Ayana menarik malas kakinya menuju ruangan Lian, tiba-tiba ia mendapatkan perintah untuk menemui orang paling menyebalkan itu, selain ruangan Lian yang jauh dari meja kerjanya, yang membuat Ayana malas adalah pasti Lian memanggilnya untuk urusan tidak penting.Ketukan pintu Ayana dibalas oleh suara bass Lian yang mengizinkannya untuk masuk.
Ayana masuk dan melihat Lian yang mondar-mandir tidak jelas sambil sesekali memperjelas raut wajah bingung, hingga Ayana menutup pintu yang tentunya berbunyi perhatian Lian masih belum bisa tercuri.
"Maaf pak, bapak manggil saya?" ujar Ayana sopan mengingat ia harus bersikap profesional pada pria yang berstatus bos itu.
"Cepat kesini, ada yang ingin kubicarakan denganmu," dengan cepat Lian menggerakkan tangannya menginstruksikan Ayana yang masih setia di dekat pintu untuk mendekat.
Dahi Ayana berkerut heran sambil mendekat ragu, ia harus memprediksi kemungkinan apa yang akan dilakukan pria aneh tersebut.
"Kamu harus membantuku," ujar Lian dengan tubuh yang terlihat tidak tenang.
"Ada apa sih? Tenang dikit bisa??" Ayana mulai risih dengan gerak-gerik Lian.
"Bagaimana aku bisa tenang jika mommy dan daddyku akan datang!?"
Ayana bingung dengan hal yang membuat pria dihadapannya ini panik, "lalu?? Ouh.., aku tahu, kamu pasti mau persiapin acara penyambutan kedatangan mereka ya? Ah, itu aja kok bingung sih?? Santai....,"
Lian mendengus mendengar ucapan Ayana, "kamu pikir aku memusingkan hal seperti itu apa??"
"Lalu?" Ayana melipat kedua tangannya didepan d**a sambil menatap Lian penasaran.
"Mereka mengancam untuk membawaku kembali ke Amerika,"
"Apa!? Ahahahahahah!!" tawa Ayana langsung pecah sampai sudut matanya berair seraya bertepuk-tepuk tangan.
"Apa yang lucu hah!?" ujar Lian kesal.
"Kamu seperti anak TK yang mau disuruh ke dokter gigi, lagian aku sangat setuju dengan orang tuamu," Ayana memegang perutnya sambil berusaha meredakan tawanya.
"Emang kamu pikir dokter gigi itu tidak menyeramkan? Aku tidak ingin ikut orang tuaku!"
"Memangnya kenapa mereka ingin membawamu pergi?" Ayana mulai berhenti tertawa dan memastikan masalah yang entah kenapa ia harus ikut campur didalamnya.
"Mereka mendengar gosip tentang pergaulanku yang bebas, aish!! Menyebalkan!!" rutuk Lian dengan wajah kesal.
"Wajar mereka cemas punya anak playboy hidung belang, udah balik aja sana ke Amerika,"
"Sudah kubilang aku lebih suka disini, lagian aku menyuruhmu datang kesini untuk membantuku, bukan untuk membela mereka!"
Ayana mendesah lelah sambil memutar bola matanya malas, "emang aku bisa apa?"
"Orangtuaku akan percaya padaku jika aku menjalin hubungan yang serius dengan satu wanita dan menjadi calon istri," Lian mulai menerangkan perihal permasalahannya pada Ayana.
"Lalu? Kamu menyuruhku kesini untuk cariin calon istri buat kamu? Duh, maaf ya aku bukan mak comblang," tolak Ayana langsung sambil geleng-geleng malas.
"Bukan itu maksudku, aku mau kamu yang jadi wanita itu,"
"Apa!?" teriak Ayana tak percaya dengan matanya yang membulat sempurna.
"Ayolah, kamu harus membantuku,"
"Gak ah! Itu artinya aku nutupin kenakalan kamu dong? Kamu tahu sendiri aku benci sama pria sepertimu, jadi jawabannya adalah no thanks," jawab Ayana dengan pasti tanpa keraguan sedikitpun.
"Hey, jangan menolak, aku tidak akan mengganggumu lagi setelah ini,"
"Eng-gak!"
Lian menyisir rambutnya frustasi dengan jari-jarinya, "kamu tahu hidupmu tak akan tenang jika melawan ucapanku,"
"Kenapa sih kamu suka banget ngancam aku!?" teriak Ayana bosan.
"Aku sudah bicara baik-baik, kamu yang mengundangku untuk menggunakan cara ini,"
"Kenapa harus aku sih!? Kamu kan punya banyak cewek yang pasti nurut banget sama kamu, aku serius gak pengen terlibat sama masalah kamu!!" tutur Ayana berharap pria dihadapannya ini paham jika ia benar-benar tak ingin ambil bagian dalam masalah ini.
"Kamu tahu sendiri kalau mereka tergila-gila padaku, mereka pasti akan menuntut lebih dan orang tuaku tidak akan percaya jika aku membawa wanita-wanita yang biasa kukencani sebelum ini," terang Lian apa adanya pada Ayana, "lagipula aku yakin mereka tidak bisa berakting natural dan tidak memiliki sikap yang baik untuk berhadapan dengan orang tuaku," lanjut Lian lagi sambil memegang dagunya berpikir.
"Tahu begitu masih aja dikencani," racau Ayana malas sambil bersandar di meja Lian.
"Itu hanya untuk bersenang-senang, kamu tahu sendirikan bagaimana seorang pria?"
"Aku tak ingin tahu, pria hanya melakukan apa yang mereka mau, sangat menyebalkan," tanpa sadar Ayana bicara sambil termenung dengan tatapan kosong.
"Jadi? Kamu tentu mau kan?"
"Udah aku bilang, aku gak mau!!" Ayana memperjelas jawabannya dengan yakin.
Lian menarik ujung bibirnya membentuk senyuman miring yang membuat Ayana sedikit bergidik ngeri, apa lagi yang ada dipikiran pria ini sekarang??
Lian mengambil sebuah kertas di atas meja miliknya dan membacanya, "Anggea Friska, hm..., lumayan lama juga dia bekerja disini, cantik, kerjanya juga lumayan, huffttt..., sayang sekali dia harus berhenti kerja karena temannya tidak mau menuruti ucapan Dalian Zarkris,"
Ayana terkejut mendapati nama sahabatnya harus terseret dalam hal ini, "kenapa bawa-bawa Gea sih? Dia gak ada hubungannya sama ini semua!"
"Entahlah, aku hanya ingin, semua ada ditanganmu," balas Lian santai angkat bahu yang membuat Ayana geram.
Ayana menahan seluruh amarah di kepalan tangannya yang sudah tidak sabar untuk singgah di rahang milik Lian.
"Bagaimana?" tanya Lian mendesak Ayana karena tangannya sudah beralih mengambil pena dan hendak mencoret nama Gea diatas kertas yang ia pegang.
"Huft!! Baiklah!! Tapi janji ini hanya untuk bertemu orang tuamu saja!"
Lian tertawa menang saat dengan terpaksa Ayana menyetujui permintaannya, "seharusnya dari tadi bukan? Aku tidak perlu memperlihatkan sifat jahatku,"
"Jangan berlagak seolah memiliki sisi baik!" rutuk Ayana secara jelas.
"Siap-siaplah bertemu mertuamu baby," Lian mendekati Ayana sambil tersenyum tepat dihadapan wanita yang tengah menatapnya dongkol.
"Hentikan ucapan menjijikkanmu itu,"
"Harap dibiasakan sayang, akan terlihat sangat natural jika kita sering latihan," Lian memperlihatkan senyuman mautnya yang bisa membuat semua wanita takluk dihadapannya.
Bulu kuduk Ayana meremang mendapati pria itu tersenyum kepadanya yang bagi Ayana itu seperti senyuman malaikat maut yang siap mengambil seluruh kebahagiaan hidupnya.
"Kamu akan bertemu mereka malam ini, kamu butuh sedikit polesan agar pantas bersanding denganku dan orang tuaku bisa percaya," lanjut Lian lagi memperhatikan secara detail wajah Ayana.
"Malam ini?!" Ayana kaget karena berpikir ini terlalu mendadak.
"Ahahahah, kamu gugup? Kamu seperti benar-benar akan bertemu calon mertua saja," ledek Lian dibalas pukulan oleh Ayana yang sedikit membuat Lian meringis.
"Sudah selesai omong kosongnya? Aku mau kembali bekerja, bye!!"
Gerak berbalik Ayana seketika terhenti saat dengan cepat Lian menahan pergelangan tangan Ayana dan menariknya lagi sehingga mereka saling berhadapan dengan jarak yang dekat.
"Kamu dengar ucapanku kan?" tanya Lian masih menahan tangan Ayana yang berusaha kabur.
"Apaansih!?"
"Untuk pertemuan nanti malam ada banyak hal yang perlu dipersiapkan, jadi sekarang kamu ikut denganku," dan tanpa mendengar balasan Ayana, Lian sudah menarik gadis itu untuk mengikuti jalan pemikirannya saat ini.
*
Setelah melalui perjalanan yang penuh dengan keributan, akhirnya Lian dan Ayana sampai disebuah butik yang tampak sangat mewah.
"Kita pilih pakaianmu nanti malam disini," instruksi Lian mulai berjalan menyusuri berbagai pakaian yang terpajang, mau tidak mau Ayana juga mesti mengikuti langkah kaki pria itu.
"Bagaimana dengan ini?" Lian menyodorkan sebuah baju kehadapan Ayana.
"Nggak ah! Ini baju kebuka banget, aku gak mau pake!" tolak Ayana ogah-ogahan melihat baju tersebut tak memiliki lengan dan akan mengekspos punggung si pemakainya.
"Kenapa gak mau? Oh, aku tahu, pasti kamu malu karena punya tubuh jelek, oke-oke, aku tolerir," Lian mengangguk meledek sambil meletakkan lagi baju yang tadi ia pilih.
"Apa kamu bilang!? Kamu tidak tahu saja kalau aku punya badan yang bagus banget sampai bikin semua wanita iri," bela Ayana tak terima dengan ocehan Lian.
"Benarkah? Kalau memang demikian kenapa kamu takut pakai gaun seperti ini?" tantang Lian tak percaya.
Dan tepat saat itu Lian merasakan gantungan baju memukul kepalanya, "kamu gila apa?? Jika aku berpakaian terbuka pasti orang tua kamu beneran yakin kalau anaknya itu playboy nakal yang b******k,"
Walau awalnya Lian kesal, namun akhirnya ia sadar kalau ucapan Ayana benar juga.
"Aku tahu kamu terbiasa dengan perempuan berpenampilan seksi, tapi jangan bawa penampilan seperti itu kehadapan orang tuamu," lanjut Ayana lagi sambil terus berjalan meninggalkan Lian untuk melihat-lihat pakaian lagi, ia tak bisa membiarkan Lian yang memilih pakaian untuknya malam ini.
"Mana yang lebih kamu suka?" akhirnya Ayana berbalik sambil menunjukkan dua gaun kearah Lian.
Lian berpikir sejenak memperhatikan dua gaun sederhana yang diperlihatkan Ayana padanya, "sepertinya bagus yang coklat s**u itu, tapi apakah pilihanmu ini terlalu biasa saja?"
Ayana meletakkan lagi pilihan yang tidak dipilih Lian, "aku yakin orangtuamu tidak akan menyeretmu ke Amerika jika melihat kamu membawa seorang gadis sederhana, cantik dan baik sepertiku,"
Lian menunjukkan wajah tidak terima melihat Ayana berbicara dengan begitu percaya dirinya, "kamu begitu percaya diri sekali,"
"Tentu, hum...,ruang gantinya dimana ya?" dan tanpa peduli dengan respon Lian, Ayana sudah beranjak pergi untuk mencari ruang ganti untuk mencoba gaun yang ia pegang saat ini.
Lian hanya terdiam, "kenapa mendadak dia malah menikmati keadaannya??"
***
Lian melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, sudah tepat dengan dengan perjanjiannya dengan Ayana untuk bertemu.
Setelah selesai dengan persiapan yang mereka lakukan tadi siang, malam ini Lian sudah menunggu di depan gedung apartemen dimana Ayana tinggal.
Lian sedikit terkesima menyadari saat seorang wanita berjalan menuju mobilnya, dan kini wanita itu telah membuka pintu mobil dan duduk disampingnya.
"Apa lihat-lihat!?" tanya Ayana ketus saat Lian masih saja meliriknya.
"Kenapa kamu jutek sekali?" sesal Lian pada Ayana, walaupun sudah tampil cantik dan lebih feminim, nyatanya tak ada yang berubah dari sifat wanita ini.
Ayana terdiam sambil tampak memikirkan sesuatu, "aku sedikit ragu,"
Lian yang tadinya hendak menyalakan mobil menghentikan gerak tangannya dan melirik Ayana lagi, "ada apa lagi?"
Ayana menggigit bibir bawahnya sekilas, "jika orang tuamu bertanya tentang aku ini siapa bagaimana? Kalian keluarga terpandang, walaupun ini hanya pura-pura, aku takut mengacaukan semuanya atau mempermalukan diriku sendiri,"
Secercah senyum langsung hadir diwajah Lian menyadari apa yang saat ini tengah mengganggu pemikiran Ayana, "ahahah, orang tuaku tidak seperti apa yang kamu pikirkan, bilang saja apa adanya, tidak perlu dipusingkan,"
Jawaban Lian belum berhasil membuat keraguan dihati Ayana hilang, tidak semudah itu untuk yakin, "aku benar-benar tidak yakin untuk bisa berhasil, bisakah aku mundur sekarang?"
"Ayolah, semua akan berjalan lancar. Ikuti saja alurnya," jawab Lian santai dan kini mulai mengendarai mobilnya menuju tempat pertemuan.
"Tapi,.."
"Sekarang yang penting kita harus saling bertukar informasi pribadi, kamu pasti belum tahu banyak tentangku. Lihat dulu itu KTP-ku," Lian mengisyaratkan Ayana untuk melihat KTP Lian yang terletak di antara dirinya dan Ayana.
Ayana mengikuti ucapan Lian dan mulai membacanya, "kamu lebih tua dariku lima tahun?"
"Hah, aku bahkan tampak lebih muda darimu bukan?" Lian tertawa bangga.
Ayana hanya mendengus melihat respon Lian, "dan lahir di Amsterdam? Bagaimana bisa?"
"Aku lahir tidak sesuai dengan perkiraan, jadi kebetulan saat itu mommyku ada urusan di Belanda, jadi saat umur dua bulan baru aku dibawa ke Amerika, saat umur tiga tahun aku di Indonesia,"
"Saat kuliah kamu kembali ke Amerika, dan kembali ke Indonesia untuk mengurus perusahaan sekaligus karena wanita Indonesia terlihat lebih menarik dan kamu bisa bebas dari orangtuamu," lanjut Ayana dengan ucapan meledek.
Tawa Lian langsung pecah, "kamu tahu dengan baik ternyata, lalu bagaimana denganmu?"
"Hum..., tidak ada yang menarik, aku dari lahir sampai sekarang ada di kota ini,"
"Kamu tinggal sendiri? Bagaimana dengan keluargamu?"
"Kakak perempuanku hidup diluar kota ikut suaminya, kakak laki-lakiku juga bekerja di luar kota, dan kedua orang tuaku sudah meninggal karena kecelakaan saat aku tahun ketiga SMA," dan dengan cepat Ayana mengusap ujung matanya yang sedikit basah.
"Ouh, maaf..," ujar Lian agak bersalah.
"Tidak apa-apa, ceritakan bagaimana keseharianmu padaku,"
Lian terdiam sambil memikirkan apa yang bisa ia ceritakan, "bekerja dan bekerja, saat lelah mungkin aku menemui teman-temanku dan menghabiskan malam di klub-klub atau sampai pagi aku ak...,"
Ayana langsung memotong pembicaraan Lian, "hidupmu terdengar buruk, beritahu aku hobimu atau segala sesuatu yang kamu suka atau kamu benci,"
"Aku hobi melukis, sesekali akan ku ajak kamu melihat lukisanku yang sangat bagus, aku suka nasi padang, dan benci sekali deng..., aku tidak bisa memberitahumu tentang itu," dengan cepat Lian sadar agar tidak membeberkan rahasianya.
"Heuh, gak asik banget sih!! Kan aku juga mau tahu orang kayak kamu takut sama apaan!!" Ayana kecewa karena apa yang ia ingin tahu tak jadi diucapkan Lian.
"Kamu pikir aku bodoh? Kamu pasti akan memanfaatkan hal itu kan?"
Ayana tertawa melihat wajah panik Lian yang entah kenapa terlihat sangat lucu.
"Bagaimana denganmu?" lanjut Lian sebelum Ayana terkekeh terlalu lama.
"Aku hobi memasak, tapi masakanku terasa lebih enak jika masak dalam keadaan kesal,"
"Hah?? Bisa seperti itu? Aku tampaknya harus membuktikan hal itu, lalu bagaimana dengan kisah cintamu?"
Ayana terdiam mendengar pertanyaan Lian kali ini, "apakah itu juga penting untuk ditanyakan?"
"Entahlah, aku hanya penasaran, lagian aku tak pernah menjalin hubungan yang serius dengan seseorang,"
"Kenapa?"
"Sampai saat ini aku belum bisa melihat sesuatu yang membuatku harus bertahan dengan seseorang, aku menikmatinya hanya untuk sekedar bersenang-senang," Lian bicara cuek sambil terus memperhatikan jalanan yang mereka tempuh.
"Apa Randy juga tak memiliki alasan untuk bisa bertahan denganku?" tanpa sadar pikiran Ayana mengawang sambil menatap bahu jalan dari kaca disampingnya.