Kritik Pedas?

1469 Words
Lizzie melepaskan seluruh pakaiannya yang basah gara-gara hujan-hujanan. Berkeliaran kesana kemari hanya dengan celana dalamnya saja, mencari-cari pakaian yang nyaman dia kenakan di rumah. Dengan earphone tersemat ditelinga Lizzie jatuh kedalam pemikirannya sendiri. Berkonsentrasi tinggi dengan memulai sebuah goresan skestsa di kertas gambar berukuran A3 yang disandarkan pada penyangga kanvas. Sedikit demi sedikit memproses ulang karyanya. Lizzie sempat melirik ke arah ponselnya yang tergeletak dekat dengan kotak rokok, menatapnya lekat teringat dengan kartu nama yang Daxon berikan. Pelan-pelan gadis itu meraih kertas itu dan tanpa sadar dia menekan sejumlah nomor diponselnya, menyimpannya dengan nama ‘calon pusat’. “Untuk awal baru yang lebih positif,” komentarnya setelah berhasil menyimpan nomor si om tampan di ponselnya. Tak berselang lama, tiba-tiba ponselnya berdering. Lizzie menaikan sebelah alisnya sebelum akhirnya menggeser tombol hijau, “Halo? Dr. Pixys?” “Lizzie, aku lega kau menganggat teleponku,” kata pria itu dari ujung telepon. “Ini tentang pertunjukan seni yang akan diadakan di pusat kota. Aku berhasil memberimu tempat untuk karyamu di galeri. Bawa karya terbarumu ke kantorku minggu ini agar aku bisa memberikan penilaianku lagi—” “Serius?!” potong Lizzie sumringah, menarik perhatian sepupunya Mina yang kebetulan ada disana juga. Dia langsung melompat kearah Lizzie yang sedang berada dalam sambungan telepon dengan seseorang. Mencuri tentang apa yang sedang mereka bicarakan. “Ada apa?” bisik Mina kepo berat. “Tentu saja aku serius,” sahut Dr. Pixys dari sana sambil terkekeh. “Baiklah, aku akan segera membuatkan karya terbaruku. Bebas kan? tidak ada ketentuannya? Ya Tuhan, terima kasih banyak!” sahut Lizzie lagi yang membuat Mina makin ingin tahu. “Sama sama, Nak. Jangan terlalu paksakan diri, aku harap kau tidak terlalu mengambil hati tentang apa yang pernah aku katakan padamu tempo lalu. Maaf ya, aku hanya ini kau semakin berkembang waktu itu. Aku sedikit kecewa, tapi kurasa karya lama mu cukup menarik perhatian karena itu kau diterima di galeri. Untuk konsultasi kau bisa datang ke kantorku saat jam kerja.” “Baik, terima kasih banyak.” Begitu menutup telepon Lizzie langsung memeluk Mina yang masih kebingungan. “Aku mendapatkan tempat di galeri pusat kota! Itu sebuah kehormatan besar untukku! Mina aku berhasil!” Mata Mina langsung berbinar. Dia kembali melompat-lompat dan memeluk sepupunya erat-erat. “Oh my God Lizzie ini hebat!” “Iya kan? aku bahkan tidak percaya ini! cubit aku, aku takut ini mimpi!” teriak Lizzie yang langsung dicubit oleh sepupunya. Dia mengaduh kesakitan tapi setelahnya senyuman lebar tidak lekang dari wajahnya. “Aku harus melanjutkan lukisanku!” “Semangat sepupu! Ini sangat penting untukmu! Aku akan membelikanmu cemilan. Kau mau apa? akan aku traktir!” teriak Mina yang bergerak mengambil cardigannya. “Oh iya aku juga akan bilang pada Armant soal ini. Dia pasti juga akan senang mendengarnya!” *** “Halo sayangku,” sambut ibunya, membuka pintu lebar ketika dia pulang tanpa mengabari terlebih dahulu. Ibunya melirik lengan Lizzie yang membawa serta kanvas besar dipunggungnya. “Bu, Bu, Bu,” kata Lizzie terengah-engah dengan senyum lebar menyebar diwajahnya. “Karyaku diterima untuk pameran seni dipusat kota. Itu tempat jajaran seniman ternama berada, Bu, dan karyaku akan menjadi salah satunya,” sambung Lizzie sambil memeluk ibunya. Mendengar hal itu ibunya langsung melebarkan kedua matanya. Meskipun disampaikan dengan terburu-buru tapi wanita itu bisa menangkap pernyataan yang diujarkan oleh Lizzie dengan cepat. Pelukannya disambut hangat, setelahnya pipi Lizzie ditangkup. “Ibu sangat bangga padamu, sayangku!” katanya gembira bahkan air matanya ikut tumpah. “Kapan? Ibu harus menandai waktunya dikalender.” “Akan aku beritahu Bu,” kata Lizzie sambil menarik kanvasnya yang terbungkus oleh kain. “Tapi sebelum itu aku perlu mendengar pendapat Ibu tentang lukisanku. Mina dan Armant sudah memberikan pendapatnya, jadi sekarang aku ingin dengar pendapatmu dan juga ayah.” “Tentu saja sayang, kami akan senang hati melakukannya. Ayo taruh itu di atas meja, Ibu sedang membuat sarapan jadi biar Ibu selesaikan dulu.” Begitu ibunya selesai dengan memasak, dia mulai bergabung dengan Lizzie seraya menyeka tangannya dengan handuk. Dengan hati-hati menatap lukisan buatan putrinya. “Ibu benar-benar suka dengan lukisan ini.” Lizzie tersenyum, dia merasa hatinya penuh dengan seluruh kegembiraan ketika berpikir lukisan tangan hasil jerih payahnya dihargai oleh orang yang melihatnya. “Terima kasih, Bu,” sahut Lizzie. Suara langkah kaki terdengar, bahu Lizzie agak merosot menyadari bahwa orang yang ingin Lizzie runtuhkan sekarang sudah bergabung dengan mereka. “Selamat pagi, sayang,” kata ibunya kepada sang ayah. Pria kaku itu tidak langsung bereaksi, dia justru menatap Lizzie dengan ekspersi yang tidak tertebak. “Pagi, dan senang bertemu denganmu, Lizzie,” sapanya tajam. “Hei, ayah,” kata Lizzie canggung, dia menggosok tangannya dibelakang punggung. “Um … coba tebak? Karyaku diterima untuk pameran seni dipusat kota.” Kata-katanya sama persis dengan yang dia katakan kepada ibunya, hanya saja cara penyampaiannya sekarang terkesan kaku dan tidak nyaman. “Jadi itu sebabnya kau membawa sampah ini kemari?” tanya ayahnya seraya menunjuk kearah lukisan yang Lizzie simpan diatas meja. Sejujurnya kalimat itu menyakitinya, tapi Lizzie memutuskan untuk menutup pendengarnnya dari penghinaan itu dan bermaksud untuk tetap menanyakan pendapat ayahnya. “Ya, aku membutuhkan pendapatmu. Makanya aku putuskan membawa sampahku kemari.” Pria kaku itu memutar matanya dan menoleh kearah ibunya, seolah tidak mendengarkan apa yang Lizzie katakan. “Sarapannya sudah siap kan?” “Sayang, tidak bisakah kau setidaknya berpura-pura tertarik?” sahut ibunya yang barangkali merasa tidak tega lantaran Lizzie diperlakukan demikian oleh ayahnya sendiri. “Dan memberikannya harapan palsu?” timpal pria itu lagi. “Aku sudah berkali-kali bilang padanya bahwa tidak ada harapan untuk masa depannya jika dia terus-terusan berada dalam bidang ini. Sudah diarahkan ke bidang yang stabil, anakmu ini malah keras kepala dan memilih sendiri jalan menjadi seorang pecundang. Saat kau seharusnya sudah se-sukses teman-teman dan sepupumu, kau masih berada di bawah mereka dan bermain-main dengan sampah ini.” “Sayang!” Kini Elliza mulai membalas dan nada suaranya meninggi pula. “Aku sudah memberitahumu bahwa kalau Lizzie pulang, kau harus berhenti untuk membahas soal jurusannya. Itu pilihan hidup dia, kita tidak bisa memaksa dan mengaturnya sedemikian rupa. Dia anak kita dan kita ingin dia bahagia, jadi biarkan dia melakukan apa pun yang dia suka.” “Aku tentu tidak keberatan dengan statement akhirmu, Tapi aku merasa tidak bisa diam saja saat aku tahu bahwa masa depannya hanya bisa menjadi gelandangan dan tunawisma. Kenapa harus mengejar yang tidak pasti saat kau punya opsi yang lebih nyata dan pasti? Mengejar impian tidak akan membuatnya hidup nyaman dan bahagia. Dia hanya akan jadi pengemis karena memutuskan mengikuti impiannya mengambil jurusan cat air! Apa bagusnya dengan masuk ke pameran dan karyamu masuk ke galeri? Apakah ada perubahan besar dengan itu? Oh… Tuhan, Lizzie. Kau harusnya mulai mencari pekerjaan sungguhan bukan menghabiskan waktu seperti pengangguran yang mencoret-coret kertas. Seni bukanlah sesuatu yang bisa kau ambil sebagai jurusan. Itu tidak akan membawamu kemana-mana. Hidupmu tidak akan bisa stabil jika kau tetap keras kepala berada di jalan itu! atau kau kemari karena kau butuh uang dariku untuk membeli peralatan untuk membuat sampah ini?” “Astaga!” Ibunya mengerang, “Mengapa kau harus mengatakan hal sekejam itu kepada putri kita? Apa begitu sulit bagimu untuk melupakan perihal anak kita yang memilih pindah dari jurusannya?” “Salahkah aku mengkhawatirkan masa depan putriku?” sahut ayahnya lagi. “Sudah cukup!” kata Lizzie tidak tahan, dia berbalik dan mengambil lukisannya meskipun dengan tangan yang gemetaran. “Kurasa sudah cukup masukan dari Ayah, terima kasih banyak!” Dia berbalik pergi dari sana, mencemooh ayahnya dalam diam. Dia tahu jika tetap berada disana yang terjadi hanyalah dirinya akan mendapat lebih banyak makian. Menyebalkan. Tapi tanpa Lizzie sadari ibunya menyusul dan menghentikan Lizzie tatkala dia hampir mendekati motornya. “Lizzie!” panggilnya yang membuat Lizzie melunak dan menatap ibunya lagi. “Semuanya akan membaik, sayang.” “Tentu saja akan, Bu,” sahut Lizzie. Namun sebanyak apapun dia berharap, dia tahu bahwa itu hanyalah sesuatu yang semu. Hingga dititik ini pun ayahnya tetap tidak menerimanya. “Aku sayang padamu, Bu.” Lizzie mengelus rambutnya dengan penuh sayang, menyingkirkan poninya yang berantakan dari dahi Lizzie sebelum akhirnya memberiakn sebuah ciuman dikening. “Ibu sangat bangga padamu, Lizzie,” katanya dengan penuh penekanan. “Kamu harus tahu kalau Ibu selalu mendukungmu.” “Terima kasih, Bu. Itu membuatku lebih baik.” “Sayang, ibu sedang bersungguh-sungguh disini.” Lizzie terkekeh melihat ibunya membuat wajah yang lucu. “Iya aku tahu, Bu.” “Aku selalu menyayangimu, Lizzie. Pulanglah kerumah setiap kali kau punya waktu. Pintu rumah ini selalu terbuka untukmu.” Mereka berpelukan erat dan Lizzie mulai duduk dikursi motornya. Dia melihat ibunya kembali kerumah sementara dia mula melajukan motornya. Tapi baru beberapa saja tiba diujung jalan, Lizzie merasakan pipinya basah. Oh sial, dia tidak boleh menangis dan lemah seperti ini hanya karena kata-kata dari ayahnya. "Aku butuh penenang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD