. “Aku ...,” ujar Violetta, “sangat berterima kasih padamu, Jensen.” “Tidak salah, jika selama ini aku berteman denganmu. Kamu teman yang baik dan aku telah menganggapmu seperti Kakakku sendiri.” Suara retakan hanya mampu didengar oleh Jensen. Ia mengangguk, berusaha membuat Violetta tak curiga. Meskipun, hatinya teramat sangat sakit, mengetahui perempuan yang selama ini ia cintai, hanya menganggapnya sebagai seorang kakak. Violetta melepaskan pelukannya dan menatap Jensen dengan senyum manis. Astaga! Jensen tidak sanggup untuk terus berada di dekat Violetta, jika begini terus. Perempuan dengan rambut merah kecokelatan itu, memang sangat cantik dan anggun. Tidak pantas untuk lelaki sepertinya yang hanya salah satu penduduk biasa di wilayah Foesch. “Kita sudah lama tidak mengelilingi Foesch sejak terakhir kali kita bertemu. Kamu mau kan menemaniku berjalan-jalan?” tanya Violetta dengan semringah. Namun, Jensen malah terlihat melamun. Violetta yang meelihatnya, bingung dan kembali berkata, “Kamu mendengarkanku kan, Jensen?” Jensen gelagapan, ia lantas menoleh dan mengangguk. “Ayo! Sudah lama juga aku tidak menemanimu bepergian.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD