Serangan tak Terduga

1635 Words
Lelaki itu bernama Rosyid, tetapi Faqih biasa memanggilnya dengan sapaan Mas Rosyid karena ternyata Rosyid juga berasal dari tanah Jawa. Kalau Faqih berasal dari Blitar sedangkan Rosyid berasal dari daerah Kabupaten Kebumen, namun anehnya logat bicara Rosyid tak kentara kalau dia berasal dari Kebumen karena biasanya suku Jawa yang berasal dari Kebumen memiliki logat ngapak yang kental. Mungkin karena Rosyid cukup lama belajar dan tinggal di luar daerahnya sejak kecil sehingga lebih terbiasa berinteraksi dengan bahasa Indonesia.  Sementara itu Faqih sendiri, dia merantau ke tanah Kalimantan ini adalah untuk pertama kalinya, maka sebenarnya wajar kalau Faqih lebih banyak bersikap polos dan lugu, karena itulah dia selama ini sering kali tertipu dalam semua pekerjaannya. Sikap polos dan lugu yang diperlihatkan Faqih kepada semua orang itu justru dinilai baik oleh Rosyid sehingga sekalipun dia sudah kecewa dengan pemborong yang telah mengecewakannya, yaitu Rosyid teman Faqih, sikap Rosyid tetap bersahabat pada Faqih, Faqih hanyalah korban dari kebusukan dan kelicikan Rosyid yang mau manfaatkan keluguan Faqih. Setelah Rosyid lari dengan membawa uang gaji bagi para kuli bangunan yang merenovasi rumah Rosyid, Rosyid tetap berhubungan dengan Faqih yang selama ini dia perhatikan memiliki dedikasi tinggi dalam bekerja. Lewat Rosyid pula yang memang seorang Developer yang tentunya banyak memiliki hubungan baik dengan orang-orang yang tengah membangun perumahan, Faqih akhirnya diterima di salah satu proyek perumahan sub sisi dari pemerintah, sekalipun dia tak dijanjikan gaji yang muluk-muluk tetapi mandornya kali ini bersikap baik dan be sikap transparan soal bayaran yang diterimanya, semua kuli bangunan yang bekerja pada sang Mandor yang bernama Salman merasa senang dan betah bekerja di bawah pengawasan Mandor Salman. Rosyid mengenal baik Mandor Salman, maka dialah yang merekomendasikan Faqih untuk bekerja pada proyek yang tengah dikerjakan oleh Mandor Salman. Suatu sore, Faqih yang untuk sementara tinggal di rumah Rosyid diajak berjalan-jalan di Taman Tepian Mahakam. Sudah sebulan Faqih tinggal di rumah Rosyid dan semakin hari semakin terasa kebaikan hati Faqih, baik istri dan anaknya Rosyid tak merasa keberatan jika Faqih ikut tinggal di rumah mereka. Di dalam sebuah gazebo Rosyid dan Faqih berbincang-bincang sambil memandang aliran sungai Mahakam di hadapan mereka.  "Sebenarnya sudah sejak lama aku ingin menanyakan kepadamu, bagaimana kisahnya sampai kamu bisa merantau jauh ke sini dan bisa bertemu dengan Rosyid yang licik itu? Kalau kamu nggak keberatan aku ingin mendengar kisahnya, tapi aku nggak maksa." Rosyid dengan ekspresi serius menatap Faqih. Faqih menarik napas panjang dan menghelanya kembali. Baginya adalah pahit jika mengingat apa saja yang selama ini sudah dtemuinya dan dialaminya. Sepanjang keberadaan Faqih di tanah Kalimantan ini, baru Rosyid lah seorang yang di mata Faqih bisa dibilang sebagai orang yang baik, tak kenal tapi mau menolongnya, dan Faqih tentu saja menjadi segan karenanya. Tetapi karena dilihatnya wajah Rosyid yang sudah dianggapnya seperti saudaranya sendiri itu tampak serius, akhirnya mau tak mau Faqih mulai menceritakan semua kisahnya, dari sejak dia dihubungi temannya yang ternyata berujung kesengsaraan dalam pekerjaannya sampai akhirnya dia bertemu lagi dengan Rosyid yang sebenarnya adalah orang yang berasal dari desa yang sama dengan dirinya. Tentu saja karena berasal dari desa yang sama, juga mengingat bahwa mereka berdua bersuku Jawa, dimana sangat dikenal dengan ketulusan dan sikap kekeluargaannya maka Faqih pun percaya-percaya saja pada Rosyid, dan bahkan kepercayaan ya yang berlebih itu justru menjerumuskannya dalam lubang yang sama, dibohongi berkali-kali dan tetap saja berbaik sangka. Perkenalannya dengan Rosyid yang dulu adalah pemilik rumah yang direnovasi oleh Rosyid dimana Faqih merupakan salah satu kuli bangunannya, adalah sebuah perkenalan biasa, Faqih sendiri tak mengerti apa yang membuat Rosyid bersikap baik padanya, sampai-sampai dia meminta no hape Faqih, sedangkan saat itu posisi Faqih bukanlah sebagai seorang tukang, melainkan hanya seorang kenek dari tukang. Secara keterampilan dia sendiri masih belajar, menjadi kuli bangunan bukanlah bidang yang dikuasai dan disukai oleh Faqih, dan tetapi mengingat saat ini dia berada di perantauan maka. Au tak mau apapun pekerjaannya asal halal dan sanggup dikerjakan ya tentulah akan dia kerjakan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Faqih pun mengakhiri kisahnya, Rosyid masih terdiam untuk lebih memahami apa yang selama ini terjadi dengan orang yang kini duduk di hadapannya. "Sejujurnya aku turut prihatin mendengar apa yang kamu kisahkan barusan, terlepas dari apa yang sudah kamu alami selama ini, memang pada dasarnya hidup di tanah perantauan adalah sebuah hidup yang keras, namun pada dasarnya kita sebagai makhluk ciptaan Allah yang diberikan akal dan pikiran tentulah akan menerima segala yang terjadi itu sebagai bentuk ujian dari Allah, yang mana jika kita mampu bersabar menghadapinya maka akan banyak hikmah besar yang akan kita dapatkan. Pada hakikatnyalah bahwa setiap ujian berat dalam hidup merupakan Tar iyah dari Allah untuk menguatkan kita dan membuat kita siap berhadapan dengan ujian berikutnya." Rosyid berkata dengan lembut dan petuah lahan, dan sebisa mungkin dia tak ingin terlihat seperti tengah menggurui, niat di hatinya tak lagi bih hanya ingin menenangkan Faqih dan membuatnya lebih bijaksana lagi dalam menghadapi kejadian apapun yang akan ditemui olehnya kedepannya nanti. Sementara itu bagi Faqih sendiri, ucapan Rosyid itu laksana embun pagi yang menyegarkan kekeringan rohaninya, gurunya sendiri di Padepokan Emperyan. Eyang Pranajaya. Begitulah Faqih sebenarnya biasa memanggil gurunya, pendiri Padepokan Silat Emperyan. Demikian pula seluruh murid-murid Padepokan memanggil sang guru. Eyang Pranajaya dikenal sebagai sosok yang berapi-api, dan seakan tak menerima kata-kata pesimis dari murid-muridnya, semua murid di Padepokan Emperyan dituntut menjadi pribadi yang tangguh, pemberani dan selalu disegani kawan dan lawan. Faqih yang memang sebelum bergabung dengan Padepokan Emperyan sudah memiliki watak pemberani membuat apa yang menjadi wejangan gurunya malah semakin membuat dirinya kuat dan selalu menang dalam setiap pertarungan. Sebagai murid Padepokan Emperyan Faqih pun dinobatkan sebagai murid terbaik sekaligus murid kesayangan gurunya, hingga akhirnya dia memutuskan untuk merantau ke tanah kalimantan. "Malam ini, aku akan mengajak untuk bertemu dengan seseorang, kamu memang belum mengenalnya tetapi dia bisa jadi akan membuka jalan untuk menunjukkanmu siapa sebenarnya dirimu." Faqih mengiyakan saja kata-kata Rosyid, dia percaya kalau sebenarnya Rosyid memiliki niat yang baik, hingga apapun yang Rosyid katakan dan sarankan Faqih selalu mengiyakan. "Tapi sebelum berangkat menemui orang itu, kita akan ke rumah dulu. Ada sesuatu yang akan kubawa serta." Kembali Faqih mengiyakan. Sementara langit telah mengisyaratkan senja, rona merahnya mulai menguasai pesona warna biru di langit sana. Tentu sebentar lagi waktu maghrib akan segera tiba. Rosyid pun mengajak Faqih untuk pulang, mereka meninggalkan Taman Trpian Mahakam. Mobil pajero Rosyid menderu meninggalkan sungai Mahakam yang sarat dengan muatan legendanya. Sepanjang perjalanan Rosyid sesekali memperhatikan Faqih yang hanya terdiam, dan jelas sekali kalau Faqih seperti orang yang tidak fokus, dan seperti ada sesuatu yang dia tahanan, dan namun apa? Batin Rosyid hanya bisa bertanya-tanya tanpa ada jawab. Untuk bertanya langsung dia sungkan, khawatir kalau saat itu Faqih memang sebenarnya hanya sedang tak ingin diganggu saja. Faqih memang sedang tidak baik-baik saja. Sejak dirinya dan Rosyid meninggalkan Taman Trpian Mahakam dia merasa kepalanya terasa berat dan sedikit demi sedikit mulai terasa ada nyeri yang menyerang kepalanya semakin lama rasa nyeri itu semakin meningkat dan menjadi-jadi hingga sesekali Faqih tampak seperti meringis menahankan sakit di kepalanya, rasa sakitnya bagaikan ditusuk beratus-ratus jarum jahit. Sangat menyiksa. Sebisa mungkin Faqih berusaha kuat agar apa yang dia rasakan saat itu tak sampai diketahui oleh Rosyid. Ketika pajero hitam yang membawa mereka berdua tiba kembali di rumah dan memasuki gerbang setelah Mang Asep membukakan pintu gerbangnya, Tak bisa ditahan lagi Faqih mulai mengadub dan memegang kepalanya. Faqih turun dari pajero hitam dengan terhuyung-huyung. "Faqih? Kamu kenapa? Apa yang terjadi sebenarnya? Kamu sakit?" Rosyid melontarkan kata-kata beruntun, pertanyaan yang tak satu pun dia dapatkan jawabannya dari Faqih, malah kini Faqih sudah bergulingan di tanah berumput Jepang. Masih dengan posisi kedua tangannya memegang kepalanya sendiri dengan kuat. "Aku merasa ada hawa hitam aneh yang melingkupi tubuh pemuda ini, tapi bukan aura hitam yang selama ini kurasakan ada dan bernajng dalam tubuhnya. Ini pasti sebuah kiriman." Rosyid hanya bergumam memandangi Faqih yang masih bergulingan sementara otaknya bekerja keras berpikir tindakan apa yang harus diambilnya dalam keadaan ini." Rosyid baru saja hendak membaca doa-doa penangkal santet yang didapatkan dari gurunya, secara tiba-tiba Faqih seperti terlontar ke udara. Tubuhnya berputar dan dari mulutnya terdengar suara auman yang keras lagi mengerikan, bulu kuduk Rosyid maupun Mang Asep yang saat itu masih berdiri diteras rumah menjadi berdiri, mereka berdua menggigil. Untuk sejenak ada perasaan takut merasuk halus dalam diri mereka. Lalu terlihat tubuh Faqih terbanting ke tanah. Kemudian sesuatu yang sungguh aneh terjadi, Faqih bangkit dengan mudahnya dan berdiri seperti biasa, seakan tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. "Mas Rosyid dan Mang Asep tak perlu khawatir, karena saya baik-baik saja. Apa yang barusan terjadi tak perlu dibesar-besarkan." "Tapi Faqih, yang barusan itu ... Santet," Ada kekhawatiran jelas terasa dalam kata-kata Rosyid. Tetapi kini dia maklum, tanpa perlu Faqih jelaskan dia mulai bisa mener ka-neraka apa yang sebenarnya terjadi barusan pada diri Faqih hingga kini dia kembali terlihat segar bugar. Tentu saja Rosyid memjlih untuk diam dan kemudian menjadi ngajak Rosyid untuk masuk ke dalam rumah. "Mang Asep, silahkan kembali ke belakang. Jangan cerita pada siapa pun atas apa yang Mang Asep lihat barusan ya." Rosyid meminta Mang Asep untuk pergi sekaligus agar tutup mulut. "Iya, Den." Mang Asep berjalan cepat kembali ke belakang, kamar Mang Asep memang berada di belakang rumah, dekat taman dan Mang Asep berjalan menyusui pavilyun samping rumah. === Tubuh laki tua itu terhempas ke belakang menghantam dinding rumahnya yang hanya terbuat dari papan. Darah segar segera mengalir dari hidung dan mulutnya. Dia hanya mengeluh halus. "Mbah Gondo? Sampeyan nggak apa-apa, tapi Mbah?" Seorang pemuda dengan pakaian bagus setengah berdiri, dan bingung hendak be buat apa menyaksikan dukun yang disewanya secara tiba-tiba terpental. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Mbah Gondo berhasil menyingkirkan pada muda yang selama ini begitu dibencinya. Siapa lagi kalau bukan Faqih, pemuda biasa yang berhasil mendapatkan Annisa sang kembang desa pujaan hatinya, masih beruntung hubungan Faqih dan Annisa belum sampai ke jenjang pernikahan, dan dia merasa masih punya kesempatan untuk merebut Annisa dari Faqih. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD