Gadis Pencuri Atensi?

1435 Words
“Hei, Lizzie! Coba lihat aku! Apa kau tahu akibat yang akan kau dapatkan dari perbuatanmu barusan? Mau mencoba membuat dirimu terbunuh dijalanan begitu? Aku tidak habis pikir apa yang ada di dalam kepalamu. Hei, kau mendengarku?!” Tumpahan emosi langsung Lizzie dapati darinya. Kemarahan yang bercampur kekhawatiran dari orang itu malah membuat Lizzie makin tersulut emosi. “Ya, aku mendengarkamu!” teriak Lizzie. “Tidak perlu berteriak seperti itu karena aku tidak tuli!” sahut Lizzie lagi yang kali ini suaranya terdengar sumbang gara-gara bibir bawahnya bergetar. Dia tidak bermaksud untuk berteriak dan membentak, hanya saja gemuruh di dadanya berkali-kali lipat menyakitkan hingga tanpa sadar dia melampiaskannya pada Daxon. Meskipun dia sadar bahwa pria itu tidak salah apa-apa. Dia menyeka matanya yang penuh dengan air mata dengan punggung tangan yang sama basahnya. “Astaga, Lizzie,” gumam Daxon yang langsung mengulurkan tangan membuka kotak penyimpanan di dashboard mobilnya. Mengeluarkan sebungkus tisu dan melemparkan benda itu ke pangkuan Lizzie di jok belakang tanpa melihat. “Bersihkan dulu wajahmu dengan itu.” Lizzie menganggukan kepala, meski masih dalam kondisi terisak tapi dia mulai menyeka wajahnya yang basah dengan tisu yang Daxon berikan. Merasa lama menunggu akhirnya Daxon berbalik dan mengambil alih tisu yang ada dipangkuannya. “Lizzie lihat aku.” Diam-diam Lizzie akhirnya mematuhi perintah sederhana itu dan membiarkan Daxon membantunya. Daxon mengusap seluruh wajah Lizzie dengan sangat hati-hati dan lembut. Menyeka matanya yang sudah berwarna merah, dan pipinya yang dipenuhi oleh kotoran dan tanah. Selesai dengan itu dia bahkan memencet hidung Lizzie dan membantunya mengeluarkan ingus dan menyekanya. “Kau benar-benar tidak bisa mengurus dirimu sendiri,” ujar Daxon seraya menghela napas, melemparkan tisu bekas ingus itu ke luar dan pas mengenai tong sampah yang kebetulan ada di sisi mobilnya. Bibir Lizzie bergetar lagi dia malah meringkuk dikursi mobil Daxon. “Meskipun aku memang bukan orang kaya dan sombong sepertimu yang bisa melemparkan uang sebanyak yang kau mau pada setiap gadis yang kau temui, tapi aku bisa mengurus diriku sendiri dengan baik.” Mau tidak mau Daxon terkekeh pelan, “Ya, ya. Tapi dimataku kau masih seperti gadis nakal yang mencoba membohongi dirinya sendiri. Jadi apa yang membuatmu begitu kesal sampai kau berjalan-jalan di tengah hujan sambil menangis dan menyebrang tanpa memperhatikan lampu lalu lintas?” Lizzie memilih bergumam, “Ini rumit, kau tidak akan mengerti.” “Jangan bilang kau menyukai seseorang, dan orang itu teman lama atau semacamnya. Tapi dia memperlakukanmu sangat buruk dan kau tahu bahwa seharusnya kau tidak tertarik dan berhenti. Kau ini gadis yang pintar bermain tapi bersamanya kau justru merasa dipermainkan dan kau punya sedikit harapan bahwa mungkin kau dan dia bisa menjadi sesuatu dimasa depan. Apakah seperti itu?” Napas Lizzie tercekat, dia merebut tisu yang Daxon ambil dan kembali menyeka wajahnya lagi. “Kalau tidak salah ingat, profesimu adalah pengacara dan bukan cenayang.” “Tapi kau harus tahu bahwa seorang pengacara itu pandai membaca orang. Aku mempelajari psikologi dan itu mudah.” “Apa-apaan itu? kenapa kau seakan-akan sedang pamer dengan semua kebisaanmu di depanku? Kenapa kau jadi terlihat dua kali lipat lebih menarik padahal kau jauh lebih tua dariku? Kau sedang mencoba menjebak aku dengan pesonamu itu heh om-om tua!” Ya, itu memang sebuah pengakuan yang tidak terduga dari bibirnya. Tapi yang pasti Lizzie mengatakan yang sebenarnya. Ini benar-benar tidak adil. Lizzie berusaha keras dan mati-matian untuk menguasai bidangnya dan belajar dengan keras, tapi baik itu professornya bahkan ayahnya tidak ada yang mengakui usahanya. Sedangkan Daxon sendiri dia punya segalanya. Dia pintar, mengerti semua hal tanpa harus berusaha keras, pandai menempatkan diri dan tahu apa yang harus dia katakan disetiap situasi, dia punya uang, sukses, bahkan sangat mempesona meskipun berada diusia matang dan tidak semuda dirinya. Ini menyebalkan buat Lizzie. "Kalau kau terjebak dengan pesonaku justru itu lebih bagus," timpal Daxon dengan suaranya yang merendah. Daxon juga mengulurkan tangan padanya dan tiba-tiba saja dia sudah menyusupkan tangannya ke rambut Lizzie membelainya dengan cara yang sangat lembut dan penuh perasaan. Alih-alih melawan dia justru membiarkan pria itu menyentuhnya, dan malah menutup kedua matanya menikmati belaian halus pria itu kepada dirinya. Lizzie tertawa gusar. “Kau bisa mendapatkan siapa pun yang kau inginkan,” ujar Lizzie lugas. “Bahkan kau tidak harus berusaha keras untuk itu. Kenapa kau harus repot-repot terlibat dengan orang sepertiku? Aku ini gadis yang kacau. Aku bahkan mengacaukan hidupku sendiri, sudah barang tentu aku juga bisa mengacaukan hidupmu yang sempurna itu.” “Kau benar, aku benci kekacauan,” sahut Daxon tanpa perasaan yang membuat hati mungil Lizzie agak tersentil dan makin remuk. Baiklah, sepertinya Lizzie salah mengira tentang Daxon yang pandai menempatkan diri dan tahu apa yang harus dia katakan disetiap situasi. Yang jelas perkataannya kali ini agak menyakitkan. “Sudah kubilang kan. Jadi menjauh sajalah… Kebetulan ini hanya menciptakan harapan lebih yang nantinya akan membuat aku lebih sakit hati,” sahut Lizzie lagi. “Aku ini perempuan yang berantakan, ayahku saja menolakku apalagi kau.” “But for me, you're a mess with the prettiest f*****g eyes I've ever seen and I can't stop thinking about them." Jujur, begitu Lizzie mendengar suara Daxon yang rendah dipadukan dengan tajamnya tatapan mata pria itu. Seketika dia merasa tubuhnya lumpuh dan kejutan kecil terpercik di perutnya. Tak kuat dengan itu, Lizzie cepat memutuskan kontak mata tapi sialnya tatapan mata Lizzie justru terjatuh pada bibir Daxon. Pria itu membungkukan tubuhnya, dengan tangannya yang masih berstagnasi di pipi Lizzie, begitu mudah baginya untuk menarik Lizzie mendekat padanya. Lizzie berpaling muka, Daxon berhenti merealisasikan niatannya. “Aku tidak berterima kasih dengan benar padamu untuk kue yang kau belikan di kedai kopi waktu itu,” gumam Lizzie seraya menatap ke bawah sedikit terkejut karena tangannya entah sejak kapan berada diantara kedua paha Daxon. Pria itu hanya menyeringai membuat Lizzie menatapnya pula. Jika benar pria itu sedang menggodanya sekarang, maka Lizzie akan balik menggodanya seperti yang biasa dia lakukan kepada Levin dengan santai. “Atau pun untuk aksi penyelamatan yang kau lakukan saat ini,” sambung Lizzie. “Simpan saja rasa terima kasihmu,” sahut Daxon ringan. “Kita tidak akan bercinta di mobilku tanpa pengaman dan aku bukan tipe pria yang membawa kondom di dompetku. Aku tidak mau berurusan dengan perempuan kacau sepertimu dimobil kesayanganku.” Lizzie berdecak lalu menarik kembali tangannya dari paha Daxon, meski begitu dia tersenyum sedikit. Sungguh perbedaan yang sangat signifikan antara pria dewasa dan pemuda bau kencur. “Clean freak,” tutur Lizzie setengah meledeknya. “Gadis nakal.” Setelahnya Lizzie minta diantarkan ke tempat dimana dia memarkirkan sepeda motornya. Itu tidak jauh tapi setidaknya dia menghabiskan waktu menunggu hujan reda dan tidak bertindak bodoh seperti sebelumnya. Lizzie tentu tidak pernah punya niatan untuk mati muda, setidaknya tidak untuk sekarang. Keluar dari pintu mobil Lizzie tersenyum pada Daxon, entah bagaimana mereka bisa bertemu begini dan meneliti banyaknya kebetulan diantara mereka membuat Lizzie merasa sedang dipermainkan oleh semesta. “Selamat tinggal, Om Tampan.” “Bukan selamat tinggal, tapi sampai jumpa lagi,” sahut Daxon ketika Lizzie meraih pegangan pintu mobil dan sempat mencegatnya sebelum dia benar-benar turun. “Ambil ini,” kata Daxon, menarik kartu nama dari dompetnya. “Menurutmu aku butuh pengacara?” tanya Lizzie menaikan sebelah alisnya tak mengerti begitu benda persegi tersebut telah berpindah tangan padanya. “Itu nomor pribadiku,” jawab Daxon cepat, membuat kedua mata Lizzie terbelalak. “Kau ingat janjimu di kedai kopi kan? katamu kau akan memberiku nomor ponselmu. Tapi melihat situasinya sepertinya kau akan berkelit lagi. Aku ini pria yang sangat memperhatikan janji. Jadi kalau kau merasa bosan dan memiliki waktu luang untuk bermain-main sebentar, hubungi saja aku atau kirimi aku pesan. Dengan begitu kita otomatis bertukar nomor ponsel kan?” “Wah, aku tidak percaya kau bahkan mengingat omong kosongku,” sahut Lizzie terkikik. “Kenapa tidak? kau gadis yang lucu, aku tertarik padamu dan kau juga sepertinya fine-fine saja denganku. Oh iya, aku tidak sedang mencari sebuah komitmen. Aku hanya sedang senggang dan luang sehingga membutuhkan patner untuk bersenang-senang.” Lizzie menyeringai. “Jadi menurutmu aku lucu dan menyenangkan?” “Dari penilaianku setelah pertemuan kita ini, ya.” “Kalau kau menginginkanku hargaku tidak murah, Om,” timpal Lizzie yang dimaksudkan untuk menggoda Daxon. Pria itu hanya balas menyeringai dan Lizzie tahu betul bahwa meski pria itu memahami keseriusan dari perkataan yang dia ucapkan. “Kau harus bersiap-siap, karena aku ahli menguras dompet seorang pria, Om tampan,” sambungnya yang ditutup dengan kerlingan nakal. Lizzie kini sudah benar-benar keluar dari mobil Daxon dan melenggang santai menuju sepeda motor yang dia parkirkan. Dia tahu pria itu memperhatikan Lizzie. Bagaimana tidak? Toh, Lizzie kan gadis kacau yang telah mencuri atensi pria itu sepenuhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD