"Kau ...," tunjuk Evan pada Lia yang masih ternganga mendengar perkataan Evan barusan.
"Cepat kau persiapkan dia menjadi pengantin penggantiku! Lakukan sebaik mungkin kalau tidak ...." Evan menyeringai membuat Lia bergetar ketakutan.
"Ba-baik, baik, Pak. Saya akan lakukan yang terbaik," sahut Lia cepat sebelum Maira sempat bereaksi.
"Nggak. Aku nggak mau. Kenapa aku harus menjadi pengantin pengganti Mama? Aku nggak mau," tolak Maira sambil berusaha melepaskan pegangan Lia dari pundaknya. Jelas saja ia tidak mau, masa' ia harus menjadi pengantin pengganti calon ayah tirinya sendiri. Apa kata orang nanti?
"Baiklah kalau kau tidak mau. Kau punya dua pilihan. Pertama, kembalikan semua uang yang sudah ibumu ambil. Nominalnya 100 juta. Itu belum termasuk perhiasan dan lain-lain," ucap Evan membuat mata Maira seketika membulat.
"A-apa? 100 juta?" Maira seketika tergagap mendengar nominal uang yang dilarikan ibunya sangatlah banyak.
"Ya. Mamamu meminta mahar uang 100 juta, ditambah seperangkat perhiasan dan logam mulia. Yang bila ditotal nilainya 50 juta."
Tungkai Maira sontak melemas. Ia benar-benar tidak menyangka kalau ibunya bisa melarikan uang Evan sebanyak itu.
"La-lalu yang kedua a-apa?" tanya Maira berharap ada celah baginya untuk menolak pernikahan itu.
"Yang kedua, aku akan melaporkanmu dan ibumu ke polisi dengan pasal penipuan. Silakan pilih, kau mau yang pertama atau kedua?" ucap Evan tegas.
"Apakah tidak ada pilihan lain?" tanya Maira dengan mata berkaca-kaca.
"Pilihan lain hanyalah menikah denganku. Kau harus menjadi pengantin pengganti untuk menggantikan ibumu. Waktumu tidak banyak. Aku hitung sampai tiga, tentukan keputusanmu. Satu ...." Evan menjeda kalimat selanjutnya. Menunggu reaksi Maira.
"Dua ...," lanjut Evan.
"Mai, sudah, lebih baik mau terima. Daripada kau harus mengganti uang itu. Memangnya kau bisa mendapatkan uang itu dari mana? Kalau kau memilih yang kedua, lalu bagaimana dengan nenekmu?" bujuk Lia yang juga khawatir dengan masa depan Maira bila ia dipenjara. Pun dengan nasib nenek Maira.
"Ti---"
"Baik. Baik. Aku ... bersedia. Aku ... akan menikah dengan Om," putus Maira terpaksa. Tak ada jalan lain. Ia benar-benar terpaksa. Ia harus tetap bekerja demi sang nenek yang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit.
Mendengar keputusan Maira, Evan pun menyeringai.
*
*
*
Waktunya ijab kabul pun telah tiba. Sejak tadi, Evan dan keluarganya telah berkumpul di masjid yang tak jauh dari kediaman Maira. Namun, Maira belum datang juga.
"Van, benar kamu nggak mau pernikahan kamu dipestakan? Kamu itu seorang pemimpin perusahaan lho, masa' pernikahan kamu begini saja?" ujar Nastiti–ibu kandung Evander. Bagaimana tidak, Evander adalah seorang pemimpin perusahaan Vander Grup, bukankah biasanya pemimpinnya perusahaan akan merayakan pesta pernikahannya besar-besaran, tapi Evan justru hanya mengadakan acara sangat sederhana. Mereka hanya menikah di penghulu. Pernikahan mereka memang resmi secara negara, tapi Nastiti jelas ingin sekali merayakan pesta pernikahan anak sulungnya itu sama seperti ia merayakan pesta pernikahan anak keduanya dulu–Naysila.
"Mama 'kan tahu, aku tidak suka keramaian," ujar Evan lembut.
"Ya, tapi nggak begini juga, Van. Mana Mama belum pernah bertemu calon istri kamu. Ini kamu beneran mau nikah 'kan? Bukan asal mau nge-prank doang? Soalnya calon istri kamu belum datang juga," ujar Nastiti.
"Iya, nih, Kak. Calon istri Kakak mana sih? Lelet banget. Aku udah kepanasan nih," sela Naysila sambil mengibaskan tangannya di depan wajah seolah sedang kepanasan.
