Bab 18

1140 Words
"Tidur, mau sampai kapan duduk?" tanya Raja karen Kanaya terus duduk di sampingnya, padahal jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Kanaya menggeleng, lalu dia menunjukan layar ponselnya pada Raja. [Kita pulang.] Raja berdecak. "Asam lambung gue lagi naik dan lagi gue gak bawa mobil, pake motor ke sini, lo ngerti gak sih?" tegasnya. Raja kemudian bangkit. "Tidur gak, kalau gak kita malam pertama ayok!" ancamnya. Mata Kanaya langsung membukat, ia menggeleng dengan cepat. "Makanya, tidur, kalau gak, gue gas nih!" tegas Raja. Takut dengan ancaman suaminya yang terlihat serius, akhirnya Kanaya menurut, ia segera merebahkan tubuhnya di kasur, lalu ia letakan bantal guling di sampingnya. Raja berdecak kesal, lalu ia ambil bantal guling itu dan melemparnya ke lantai. "Engh!" ucap Kanaya. "Apa, lo lihat kasur ini ukuran berapa, 120, sempit tau!" ujarnya sebelum ia rebahkan tubuhnya di sebelah sang istri. "Gak usah protes, terlepas kontrak sialan yang lo buat, kita ini sah suami istri, agama dan negara. Gua gak mau lo kena dosa!" Kanaya yang berniat protes, seketika terdiam. Apa yang dikatakan Raja menarik hatinya. Jika Kanaya pikir kembali, Raja sebenarnya cukup perhatian. Akhirnya, Kanaya menyerah, ia gerakan tubuhnya dengan pelan untuk menyamping dan tidur membelakangi suaminya. Perlahan gadis itu menghela napasnya, lalu memejamkan matanya. Sementara Raja, pria itu terus membuka matanya. Jantungnya berdebar cepat, darahnya berdesir. Di sampingnya, tidur tubuh istrinya yang menurutnya cukup seksi dalam balutan kemeja putih yang kebesaran. 'Sial, gue konak lagi, gue paksa dia marah gak ya?' batin Raja. Sungguh, Raja ingin sekali memaksakan haknya atas sang istri. Namun, hatinya masih terasa berat, tidak tega. Apalagi selama ini dia dan para pacarnya meski belum pernah sampai making love yang sebenarnya, hanya foreplay atau sekedar blow job, itu dilakukan oleh para kekasihnya secara sukarela, tidak pernah ada paksaan. Malam kian larut, detik jam terus berganti. Suara detakan jarum jam itu terdengar begitu jelas di telinga Raja. Sementara pria itu yakin kalau seseorang di sebelahnya sudah terlelap. 'Sial, gak tahan gue,' batin Raja. Apalagi, tiba-tiba Kanaya berbalik menghadap padanya. Susah payah Raja menelan paksa salivanya. 'Dikit boleh kali, ya?' batin Raja. Pria itu mulai memberanikan diri mendekati wajah istrinya. Pertama, ia kecup kening Kanaya dengan sangat hati-hati. Raja melihat ke arah wajah istrinya yang tampak tetap tenang. 'Wah,' batinnya. Alhasil, karena Kanaya tampak tak terusik, Raja memberanikan diri untuk melakukan hal lebih lagi dan tetap ia lakukan dengan hati-hati. 'Gak dosa, kan gue nyuri punya sendiri,' batin Raja. Beberapa saat kemudian, Raja menyudahi aksinya. 'Sial, makin tegang aja nih adik gue,' batin Raja. Pria itu kemudian bangkit dan masuk ke dalam kamar mandi untuk mengakhiri hasratnya malam ini. *** Kanaya membuka matanya perlahan saat ia mendengar suara azan berkumandang. 'Sudah subuh,' batin Kanaya. Hingga kemudian, Kanaya menyadari sesuatu. Matanya begitu dekat dengan kulit seseorang. Bahkan, hidung mancungnya menempel langsung ke kulit putih kecoklatan di depannya. Kanaya memejamkan matanya, ia ingat semalam dirinya yang begitu anti dekat dengan suaminya. Namun apa yang terjadi sekarang? Dia lah yang justru memeluk Raja. Perlahan, Kanaya melepas pelukannya pada sang suami, dengan sangat hati-hati agar dia tidak ketahuan memeluk pria itu. "Lap dulu air liur lo di d**a gue!" ujar Raja tiba-tiba tanpa membuka matanya. Kanaya langsung membulat matanya, ia begitu terkejut dengan suara Raja. Lalu, ia bangkit menatap pada d**a pria itu. Dengan kesal, Kanaya langsung memukul Raja dengan bantal, tidak ada air liur di sana. Kanaya segera bangkit dan pergi ke kamar mandi. Raja pun tertawa, ia senang mengerjai istrinya. "Coba dia bisa ngomong, pasti seru abis ngerjain dia," gumamnya. Pria itu menghela napasnya panjang. "Ah, tidur lagi sejam lah, sial ngantuk banget gue." Sementara itu di kamar mandi. Kanaya begitu malu karena ketahuan memeluk Raja saat tidur. 