Mbah Gondo, namanya memang sudah dikenal luas oleh orang-orang yang selama ini banyak memakai jasanya, jasa akan hal-hal yang berbau ghaib, mulai dari penglaris untuk dagangan, sampai yang bersifat menghilangkan nyawa orang lain.
Berdasarkan cerita-cerita dari orang yang pernah menggunakan jasanya mengatakan kalau Mbah Gondo adalah seorang dukun yang sakti dan tak terkalahkan, belum pernah terdengar suara keluhan karena gagal dari orang-orang itu, semua mengaku puas dan senang.
Puas karena apa yang menjadi hajat keinginannya bisa tercapai dan senang karena Mbah Gondo bermain bersih, nama klien-kliennya, orang-orang yang menggunakan jasanya tertutupi dengan cantik dan rapi.
Tak ada syarat tumbal yang mesti disiapkan untuk dikorbankan, intinya jika ada uang maka Mbah Gondo seakan tak peduli siapapun dan apapun yang jadi hajat keinginan seseorang, Mbah Gondo akan melaksanakan pekerjaan itu dengan sebaik-baiknya dan serapi-rapinya, membuat polisi menjadi kebingungan mendapati hal-hal aneh yang terjadi dalam semua kasus yang mereka temui dan tangani.
Itulah sosok Mbah Gondo yang dikenal oleh Bagas yaitu seorang dukun yang terkenal mumpuni dan belum pernah gagal.
Tetapi apa yang dia lihat saat ini benar-benar sulit dipercaya, apalagi jika tidak disaksikan sendiri oleh kedua matanya.
Dia melihat bagaimana Mbah Gondo yang terpental menghantam tembok dinding rumahnya yang terbuat dari kayu. Sangat jelas di mata Bagas bahwa lelaki tua sakti itu kini berlumuran darah yang keluar dari mulut, hidung dan telinganya.
Tampak sekali kalau Mbah Gondo sangat kesakitan tetapi dia masih berusaha tetap tegar dan mencoba bangkit dari posisi jatuhnya itu.
"Mbah, apa yang terjadi Mbah? Bagaimana dengan Faqih? Apakah dia berhasil dibunuh?" tanya Bagas kepada lelaki yang saat itu masih berusaha dengan susah payah untuk bangkit dan kembali ke posisi duduknya semula.
"k*****t! Belum pernah aku mengalami kegagalan seperti ini, setan apa rupanya yang ada dalam diri bocah itu sehingga aku sulit untuk menembuskan santetku untuk mencelakakan dirinya?"
Saat itu Mbah Gondo berbicara pelan, terdengar seakan-akan dia sedang bergumam untuk dirinya sendiri tanpa mempedulikan apa yang baru saja ditanyakan oleh Bagas.
Tapi bagi Bagas apa yang dikatakan oleh Mbah Gondo barusan jelas menunjukkan bahwa dia sudah gagal dalam menjalankan tugas yang diminta oleh Bagas, yaitu untuk melenyapkan Faqih selamanya dari muka bumi dengan santet yang dikirimkan Mbah Gondo dari jarak jauh.
"Jadi Mbah gagal membunuh Faqih?" Bagas bertanya.
Tetapi lagi-lagi pertanyaan yang barusan ditanyakan oleh Bagas tak disambut baik oleh Mbah Gondo.
Sebaliknya, kata-kata Bagas tadi malah memicu kemarahan Mbah Gondo.
"Bocah edan! Masih bagus aku tetap hidup dan tidak mati, ternyata orang yang kau minta untuk kubunuh itu bukanlah orang sembarangan!"
"Bukan orang sembarangan? Maksud Mbah Gondo bagaimana?" Bagas sendiri malah menjadi bingung mengartikan kata-kata Mbah Gondo barusan.
"Aku tak tahu makhluk apa itu, yang aku tahu sosoknya besar dan berwarna hitam dengan matanya yang merah menyala."
Mbah Gondo menghentikan kata-katanya, kemudian dia merapikan bajunya yang saat itu masih berlumuran dengan darah.
Dia menatap dengan tajam Bagas, lalu berkata, "Bagas, lebih baik sekarang kau pulanglah. Untuk saat ini aku mungkin kalah, tetapi jangan kau pikir aku akan menyerah. Beri aku waktu untuk memikirkan kembali cara agar bocah laki-laki yang bernama Faqih itu dapat kulumpuhkan. Aku sebagai dukun terbaik takkan menerima begitu saja kekalahan ini. Eh ... Kau dengar tidak apa yang kukatakan?"
"I ... Iya, Mbah. Saya mendengar."
"Kalau begitu sekarang bangkit dan pulanglah, datanglah kembali ke sini seminggu lagi."
"Baiklah, saya pulang sekarang."
"Tunggu dulu, seenaknya saja kau mau pergi dari rumahku!"
"Lah ... terus saya harus bagaimana? Kan Mbah Gondo sendiri tadi yang memintaku untuk pulang sekarang?"
"Kau boleh pulang, tapi tinggalkan dulu biaya untuk pengobatanku."
"Kenapa harus yang menanggungnya, Mbah?"
"k*****t! Memangnya kamu pikir aku terluka seperti ini karena siapa? Bukankah aku terluka karena mengerjakan apa yang kamu minta? Maka menjadi kewajibanmu juga untuk menanggung segala akibat yang kuderita."
"Bagas merasa tidak senang mendengar apa yang dikatakan oleh Mbah Gondo, ya tentu saja. MBah Gondo sendiri dalam pandangannya sudah gagal untuk melenyapkan Faqih dengan ilmu santetnya yang kabarnya tak pernah gagal dan tak bisa dikalahkan oleh siapapun.
Tetapi nyatanya kini dia sendiri malah terluka dan Faqih di sana tentu saja masih baik-baik saja, dengan berat hati akhirnya dia memilih mengalah, Bagas tidak mau bermasalah dengan Mbah Gondo.
Maka dia mengeluarkan beberapa lembar uang dan diserahkan kepada Mbah Gondo, diletakkannya lembaran-lembaran uang itu di atas meja. Bagas kemudian bangkit lalu berbalik dan keluar dari pintu rumah Mbah Gondo tanpa mengucapkan salam.
Mbah gondo tampak menyeringai, dia bukannya tidak tahu apa yang terlintas di dalam kepala pemuda yang bernama Bagas tadi. Bahkan kalau mau bisa saja dia membunuh Bagas saat itu juga, tetapi tentu saja hal itu tidak akan dia lakukan. Mbah Gondo tahu betul bahwa sebagai anak dari seorang Juragan Pete, Bagas tentulah memiliki uang yang banyak dan Mbah Gondo punya banyak kesempatan untuk menguras uang pemuda tersebut.
***
Rosyid keluar dari kamar kemudian dia menguncinya kembali, rumahnya dalam keadaan sepi, anak dan istrinya saat itu sedang tidak berada di rumah, sepertinya sedang berbelanja ke minimarket.
Lantas Rosyid berjalan menuju ke belakang yang dilihatnya Mang Asep saat itu sedang memberi makan kelinci yang ada di dalam kandang.
"Mang Asep, saya dan Faqih akan keluar lagi, tolong pintu gerbangnya kembali dikunci, ya."
"Iya, Den," kata Mang Asep singkat, kemudian dia membereskan makanan kelinci di tangannya lalu berjalan mengikuti Rosyid menuju halaman depan rumah.
Di dalam pajero hitam tampak Faqih sudah menunggu Rosyid dari tadi.
Rosyid membuka pintu mobilnya, kemudian pajero hitam itu perlahan meninggalkan rumah dan memasuki jalan raya.
"Maaf, Mas Rosyid. Boleh saya tahu sebenarnya tujuan kita malam ini ke mana?" Faqih memberanikan diri untuk bertanya.
Memang sejak tadi dia merasa sangat penasaran hendak dibawa ke mana sebenarnya dirinya oleh Rosyid.
"Jalan yang akan kita tempuh nanti memakan waktu sekitar setengah jam dari sekarang, kita akan menemui guruku."
Faqih tampak kaget. "Guru Mas Rosyid?"
"Ya, Guruku. Guru spiritualku. Dia hanya seorang ustad desa dan mengajar anak-anak di sana, tetapi ilmunya cukup tinggi. Kurasa jika nanti kamu bertemu dengan dia kamu bisa tahu apa yang yang terjadi denganmu selama ini, karena kalau aku boleh jujur sebenarnya aku tahu kalau kamu bukankah seorang kuli bangunan biasa, selain memiliki ilmu beladiri dalam tubuhmu juga aku melihat ada sesuatu. Sesuatu yang gelap."
Faqih berusaha untuk mencerna apa yang baru saja dikatakan Rosyid, tapi dia tetap belum mengerti apa maksudnya.
Rosyid yang seakan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Faqih saat itu pun berkata, "Kamu pikir kamu hanya belajar ilmu beladiri di kampungmu? Tidak Faqih, kau bukan hanya belajar ilmu beladiri, tetapi lebih dari itu ada sesuatu yang ditanamkan di dalam tubuhmu. Itu sangat gelap."
Faqih hanya terdiam, dia menunggu Rosyid untuk melanjutkan kata-katanya.
"Apakah kamu ingat bahwa dalam setiap pertarungan yang pernah kamu lakukan, berapa pun lawan yang kamu lawan dengan mudahnya dapat kamu kalahkan?"
Faqih berusaha mengingat-ingat kembali, apakah yang dikatakan oleh Rosyid itu adalah benar? Memang kalau dia ingat-ingat kembali dari semua pertarungan yang telah dia lakukan, entah itu pertarungan di jalanan maupun pertarungan untuk lomba, belum sekalipun dia kalah, dalam beberapa kali serangan dengan akurat dia pakai jurus-jurusnya untuk melumpuhkan lawan-lawannya. Selalu saja efektif membuat lawannya tidak berdaya dalam waktu singkat.
"Maaf, Mas Rasyid. Mungkin saja yang mas katakan memang ada benarnya. Yang saya tahu bahwa dari semua jurus-jurus yang saya gunakan untuk mengalahkan musuh-musuh saya, semuanya yang pernah saya pelajari baik secara otodidak maupun dari guru saya, semuanya sangat jelas dan tepat saya praktekkan."
"Tetapi seberapa akurat kemampuan seseorang untuk mengingat semua jurus-jurus yang dimilikinya? Dalam semua pertarungan yang dihadapi baik di jalanan maupun dalam pertandingan?" tanya Rosyid, seakan ingin membuka cakrawala baru bagi Faqih.
Pertanyaan Rosyid barusan membuat Faqih terdiam, bagaimana pun memang ada benarnya apa yang baru saja dikatakan oleh Rosyid bahwasanya seseorang yang hapal diluar kepala sekalipun semua jurus-jurus yang telah dipelajari, pada saat dipraktekkan pada pertarungan yang sebenarnya maka belum tentu dia bisa mengeluarkan semua jurus-jurusnya dengan sangat akurat, karena bagi seorang pesilat pada saat berhadapan dengan lawan maka insting refleks-lah yang saat itu lebih berperan. Seakan-akan tidak ada waktu untuk memikirkan jurus mana yang pas untuk dikeluarkan.
Rosyid baru saja mengatakan tentang sesuatu yang gelap yang ada di dalam tubuh Faqih, sesuatu itu apa? Bagaimana suatu itu bisa mengendap di dalam tubuh Faqih?
Secara sepintas tiba-tiba Faqih kembali teringat bahwa dia pernah diajak gurunya untuk masuk ke dalam kamar sang guru, kemudian di sana melakukan sebuah ritual, dia diminta untuk minum segelas air yang sudah disiapkan sang guru, sekalipun air tersebut warnanya bening tetapi rasanya sangat berbeda dengan air bening yang biasa dia minum.
Saat itu sang guru yaitu Eyang Pranajaya hanya mengatakan bahwa air yang diminum adalah air yang sudah didoakan agar Faqih memiliki jiwa yang lebih tenang saat menghadapi lawan. Kemudian sang guru juga menyuruh Faqih duduk membelakangi sang guru dengan bersila yang saat itu juga tengah duduk bersila.
Eyang Pranajaya menempelkan kedua tangannya ke punggung Faqih, lalu seakan-akan Faqih dapat merasakan ada satu hawa aneh yang mulai menjalari masuk ke dalam tubuhnya yang keluar dari kedua telapak tangan sang guru yang menempel di punggungnya.
Itu berlangsung cukup lama sekitar tiga sampai lima menit, sampai-sampai tubuh Faqih berkeringat karena semakin lama dia merasakan hawa panas di dalam tubuhnya.
Tetapi lagi-lagi sang guru hanya mengatakan bahwa apa yang dimasukkan ke dalam tubuhnya itu adalah sebuah tenaga dalam biasa yang akan membantunya untuk memiliki tenaga lebih agar bisa bertahan lebih lama dalam pertarungan.
Apakah saat itu gurunya mengatakan hal yang sebenarnya? Faqih tiba-tiba mulai meragukannya.
"Apa yang kamu lamunkan, Faqih?" tanya Rosyid dengan masih berfokus menyetir mobil pajero hitamnya.
"Saya merenungkan ucapan Mas Rosyid barusan. Setelah saya ingat-ingat kembali memang ada kejadian dimana guruku dulu memberikan air minum khusus, dan dengan telapak tangannya mengalirkan sesuatu ke dalam tubuhku."
"Apakah gurumu saat itu menjelaskan yang dia lakukan?"
"Ya, tetapi menurutnya apa yang dilakukannya tidak lebih hanya sebuah ritual biasa, untuk menambah tenaga bagi seorang pendekar, agar memiliki ketahanan sedikit lebih lama ketika bertarung."
Tak terasa mobil pajero hitam yang dibawa oleh Rosyid akhirnya tiba tempat tujuan.
Rosyid memarkirkan mobil itu di depan sebuah rumah yang terlihat cukup besar tetapi berdindingkan kayu, saat itu Faqih melihat di depan rumah yang diterangi oleh sebuah lampu petromak duduk seorang laki-laki yang usianya sudah cukup lanjut, wajahnya terlihat teduh dan dia tersenyum pada mereka berdua.
"Assalamu alaikum, Kyai," kata Rosyid kemudian menyalami tangan lelaki tua itu.
Faqih pun mengikuti apa yang baru saja dilakukan oleh Rosyid, sekalipun dia baru bertemu untuk pertama kalinya dengannya.
Lelaki tua itu kemudian mempersilakan Rosyid dan Faqih untuk masuk ke dalam rumahnya.
Di dalam rumah itu terlihat semua perabotan tampak sederhana, beberapa hiasan kaligrafi terpajang di dinding-dinding ruangan itu, tetapi yang menarik perhatian Faqih adalah sebuah mandau yang dipajang secara terpisah, mandau itu memiliki latar kulit harimau di belakangnya, dan entah mengapa Faqih merasa tidak nyaman melihat benda itu.
Seakan-akan ada sesuatu di dalam tubuhnya yang menolak untuk berada dalam ruangan itu, bukan karena kaligrafi-kaligrafi yang terpajang di dindingnya, tapi mandau yang berlatarkan kulit harimau itulah yang membuat tubuhnya bergetar.
Tak lama lelaki dengan wajah teduh dan memiliki kulit putih bersih itu keluar dari dalam dan membawa tiga buah gelas yang kesemuanya berisi kopi panas.
Kopi pun diletakkan di atas meja.
"Bagaimana kabarmu, Rosyid? Lama juga kamu tidak main lagi ke sini. Semakin sibuk saja sepertinya, sedang banyak proyekkah?"
"Alhamdulillah, Kyai, berkat doa kyai juga usaha saya semakin lancar. Oh iya, ini ada sedikit oleh-oleh dan mudah-mudahan bermanfaat."
Rosyid mengeluarkan sebuah amplop tebal dari dalam bajunya dan diletakkan atas meja.
"Ini apa lagi, Rosyid? Aku tak pernah mengharapkan kamu datang ke sini dengan membawa macam-macam, apalagi dengan memberikan uang seperti ini."
"Mohon maaf, Kyai, saya tidak bermaksud apa-apa dan hanya ingin berbagi, kalau Kyai menolaknya, maka Kyai bisa memberikannya kembali kepada orang-orang yang lebih membutuhkan."
Lelaki yang berwajah teduh itu kini kembali tersenyum mendengar penuturan Rosyid.
"Kenalkan Kyai, ini teman saya yang bernama Faqih, dia perantauan juga dari Jawa dan sudah sekitar lima tahun ini dia berada di Kalimantan.
Lelaki yang dipanggil dengan sebutan kyai oleh Rosyid itu menatap Faqih dengan tatapan teduhnya, akan tetapi lagi-lagi rasa tidak nyaman itu dirasakan menggerogoti tubuh Faqih, Faqih mencoba untuk tetap bersikap normal, tetap saja sikapnya dapat terbaca dengan mudah oleh kyai tersebut kalau faqih sedang tidak nyaman berada di dalam ruangan rumahnya.
"Namaku Abdur Rahman, orang-orang saja yang memanggilku dengan Kyai Rahman, aku sendiri sebenarnya menolak untuk dipanggil kyai, karena aku merasa ilmu yang kumiliki tidak seberapa untuk mendapatkan gelar kemuliaan yang disematkan oleh masyarakat kepadaku."
Faqih berusaha untuk tetap tenang tetapi dia tak berdaya, rasa sakit kembali menggerogoti kepalanya.
Rosyid yang sudah tahu dan melihat sendiri apa yang terjadi dengan Faqih jika sudah seperti itu, lalu menatap kyainya seakan tatapannya meminta gurunya tersebut untuk bertindak.
Secara tiba-tiba tubuh Faqih terangkat ke atas melayang di udara dengan kepala merunduk sementara sikap tangannya dalam posisi mencakar, geraman halus terdengar dari mulut Faqih.
"Khodam Harimau Hitam, ilmu langka yang seharusnya sudah punah, tak kusangka akan melihatnya di rumahku sendiri." Kyai Rahman bergumam.