"Kamu manusia 'kan? Bukan setan? Ini masjid. Ada kipas angin, masa' masih kepanasan," lirih Aidil pelan di dekat telinga Naysila.
Naysila pun menoleh seraya mendelik. "Apa-apaan sih kamu, Mas? Ngomongnya kok gitu banget? Jadi kamu anggap aku setan apa?" geram Naysila.
Aidil mengedikkan bahunya. Ia tidak peduli Naysila mau marah atau apa. Melihat Aidil yang acuh tak acuh, ia pun hendak kembali membuka mulutnya. Namun, Haidar–ayah kandung Evan dan Naysila dengan cepat menyergah.
"Kalian bisa diam tidak? Malu," lirih Haidar dengan tatapan tajamnya.
Naysila mengatupkan mulutnya. Ia kesal bukan main. Tak lama kemudian, Maira pun muncul ditemani Lia dan dua orang wanita yang merupakan tetangganya. Naysila dan Nastiti sampai ternganga melihatnya.
"Van, serius itu istri kamu?" ucap Nastiti.
"Kak, dia ... beneran calon istri Kakak?" Naysila ikut bertanya. Bagaimana tidak, Maira terlihat masih sangat muda. Mereka yakin, perbedaan usia keduanya pasti sangat jauh.
"Ya," jawab Evan singkat sekali sebab pandangannya kini sedang terpaku pada sosok Maira yang terlihat sangat cantik. Dengan mengenakan kebaya berwarna putih gading, rambut ditata sedemikian rupa, dan make up minimalis, membuat ia terlihat begitu anggun. Sangat berbeda dengan Maira yang pagi tadi ia temui.
Diam-diam, sudut bibirnya terangkat samar.
Melihat keluarga Evan, Maira yang sejak tadi gugup, kini semakin gugup. Bahkan telapak tangannya sudah sedingin es. Lia yang merasakannya pun segera menggenggam tangan Maira agar gadis malang itu bisa kembali merasa tenang.
"Tenanglah, Mai! Berdoalah dalam hati, semoga semua baik-baik saja," bisik Lia.
Maira mengangguk pelan. Namun, sudut matanya terlihat sekali tak tenang. Dalam hati, ia terus berharap ibunya tiba-tiba datang dan menyelamatkannya.
Namun, hingga kalimat sakral terucap, apa yang ia harapkan tetap tidak terjadi. Setetes air mata jatuh di pipi. Ia sedih, mengapa ibunya melakukan itu katanya? Mengapa ia yang harus menanggung perbuatan sang ibu? Tidak cukupkah ibunya menelantarkan ia selama ini? Lalu, sekarang ia pun harus menanggung perbuatan ibunya yang lari di hari pernikahan dengan membawa uang dan perhiasan pemberian calon suaminya. Ia terpaksa menjadi pengantin pengganti. Ia terpaksa menikahi calon ayah tirinya.
"Mengapa dunia ini sangat tidak adil, Tuhan? Kenapa kau berikan aku derita yang tak berkesudahan? Tidak cukupkah penderitaanku selama ini? Tidak cukupkah aku harus menanggung apa yang bukan kesalahanku? Bukan salahku, aku lahir di luar nikah. Bukan salahku, ayahku tidak mau bertanggung jawab. Bukan salahku, ibuku meninggalkan pernikahannya. Tapi kenapa ... kenapa selalu saja aku yang harus menanggung segalanya? Sampai kapan, Ya Tuhan? Sampai kapan? Sampai kapan aku harus menanggung segala kepedihan ini? Sampai kapan?" Maira meneteskan air mata tepat di saat ia diminta mencium punggung tangan Evan. Air mata jatuh di punggung tangan Evan membuat laki-laki itu tiba-tiba berdesir.
Setelah mencium punggung tangan Evan, Maira juga diminta sungkem kepada kedua orang tua Evan.
Nastiti yang melihat wajah sendu Maira pun mengusap pipinya dan memeluknya.
"Selamat ya, Sayang. Semoga pernikahan kalian sakinah, mawadah, dan warahmah," ucap Nastiti tulus.
Maira tidak yakin dengan pernikahannya ini, namun tak pelak ia mengucapkan kata aamiin.
Setelah menyalami Nastiti, Maira juga menyalami ayah mertuanya–Haidar. Lalu disusul Naysila dan Aidil yang kini sedang menatap Maira tanpa ekspresi.