***
Faqih melajukan sepeda motornya melintasi jalanan yang dipadati kendaraan yang berlalu lalang, karena antara pukul lima hingga pukul enam adalah waktunya bagi para pekerja di siang hari untuk kembali ke rumahnya dan bertemu dengan keluarganya. adapun pun bagi yang bekerja di malam harinya, mereka baru saja meninggalkan rumah menuju tempat mereka bekerja. Hal itulah yang maupun tak maupun membuat jalan raya pada sore hari jadi lebih ramai dibanding pada jam-jam kerja.
Masih untung Faqih mengendarai sepeda motor, jika dia menggunakan kendaraan roda empat bisa-bisa jam tujuh ataupun jam delapan malam baru bisa sampai kembali ke rumah Rosyid.
Bagi Faqih, nama baiknya bisa kembali saja dia sudah bersyukur, namun kabar baiknya kini dia bisa kembali bekerja di proyek tersebut sementara Mandor Salman dipecat oleh Pak Sofyan secara tidak hormat tanpa diberi gaji dan pesangon, mengingat bahwa Salman sudah banyak menggelapkan uang proyek, termasuk memotong secara sepihak gaji para pekerjanya tanpa sepengetahuan Pak Sofyan selaku Developer proyek tersebut.
Kalau Pak Sofyan maupun bersikap umumnya orang yang dikhianati sudah sepatutnya Salman dia laporkan kepada polisi, tetapi hal itu tidak pernah dilakukannya. Pak Sofyan percaya kalau apa yang sudah hilang itu akan diganti oleh Allah dalam bentuk lain yang berkali-kali lipat banyaknya dibanding nilai kehilangannya.
"As Salaamu 'alaikum." Faqih tiba di depan gerbang rumah Rosyid.
Tampak Mang Asep yang datang membukakan pintu pagar. Sekaligus menjawab salamnya.
"Pak Rosyid sudah pulang, Mang Asep?" tanya Faqih setelah dia memarkirkan sepeda motor di garasi.
"Sudah,Mas Faqih, sejak jam lima Beliau sudah di rumah." Mang Asep menjelaskan pada Faqih yang selanjutnya dia pamit untuk kembali ke dapur tempat dia biasa bekerja.
Faqih lantas masuk ke dalam rumah juga, mandi, berganti pakaian lalu bersiap dan berjalan keluar menuju musholla untuk bersiap menunggu waktu sholat maghrib.
***
Usai melaksanakan sholat isya berjamaah keduanya kembali duduk di teras rumah, dua gelas berisi kopi terhidang di meja.
"Alhamdulillah masalahmu akhirnya bisa berakhir dengan Pak Rudi, bahkan Beliau pun telah mengizinkan kamu untuk kembali bekerja di proyeknya, jujur saja aku turut senang mendengarnya, aku sepenuhnya yakin kalau kamu sama sekali tak bersalah dan mustahil mengambil uang p********n pasir yang tak seberapa besarnya itu, kamu pun tak perlu lagi khawatir akan tindakan balas dendam yang mungkin akan dilakukan oleh Salman. Dia sudah dipecat secara tidak hormat oleh Pak Sofyan, dan itu adalah ganjaran paling ringan yang diterimanya kalau mengingat kembali kesalahan-kesalahan yang pernah dibuatnya selama menjabat menjadi Mandor.
Btw kapan kamu akan berangkat pulang ke Jawa, Faqih?" tanya Rosyid.
Faqih merenung sebentar, lalu dia berkata menjawab pertanyaan Rosyid. "Seperti yang dikatakan oleh Mas Fendy dalam acara pengajian malam jum'at di rumahnya. Secepatnya aku harus kembali, maka besok siang aku akan berangkat setelah paginya aku menemui Pak Sofyan, untuk berpamitan sekaligus meminta izinnya, bahwa aku akan mulai bekerja kembali setelah aku pulang nanti dari Jawa."
"Itu bagus, bagaimana pun juga Pak Sofyan dan Pak Rudi sudah bersedia menerimamu kembali, jadi kalau kamu hendak izin dulu memang sebaiknya lapor agar tidak terjadi kesalahpahaman."
Keesokan harinya Faqih dengan mengendarai motor milik Rosyid melaju ke kantor Pak Sofyan. Dengan diantarkan oleh Pak Satpam Faqih sampai di pintu ruang kerja Pak Sofyan.
"Silahkan masuk, pintunya tidak dikunci," kata Pak Sofyan dari dalam yang saat itu masih terlihat sibuk menatap layar laptopnya.
Faqih membuka pintu.
"Oh kamu, Faqih, silakan duduk. Kok nggak langsung ke tempat proyek."
"Begini, Pak Sofyan. Saya sebelumnya berterima kasih karena Bapak dan Pak Rudi akhirnya menerima kembali saya bekerja di proyek yang Bapak tangani. Mudah-mudahan nantinya saya tidak akan menemui kendala dengan Mandor yang baru ...."
"Lho nanti dulu, memangnya Rosyid tidak cerita ke kamu?" Pak Sofyan memotong kata-kata Faqih.
"Cerita tentang apa, Pak?" tanya Faqih bingung.
"Wah payah Rosyid ini, saya sudah bilang pada Rosyid semuanya, kamu memang akan bekerja kembali di proyek itu tetapi bukan sebagai tukang seperti dulu."
"Maksud Bapak?" tanya Faqih yang malah semakin bingung.
"Kamu bekerja kembali di sana adalah sebagai Mandor yang baru untuk menggantikan Mandor yang lama, si Salman yang sudah dipecat itu. Proyek itu butuh seorang Mandor yang jujur. Bukan saja harus pandai dalam perhitungan semata. Dan kamu sudah punya modal itu, modal langka yang jarang dimiliki orang yang memiliki jabatan tinggi. Kalau soal ada hal-hal yang kurang kamu mengerti kamu bisa hubungi saya saja."
Faqih terbengong tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, dia memang sama sekali tak menduga kalau dialah justru yang akan diminta menjadi Mandor baru di proyek itu, sebuah jabatan yang selama ini tak pernah sedikit pun terlintas dalam bayangannya akan bisa dicapainya. Faqih cukup tahu diri, dia pertama kali ikut dalam proyek itu adalah hanya sebagai kenek semata, namun karena keuletannya belajar dari tukang-tukang di sana akhirnya dia dinaikkan menjadi tukang oleh Salman. Tetapi motif Salman menaikkan Faqih dari kenek menjadi tukang jelas bukan didasari niat yang baik. Sebenarnyalah Salman hanya ingin menguras gaji anak buahnya lebih banyak lagi.
Dan kini setelah dia baru saja merasa senang mengalami kenaikan dalam pekerjaan dan gajinya, dibalik kejadian yang menyakitkan yang menimpa dirinya dia malah mendapatkan rizqi yang lebih berlimpah lagi. Apalagi kini jika dia menjadi Mandor maka atasannya tak lain adalah Pak Sofyan yang dia sudah tahu betul akan sifat-sifatnya.
"Saya sangat senang dengan kepercayaan yang bapak berikan kepada saya. Saya sama sekali tak menyangka dan menduga akan mendapat anugerah ini."
"Sudahlah, Faqih. Ini semua sudah ada garisannya di langit. Ini sudah jadi jalan rizqimu, buah dari ketekunan dan kesabaranmu, dan yang terutama adalah karena kejujuranmu. Kamu mau kan menjadi Mandor menggantikan Salman?"
"Tentu saja saya mau, Pak. Akan tetapi...."
"Kenapa? Soal gaji? Tenang saja. Gajimu akan kuda akan dengan gaji Salman dulu, dan kedepannya jika kulihat kinerjamu semakin bagus maka akan kita bahkan lagi."
"Sekali lagi terima kasih, Pak. Tapi bukan soal itu alasan kedatangan saya kemari." Faqih bimbang juga untuk mengatakannya, dia takut Pak Sofyan akan kecewa dan marah, menganggapnya banyak tingkah jika dia meminta izin cuti sekedar beberapa hari ke muka.
"Kalau bukan soal gaji, lantas soal apa?" Pak Sofyan menunggu apa yang hendak dikatakan oleh Faqih.
"Saya izin untuk kembali ke Jawa menemui guru saya, ada masalah pribadi yang harus saya selesaikan dengan Beliau, dan ini sifatnya penting sekali, Pak." Faqih diam menunggu jawaban dari Pak Sofyan.
"Oh rupanya cuma soal itu. Ya nggak apa-apa, proyek bisa diliburkan sementara kok. Kira-kira berapa lama kamu akan mengambil izin cuti pulang ke Jawa?"
"Paling lama seminggu, Pak. Akan tetapi jika sebelum seminggu saya sudah menyelesaikan urusan saya maka saya akan segera secepatnya kembali, karena saya sadar bahwa bagaimana pun juga proyek ini punya tenggat waktu yang harus diburu untuk selesai."
"Soal tenggat waktu itu memang benar, tapi urusanmu kan juga penting, jadi fokus saja dengan urusanmu sendiri selama di sana, karena kalau pikiranmu te pecah memikirkan pekerjaan di sini, bisa-bisa urusanmu di sana malah tambah mengukur waktu."
"Jadi saya diizinkan untuk izin cuti, Pak?"
"Ya aku izinkan." Pak Sofyan membuka laci mejanya. Mengambil sebuah amplop coklat kecil yang masih kosong, lalu memasukkan uang yang diambil ya dari dalam laci yang nilainya mencapai lima juta rupiah ke dalam amplop coklat.
"Ini sekedar uang buat transport dan oleh-oleh buat kamu berikan kepada keluargaku di desa. Tak banyak, tapi mudah-mudahan cukup membantu meringankanmu. Ini bukan hutang, saya berikan cuma-cuma. Tapi ingat kata-katamu tadi. Kalau urusanmu selesai segeralah kembali lagi ke sini. Bisa ka?" tanya Pak Sofyan.
Faqih seakan hendak menangis menerima pemberian dari Pak Sofyan yang tak diduganya itu, dia menganggur tanda menyetujui apa yang baru saja dikatakan oleh Bosnya.
Faqih lantas berpamitan kepada Rosyid ke Kantornya, kemudian dia pulang ke rumah Rosyid untuk mengembalikan sepeda motor Rosyid yang dipinjamnya. Dia mengambil tas lalu pamitan pada Pak Asep. Dengan ojek Faqih berangkat menuju ke rumah Kyai Rahman. Kyai Rahman sudah mengatakan kalau dia bersedia mendampingi Faqih dari berangkat sampai kembali lagi ke Samarinda.
Sepeda motor itu akhirnya tiba di depan rumah Kyai Rahman.
Faqih membayar ongkos ojek. Ojek itu pun pergi.
Faqih memasuki halaman rumah Kyai Rahman, sesampainya di depan pintu dia pun mengucapkan salam.
Terdengar jawaban dari dalam menjawab salamnya, suaranya sangat khas dan itu dikenal Faqih sebagai suara Kyai Rahman.
Pintu rumah terbuka, kedatangan Faqih langsung disambut oleh Kyai Rahman sendiri yang langsung memeluknya.
"Kalau kulihat dari penampilanmu ini, jelas sekali kamu sudah siap untuk berangkat ke tanah Jawa. Silahkan duduk dulu, nggak terburu-buru kan? Kita bisa ngobrol sebentar sambil ngopi."
"Terima kasih, Kyai." Faqih melangkah masuk, meletakkan tasnya di sisi kursi dan dia duduk di kursi itu.
Kyai Rahman masuk ke dalam untuk membuatkan dua gelas kopi, lalu dihidangkannya kopi itu di meja.
"Soal masalahmu bagaimana? Aku ingin sekali mendengar kisahnya." Kyai Rahman berkata sambil menggeser kursi untuk didudukinya.
Faqih kemudian menceritakan apa yang sudah dilakukan oleh temannya, Rosyid sejak pertama kali menghadap Pak Sofyan hingga dipecatnya Salman sebagai Mandor karena terbukti telah sering kali melakukan penggelapan uang proyek dan pemotongan dengan paksa gaji pekerjanya.
Terakhir Faqih menceritakan kunjungannya ke kantor Pak Sofyan barusan untuk izin cuti, di mana saat itu dia mendapat kabar menggembirakan kalau diterimanya dia bekerja kembali di proyek Pak Sofyan bukan hanya semata kembali bekerja sebagai seorang tukang, melainkan dia dinaikkan jabatannya menjadi Mandor menggantikan Salman yang dipecat oleh Pak Sofyan dengan tidak hormat.
Kyai Rahman tak menyangka kalau kejadiannya bisa seperti itu, bahkan kini dengan adanya musibah yang dialami oleh Faqih malah semakin mengangkat derajatnya.
"Di dalam Al Qur'an Allah Swt berfirman, dan mohonlah pertolongan Allah dengan kesabaran dan sholat. Dan hal itu terbukti kini. Buah dari kesabaranmu selama ini menghadapi sikap Salman yang buruk itu, akhirnya Allah mengangkat derajatmu, dan Salman sendiri sudah mendapatkan ganjarannya di dunia.
Teruslah perbaiki dirimu dan tingkatkan ketaqwaanmu kepada-Nya. Kita takkan pernah tahu kejutan demi kejutan apalagi yang Allah akan persiapkan untuk kita jika kita menjadi pribadi yang taqwa. Namun ketaqwaanmu haruslah dibangun dengan pondasi keikhlasan, bukan karena pamrih duniawi semata. Karena tanpa hal itu pun di dunia kamu akan mendapatkan juga bonusnya."
Faqih mendengarkan dengan khusyuk apa yang disampaikan Kyai Rahman, karena memang Faqih pun tahu kalau apa yang disampaikan oleh Kyai Rahman memang sebuah kebenaran.
Kini dia sudah cukup tenang meninggalkan tanah Kalimantan, segala urusannya telah selesai dan berakhir baik. Kini dia bersiap menempuh ujian baru dalam hidupnya. Yaitu dengan melawan gurunya sendiri yang semakin jauh terperosok dalam lembah dosa dan kehinaan, yang diakibatkan ambisi dan keserakahannya.
Faqih pun akan kembali bertemu dengan Annisa kekasihnya, untuk mendapatkan kejelasan hubungan mereka yang sudah terputus kontak selama lima tahun terakhir.
Dan satu lagi, seorang lawan sebahanya yang selalu memiliki sifat hasud terhadapnya, yang tak lain dan tak bukan adalah Bagas.