'Lebih baik aku mandi, sepertinya bajunya udah kering,' batin Kanaya, ia memeriksa dress miliknya yang ia gantung di kamar mandi. 'Yah, masih basah,' batin Kanaya. Gadis itu kemudian berpikir, tak ada mukena di tasnya karena semalam ia pikir akan pulang ke kosannya bersama Luna. 'Gak bisa sholat, gak mungkin juga aku ke Mushola pakai baju seperti ini?' batin Kanaya. Kanaya memilih untuk mandi lebih dulu. Baru nanti ia pikirkan bagaimana caranya dia bisa salat subuh nanti. 'Eh, ada nyamuk ya?' tanya Kanaya di dalam hatinya saat dia melihat ada satu tanda merah kecil di lehernya. Gadis itu memilih mengabaikan hal itu dan segera membersihkan tubuhnya. Sekitar 10 menit kemudian, Kanaya keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit rambutnya. Masih mengenakan kemeja suaminya, Kanaya membangunkan Raja. "Apa sih, gue ngantuk, semalaman gak bisa tidur gue," ujar Raja kesal. Kanaya kemudian menunjukkan layar ponselnya. [Tolong ke Mushola depan, pinjamkan mukena.] Raja mengernyit. "Apa, Mushola?" tanya pria itu. Kanaya mengangguk, ia kembali mengetik sesuatu di layar ponselnya. [Aku mau sholat subuh, gak bawa mukena.] Raja berdecak. "Libur dulu sholatnya, Allah Maha Tau," ujarnya. Kanaya menggeleng, ia terus mengguncang bahu suaminya dan menatap pria itu dengan penuh permohonan. Raja pun menyerah, ia menghela napasnya panjang. "Berisik banget sih, iya, iya gue carikan!" ujarnya dengan nada kesal. Akhirnya Raja pun bangun, dengan terpaksa ia pergi ke kamar mandi untuk mencuci mukanya, lalu segera memakai kaosnya. "Gue ambilin, tapi gak ada yang gratis, lo harus bayar nanti," ujar Raja sebelum pria itu keluar dari kamar kos itu. "Ba-bayar?" gumam Kanaya. 'Bayar apa?' batinnya. Setelah kepergian Raja, Kanaya ingat dia harus meminta sesuatu. Gadis itu lalu mengetik pesan pada layar ponselnya untuk ia kirim pada sang Ibu dan meminta Mama Kinanti untuk mengantarkan pakaian ganti untuknya, ia juga menceritakan apa yang terjadi semalam. 'Mas Andreas,' batin Kanaya, ia menatap lekat pada dinding di depan kasur, dinding pemisah kamar Raja dan Andreas. Sejujurnya, Kanaya belum bisa melupakan Andreas. Apalagi setelah apa yang Andreas katakan padanya kemarin. 'Kalau gadis itu bukan siapa-siapanya Mas Andreas, aku juga bukan,' batin Kanaya, wajahnya sendu. Sungguh, Kanaya bingung dengan perasaan Andreas terhadapnya karena pria itu tidak membalas pernyataan cintanya, tetapi kenapa Andreas harus menjelaskan siapa Ranti padanya, jika memang Andreas tidak memiliki perasaan cinta untuknya, untuk apa pria itu repot-repot menjelaskan yang sebenarnya padanya, itu yang dipikirkan Kanaya sekarang. Sementara itu di Mushola, Raja baru saja mendapatkan mukena yang ia ambil dari sebuah lemari di bagian tempat salat wanita, pria itu melihat ke sekelilingnya, khawatir dinilai salah oleh orang yang melihatnya. Merasa aman, Raja pun keluar dari Mushola itu. "Bawa apa itu?" Raja begitu terkejut karena seseorang menegurnya. Pria itu pun berbalik, lalu menyembunyikan mukena di tangannya ke belakang tubuhnya. "Andreas, eh dokter Andreas," ucap Raja. "Kau ambil apa dari Mushola ini?" tanya Andreas. Raja menggeleng. "Nothing," jawabnya. Andreas mengernyitkan dahinya. Ia yakin, ada mukena di tangan yang disembunyikan oleh Raja. "Untuk siapa mukena itu?" tanya Andrea. "Apa, mukena apa?" tanya Raja, ia mengelak. Andreas berdecak, ia berniat mengambil alih mukena di tangan yang Raja sembunyikan, tetapi Raja dengan cepat menghindar. "Buat siapa Mukenanya, kau laki-laki, gak mungkin pakai itu, kan?" tanya Andreas. "Ya gak, lah," jawab Raja dengan tegas. "Lalu, buat siapa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD