Deep Talk?

1426 Words
Lizzie keluar kelas dengan posisi kacau, dia terus terusan melakukan kesalahan dan bahkan berakhir merobek kertasnya berkali-kali karena tidak bisa berkonsentrasi. Untung saja professornya cukup bijaksana dan memberikan keringanan kepada Lizzie untuk mengumpulkan tugasnya dilain waktu. Mungkin Lizzie harus bersyukur karena lagi-lagi situasi memihak padanya sedikit. Setelah ini dia akan pergi ke kedai kopi hanya untuk sekadar memastikan Daxon ada disana. Jika tidak dia akan langsung menyibukan diri dengan tugasnya. “Bisa aku minta caramel latte?” ujar Lizzie pada sang pramusaji. “Tentu saja, aku akan siapkan secepatnya.” “Terima kasih.” Dia mengurus beberapa barang yang ada ditas selempangnya untuk sekadar merapikan dan mencari keberadaan dompetnya. Lizzie sempat melirik buku sketsanya tadi, terpikir baginya untuk mengerjakan sisa tugasnya disini. Tapi kemudian ketika dia melirik ke arah meja dimana Daxon sedang duduk dia agak gelisah dan goyah, terkejut. Lizzie menggigit bibirnya, alhasil begitu pesanannya selesai dibuat Lizzie malah mengambil kopinya dan berjalan mendekati Daxon tanpa sadar. Sebelum masuk kelas seni tadi dia memang sempat mengajak pria itu untuk minum kopi. Tapi tidak mungkin dia mengingatnya dan benar-benar ada disini menunggunya kan? Lagipula dia seorang pengacara yang sibuk. Muak dengan isi kepalanya sendiri, tidak terasa Lizzie malah sudah berada di meja pria itu. Daxon menautkan alisnya. “Sepertinya kau terlambat.” “Maksudnya?” “Kau menyuruhku datang kemari beberapa saat lalu sebelum temanmu datang dan memotong pembicaraan kita berdua? sekarang aku sudah disini menunggumu selama kurang lebih dua jam,” kata Daxon sambil menyeruput kopi miliknya. “Untung saja aku tidak punya pekerjaan hari ini. Kalau ada tentu aku sudah tidak ada disini dan menunggumu.” “Ah… maaf,” sahut Lizzie cepat, sambil memperlihatkan seberapa menyesalnya dia. Dia masih membawa buku sketsa di tangannya dan membungkuk meminta maaf pada Daxon. “Aku benar-benar mengalami hari yang aneh.” “Karena apa?” suara Daxon terdengar menggoda tapi ekspresinya tidak begitu terbaca. “Karena kau tiba-tiba saja muncul di kelasku sebagai pembicara. Ini seperti sesuatu—” “Sarkasme, Lizzie,” potong Daxon cepat membuat Lizzie tersedak. “Menarik sekali, kau memiliki wajah yang sama sepanjang waktu dikelas tapi sekarang kau terlihat lebih rileks.” “Itu bagian dari pekerjaanku. Mengatur ekspresi wajah dimuka umum adalah hal dasar yang harus dikuasai.” Lizzie mencondongkan tubuh ke depan dengan bertumpu pada sikunya. “Oh ya, kau seorang pengacara. Itu menjelaskan semuanya.” “Pengamatan yang bagus. Jadi apa yang kau lakukan di kelas psikologi kriminal padahal statusmu adalah mahasiswi jurusan seni.” “Itu syarat untuk lulus. Electives.” Daxon meringis. “Ah, aku ingat omong kosong seperti itu di perguruan tinggi.” “Oh ya ada yang seperti itu juga di universitas jadul?” Mata Daxon terangkat dan dia menatap wajah Lizzie lekat-lekat sementara gadis itu malah menyeringai seraya menyeruput kopinya. “Agak kurang ajar ya sekarang,” desis Daxon balas menyeringai padanya. “Aku mau ambil kue, ada yang kau inginkan?” “No thanks.” Pria bertubuh tinggi itu bangkit dari kursi dan berjalan menuju ke konter. Sementara Lizzie sibuk dengan pikirannya sendiri. Apa ini langkah yang benar? Bisa-bisanya dia bertemu dan mengobrol seperti kawan lama pada pria yang menjadi cinta satu malamnya semalam. Ini saja sudah melanggar aturan. Dia benar-benar merasa isi kepalanya mendadak konslet. “Ini,” kata Daxon yang tiba-tiba sudah berada dimeja dengan sepiring besar penuh kue. “Aku bertanya pada pemuda disana apa yang biasa kau makan.” Dia memandang beberapa potong cheese cake dipiring tersebut, mengerutkan alisnya. “Bukankah sudah aku katakan aku tidak ingin apa-apa.” “Ya aku tahu,” jawab Daxon tenang. “Tapi aku juga bisa melakukan sesukaku, ‘kan?” Melihat tampilan menggoda dari kue favoritnya, mau tidak mau akhirnya Lizzie menyerah dan memutuskan mengambil sepotong cheese cake untuk dia eksekusi. Sementara Daxon memakan kue rasa kopinya. “Bagaimana dengan kelas senimu?” “Sejauh ini baik,” sahut Lizzie singkat. “Tapi aku terkadang merasa bahwa aku melakukan kesalahan dan mengacau. Ya, hal-hal seperti itu.” “Entahlah, tapi dari penilaianku kau terlihat sangat tertekan untuk sesuatu. Kau bisa dengar ini atau tidak tapi sesekali mengacau itu bukan masalah. Kau masih muda, jadi kau bisa melakukan banyak kesalahan dan memperbaikinya.” Entah kenapa Lizzie hanya bisa terdiam mendengar sepotong nasehat dari pria itu. Sebenarnya Lizzie tidak terlalu suka membicarakan soal kelas seni-nya. Karena dia merasa muak dan tidak tahan dengan seluruh penolakan yang ayahnya berikan. Ini sulit dan membuatnya tertekan. Tapi disisi lain dia merasa terpenuhi. Pria asing ini rupanya berprofesi sebagai pengacara, dia cukup bijaksana dan tidak mengkritik jurusan yang diambilnya. Orang asing yang memberikannya dukungan bahkan lebih dari ayah kandungnya sendiri. Lizzie sempat bergidik. Itu adalah pemikiran yang aneh, mengingat dia sudah meniduri pria itu. Gambaran-gambaran saat mereka bersama berkelebat dalam otak Lizzie. Bibir yang sama yang memberinya ciuman panas, lidahnya yang sempat menangkup dadanya. Tangan yang sama yang membelainya di … dimana-mana. “Kurasa benar,” kata Lizzie seraya memalingkan muka keluar dari jendela. Sementara Daxon memandangnya dengan cermat. “Tersenyumlah lebih banyak, wajahmu terlihat sangat cantik saat kau bahagia.” Seketika Lizzie merasa pipinya menghangat oleh kata-kata sederhana pria itu. Dia menyeruput sisa kopinya dalam satu teguk dan kemudian bangkit dari posisinya. “Aku harus pergi,” ujar Lizzie. Dia tidak mau ambil resiko bertingkah aneh dan tidak masuk akal didepan pria itu. Lagipula dia pasti tahu alasannya karena dia mengetahui bagaimana segalanya bermula hingga tercipta relasi rumit ini. “Aku tidak mendapatkan nomor ponselmu?” ujar Daxon sambil menatap Lizzie yang tampak terkejut sesaat atas pertanyaan tersebut. Setelah menguasai dirinya lagi, Lizzie juga menyunggingkan senyumannya. "Kalau kita bertemu lagi, aku akan berikan nomor ponselku," sahut Lizzie sambil berlalu meninggalkan Daxon begtiu saja. Sepeninggal Lizzie, pria itu hanya bisa menyunggingkan senyum sambil menggelengkan kepalanya. Ini kali kedua dia diperlakukan secara tidak terduga. Lebih tepatnya dia menolak kesempatan bagus yang biasanya selalu diinginkan para perempuan yang pernah menghabiskan malam panas bersamanya. "So, you want to playing hard to get? baiklah Lizzie, aku ikuti alur permainanmu. Akan aku pastikan kau akan aku taklukan." *** Beberapa saat yang lalu dia habis melampiaskan kekesalan pada seluruh lukisan yang dia kerjakan selama ini. Lantai dikamarnya berceceran cat dan peralatan lukis. Beberapa bahkan sudah dicabik-cabik dengan pisau oleh dirinya sendiri. Jendela dengan tirai diruangan khususnya tersebut dia biarkan terbuka, membiarkan musik yang dia putar keras-keras terbawa keluar dari apartment yang dia tempati bersama saepupu dan karibnya yang saat ini sedang tidak ada ditempat. Gadis itu beranjak dari sofa, mengambil bungkus rokoknya. Dia selipkan satu batang di bibir, mengambil pematik dan menyalakan batang rokok yang telah siap. Lizzie berjalan mondar-mandir diiringi asap rokok. Suara vokalis, dentuman bas dan drum, berikut juga raungan gitar makin memenuhi kepala. Dia menjatuhkan dirinya di sofa lagi, merebahkan punggungnya denga nasal sambil menatap langit-langit kamar. Masih segar dalam ingatan perkataan sang Professor setelah dia mengumpulkan tugasnya hari ini setelah diberi deadline tambahan satu pekan. “Jujur saja ya, Lizzie. Aku memberimu waktu lebih karena aku berharap kau bisa menciptakan sesuatu yang indah. Tapi aku kecewa karena yang kau berikan padaku hanyalah karya hampa yang tidak bernyawa. Kau sebut ini dengan ekspresi? Sebaiknya kau perbaiki dan berlatih lebih banyak sebelum kau tertinggal oleh teman-temanmu atau kau bisa keluar dari sini dan memulai mimpi baru. Belum terlambat untukmu. Aku tidak enak mengatakannya tapi jujur saja, kalau kemampuan terbaikmu hanya segini kau akan tamat dan tergerus, Lizzie.” “Ah sialan! berpikirlah otak udang!” Lizzie kembali mendekati salah satu karya yang habis dia kumpulkan hari ini kepada sang professor tapi ditolak dengan mentah-mentah oleh pria itu. Rokok masih terselip di bibirnya, menatap nanar karya yang bisa dibilang merupakan karya yang dia usahakan bahkan nyaris tidak tidur setiap harinya. Dilihatnya lagi lukisan yang luput dari amukannya. Lukisan seorang wanita yang menatap pantulan dirinya pada sebuah cermin. Apa yang salah dengan lukisan ini? Meskipun Lizzie ingin percaya bahwa dia akan keluar dari situasi buntu, diakhir dia malah merasa tidak ada perkembangan dalam bakatnya dan makin buruk karena hal itu. Semua yang dia gambar sekarang dimatanya hanyalah sampah. Terlepas dari pujian sepupunya Mina dan seluruh motivasi yang menjamin yang pernah Armant katakan kepada dia. Tetap saja itu lebih pada obat sesaat dan dia kembali dipaksa untuk menerima kenyataan dimana apa yang ayahnya katakan adalah kebenaran. Dia benci bila apa yang dikatakan ayahnya benar. Dia ingin menunjukan pada pria yang telah menolak mimpinya itu bahwa dia bisa meskipun tanpa sokongan dana darinya. Tapi kalau begini, jangankan berdiri bangga menunjukan kehebatan yang ada, ayahnya pasti akan mengolok dan bertepuk tangan. "Ah menyesal sekali aku, mestinya aku berikan nomor ponselku padanya tempo hari. Dasar Lizzie bodoh!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD