BAB 5

1075 Words
Rollerd memilih menginap dirumah Galders. Rollerd bisa saja menginap di hotel miliknya atau di mansion milik putranya Betrand, namun karena mansion begitu sepi dan hanya ada beberapa maid serta bodyguard, hal itu membosankan bagi Rollerd, apalagi esok hari ia akan berangkat kembali ke Perancis untuk mengurus bisnisnya yang sudah berkembang pesat di sana, jadi Rollerd memilih untuk menghabiskan waktu bersama sahabat lamanya, Galders. Ketika sedang menikmati secangkir kopi hangat di malam hari, ponsel Rollerd berdering dan telpon itu dari Betrand putranya. "Putraku menelpon, Gardels." "Angkat saja. Katakan jika dia punya kesempatan dia bisa sekalian kemari," kata Galders. "Helo?" "Daddy dimana? Kenapa Daddy tak di mansion?" tanya Betrand di seberang telpon. "Daddy sedang di rumah Galders. Daddy memilih menginap di sini," jawab Rollerd. "Rumahnya ‘kan kecil, itu tak akan baik untuk kesehatan Daddy." "Jangan seperti itu, Daddy lebih nyaman di sini karena Galders sudah Daddy anggap saudara." "Ya sudah." Betrand agak kesal. "Apa kamu punya waktu? Mampir lah kemari, Galders dan Amberson merindukanmu." "Buat apa aku kesana, rumahnya sangat kecil, kamar mandi di mansion lebih luas di bandingkan rumah mereka, pasti sesak rasanya." "Jangan begitu, Nak." "Ya sudah. Besok aku akan menjemput Daddy." Betrand mengakhiri telpon dan melemparkan ponselnya ke sembarangan tempat, karena kesal mengingat ayahnya memilih menginap dirumah sahabatnya di bandingkan bersama anaknya, sedangkan Rollerd sangat jarang ke New York. "Whats wrong, Honey?" tanya wanita yang berada di samping Betrand dengan gaun malam yang tipis. "Bukan urusanmu!” jawab Betrand. “Aku pasrah, kamu saja yang bekerja keras, aku sedang tidak mood." "Tenang saja, Honey. Kau tak akan pernah melupakan kejadian malam ini," bisik wanita itu sembari membuka jubah mandi Betrand. **** "Ada apa, Rollerd? Dimana Putramu?" tanya Galders. "Dia lagi sibuk, Dia tak bisa ke sini." "Apa yang di katakannya, kenapa wajahmu seperti itu?" tanya Amberson. "Aku bingung kepada putraku, Galders. Semenjak ibunya meninggal dia jadi berubah drastis." "Perubahannya seperti apa?" "Pokoknya nanti akan ku ceritakan. Dia seperti putra yang tak ku kenal." "Mungkin putramu masih merasa kehilangan maminya," sambung Amberson. "Sampai sekarang pun, aku juga belum bisa melupakan istriku, meskipun sudah hampir dua tahun kepergiannya," kata Rollerd dengan wajah sedihnya. "Sabar, Rollerd. Kami juga ‘kan adalah keluargamu." "Kita harus menjodohkan putra putri kita seperti yang dulu kita rencanakan," kata Rollerd membahas masa lalu sewaktu Mereka masih tinggal di California. "Nanti akan saya bicarakan kepada Carolyne," kata Amberson. "Baiklah. Kita semua sudah tua, saatnya untuk meminang cucu, bukan?" Mereka lalu tersenyum bersamaan. **** Satu tahun kemudian … Betrand sudah bekerja di perusahaan ayahnya–Max Corp–Perusahaan minyak terbesar seluruh dunia, ia bekerja sebagai pemilik sah di perusahaan yang sekarang ia dalami. Setelah lulus kemasteran, semuanya berubah, Betrand selalu fokus dalam bekerja dan menyempatkan waktunya untuk menghibur diri dengan wanita yang siap tidur dengannya. Tak ada lagi nama Carolyne di pikirannya, ia sudah mengubur Carolyne begitu dalam. Sekarang Rollerd sedang di rawat di rumah sakit London, beliau sudah menghabiskan waktunya di London selama delapan bulan belakangan ini. Betrand selalu menjenguk ayahnya dengan menggunakan pesawat pribadi miliknya. Setelah melihat kondisi ayahnya membaik Betrand kembali ke New York untuk mengurus pekerjaan yang begitu menumpuk. Ponselnya berdering dan telpon itu dari perawat pribadi yang sengaja Betrand sewa untuk menjaga ayahnya 24 jam. "Ada apa?" tanya Betrand seraya beranjak dari kursi kebesarannya. "Ayah anda memanggil anda agar segera kemari, Tuan muda." "Apa ayahku baik-baik saja?" "Semalam penyakit beliau kambuh lagi, Tuan muda." "Baiklah. Saya akan kesana sekarang juga." Betrand mengakhiri telpon, mendial nomor telpon seseorang. "Siapkan pesawat pribadi sekarang juga," kata Betrand seraya melangkah keluar di ikuti Marvel–asisten pribadinya–, serta dua bodyguard yang selalu siap menemaninya. Supirnya membukakan pintu mobil untuk Betrand. Ia pun langsung memasuki mobil dengan perasaan gelisah dan khawatir karena biasanya perawat tak akan menelponnya jika tak terjadi sesuatu. "Tuan, ada telpon," kata Marvel. "Dari siapa?" "Dari Tn. Lauwer." Betrand lalu menerima ponselnya dari tangan Marvel. "Ada apa?" tanya Betrand agak dingin. "Tuan dimana? Meeting se–" "Ada hal yang penting yang harus saya kerjakan selain meeting, Batalkan meetingnya." "Tapi–" "Tapi apa? Ikuti perintah dan jangan banyak bicara jika kamu masih menyukai pekerjaanmu Tn. Lauwer!" Betrand melempar ponselnya ke Marvel yang duduk di depan dekat pengemudi. "Jika ada telpon dari kantor, kamu handle saja semuanya." "Baiklah, Tuan." Marvel menunduk karena merasa bersalah, tak ada yang penting bagi Betrand selain ayahnya. **** Carolyne kini tengah mencari pekerjaan lewat koran yang sudah menjadi langganannya setiap hari. Sudah berminggu-minggu setelah wisuda, namun wanita cantik itu belum juga mendapatkan pekerjaan. "Hei, Carolyne," sapa Laurent yang baru saja memasuki rumah dan melihat Carolyne sedang bergelut dengan setumpuk koran. "Ya?" jawab Carolyne tak bersemangat. "Jangan bilang kamu belum mandi sejak kemarin?" "Kalau iya … kenapa?" "Aduh, Car. Mencari pekerjaan memang penting, tapi mandi juga penting loh," kata Laurent, seraya menggeleng. "Mandi bisa belakangan. Apa kau sudah mendapatkan pekerjaan?" tanya Carolyne. "Sudah." "Dimana?" "Toko Roti." "What? Toko roti? Hello, Laurent, kita ini sarjana, apa tidak ada pekerjaan kantoran gitu? Kok toko roti?" "Aku itu tidak milih-milih pekerjaan, Carolyne. Tidak kayak kamu, yang penting bagiku bukan persoalan kerjanya dimana sesuai apa tidak, tapi yang terpenting itu aku harus bayar kost dan aku butuh uang." "Terserah kamu deh, aku mau mencari pekerjaan yang lebih sesuai dengan sekolah kita, sayang donk kita sudah kuliah lama dan hasilnya tetap kerja di toko roti," lata Carolyne. Sesaat kemudian suara bel pintu terdengar. Laurent mengintip dari balik tirai. "Siapa?" "Allerd." "What? Buat apa dia kemari?" "Aku tidak tahu, kamu buka saja," jawab Laurent, mengangkat kedua bahunya. "Malas." "Bukain saja, Car," "Ya sudah," kata Carolyne seraya beranjak dari duduknya. "Dengan wajah seperti itu?" "Emang wajahku, kenapa?" "Aduh, Carolyne … apa kamu tidak bercermin? Kamu sudah mirip zombie loh." Laurent terkekeh. "Ahh … aku tidak perduli," kata Carolyne dan tetap membuka pintu rumahnya, lalu melihat Allerd tengah duduk. "Ada perlu apa kamu kemari?" tanya Carolyne agak sinis dan duduk di samping Allerd. "Sekarang kamu kerja di mana?" "Masih mencari." "Kebetulan aku kemari, ada pekerjaan buat kamu," kata Allerd. Carolyne mendongak, menatap Allerd. "Apa?" "Jadi sekretarisku, mau?" "Apa? Jadi sekretarisnya dia? Sekretaris sang mantan? Tapi aku emang butuh kerjaan....apalagi Daddy ingin pergi ke London menjenguk Uncle Rollerd," batin Carolyne. "Kenapa kamu diam saja?" "Ha? Oh .... Aku sedang berpikir," jawab Carolyne. "Kamu sedang memikirkan apa?" "Tawaran kamu." "Daripada tidak ada pekerjaan dan kamu di rumah terus, mending jadi sekretarisku." "Aku mikir dulu, ya, Lerd." "Baiklah, kamu bisa mengabariku, kalau begitu aku permisi," kata Allerd, pamit dan pergi menggunakan mobil BMW miliknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD