Kali Kedua?

1427 Words
“Lizzie!” Oh, tidak jangan! Lizzie tidak suka itu, ekspresi mukanya mendadak meringis begitu Marie melambaikan tangan padanya. “Aku sudah menempati kursimu. Ayo kemari!” ujarnya lagi yang membuat Lizzie tidak punya pilihan selain mendekat. Senyuman gadis itu terlalu menawan, membuat Lizzie tidak sanggup menolak ketulusannya yang murni. Alhasil Lizzie berakhir duduk disebelah Levin. Memang tidak nyaman tapi sepertinya Lizzie perlu pembiasaan diri. “Kau sudah lihat pesanku kan? sepertinya gosip itu benar. Kelas ini jadi sesak dengan para mahasiswi,” kata Marie. “Ya,” sahut Lizzie acuh tak acuh. Dia melirik ke arah Levin yang membuat wajah setengah bosan. “Hei, apa kau membuat ekspresi kuda sejak datang di kelas?” “Ya, dia memang begitu sejak awal,” jawab Marie yang langsung cepat menanggapi pertanyaan Lizzie untuk kekasihnya sambil terkekeh. “Dia tidak mau ikut kelas ini, tapi aku memaksa karena aku pikir justru ini akan bermanfaat baginya. Apalagi dari yang kudengar mereka mengundang pengacara kondang sebagai pembicara hari ini. Waktu aku berkunjung kerumah, ayahmu bilang kau ingin jadi pengacara, ‘kan?” “Seharusnya kau tidak terlalu mendengarkan omongan orang itu,” kata Levin menjawab kekasihnya sambil menguap. “Masih terlalu dini untuk membicarakan omong kosong itu.” “Dasar berandalan durhaka,” ujar Lizzie ceplas ceplos seperti biasa, hal itu cukup menarik perhatian si pemuda kepadanya. “Sejujurnya aku benar-benar penasaran bagaimana bisa kalian yang bertolak belakang ini bisa berakhir bersama?” Levin menatap Lizzie ketika pertanyaan itu terujar begitu saja. Kira-kira seperti dia mengatakan ‘Kalau aku memang seberandalan itu, kenapa kau mau tidur denganku?’. Tapi Lizzie tidak ambil pusing. Meski sekadar ceplas ceplos, tapi Lizzie serius dengan perkataannya. Marie adalah gadis yang baik. Dia berasal dari keluarga yang cemara jika boleh dibilang. Marie memang bukan tipikal mahasiswi yang masuk jajaran terpintar se-universitas, tapi semua orang menyukainya. Lizzie pernah dengar bahwa alasan dia mengambil jurusan psikologi karena ingin menjadi seorang konselor dan membantu memecahkan permasalah semua orang dengan kontribusinya. Sejauh yang Lizzie tahu, Marie tinggal bersama dengan Levin. b******n tampan tapi sudah Lizzie cap sebagai si muka kuda yang bercita-cita menjadi pengacara. Herannya, dia tidak mau mengakui hal itu didepan Marie kekasihnya, tapi di depan Lizzie jelas-jelas Levin menyatakan keras-keras soal impiannya itu. Obrolan yang mengalir begitu saja setelah mereka tidur bersama. Ya, Lizzie tahu bahwa dia tidak pantas duduk disebelah Marie, saat dia sudah mencicipi kekasihnya diatas ranjang. Tapi satu hal yang pasti, Levin tidak cukup baik untuk Marie, semua orang mungkin sudah tahu itu. “Karena dia mempesona,” kata Marie setelah jeda lama dengan wajahnya yang merona merah. Gadis itu menggigit bibir bawahnya malu-malu sambil melirik wajah kekasihnya. Levin langsung bereaksi menggaruk rambutnya yang berantakan sambil melirik kearah lain. Pemandangan itu agak … entahlah bisa dibilang merusak suasana hati? Lizzie memutar bola matanya, mengeluarkan pena dan kertas sesaat setelah sang Professor menempati posisinya di depan. Samar dia mendengar wanita itu bilang tentang pembicara yang akan mengisi kelasnya. Seseorang yang katanya adalah teman dia dibangku kuliah. Basa basi yang tidak menarik dan bisa dibilang sangat membosankan bagi Lizzie. “Jadi tolong arahkan perhatianmu pada Pak Daxon—” Lizzie membeku, mendengar nama itu. Sedikit demi sedikit dia mendongak dan matanya langsung melebar ke arah pria yang ada didepan sana. Daxon benar-benar definisi dari pria paling menggiurkan, mulai dari ujung rambutnya yang di semir rapi hingag ujung sepatu kulitnya yang mengkilap. Bagaimana bisa pria itu berdiri dikelasnya sebagai pembicara pula? Lizzie menatap pria itu, mulutnya ternganga. Ini tidak mungkin. Sama sekali tidak bisa dia percaya. Daxon seharusnya hanya pria yang lewat di mimpinya, persis seperti yang dia katakan pada pria itu pagi ini. Panas merekah di dalam perutnya, rasa melilit yang menyebalkan langsung membuat dia mual. Apalagi pagi ini dia sudah bersikap seperti seorang femme fatal, padahal kenyataannya Lizzie hanya seorang mahasiswi tanpa dukungan orangtua yang mencari uang secara instan. “Seperti yang dikatakan oleh beliau, saya adalah seorang pengacara,” kata Daxon melipat kedua tangannya seraya bersandar di meja. Pembawaan pria itu agak berbeda dengan yang Lizzie ingat. “Jadi, ada yang bisa menjelaskan padaku tentang psikologi kriminal?” “Yah, Pak,” Marie mengangkat tangannya, membuat pandangan Daxon terarah pada meja yang mereka tempati. Oh, sial. Lizzie tidak punya pilihan selain memalingkan muka, bersikap sealami mungkin ketika Marie bicara disebelahnya. Tapi alih-alih bersikap natural Lizzie justru menenggelamkan kepalanya di atas meja sebelum kemudian menghantamkannya ke atas buku sketsa. “Kenapa, jadi begini semesta? Kenapa kau melakukan ini kepadaku?” Dia menggeram dalam hati. Dalam situasi itu Lizzie hanya mendengarkan Marie menjelaskan apa yang dia ketahui, dan saat itu Lizzie pikir Daxon mungkin tidak akan peduli. Namun justru saat itulah, mata mereka bertemu. Lizzie tidak ingin berperasangka bahwa Daxon memang sejak awal menatapnya dan bukan pada Marie. Tapi dari gerak-gerik pria itu sepertinya dia memang sudah memata-matai. Wajah Lizzie langsung memucat, jantungnya berdegup lebih kencang. Bahkan disaat seperti itu, Lizzie bisa melihat bahwa pria itu malah tersenyum kepada dia. Sialnya, Lizzie kontan langsung tidak bisa fokus. Malah kelebatan bayangan yang terjadi diantara mereka semalam mulai berdatangan seperti sedang memutar film. Daxon yang membelikannya minuman, Daxon yang menyeret dia kerumahnya, Daxon yang dihisapnya, Daxon yang menyentuhnya seolah dia adalah barang paling berharga di dunia, Daxon pria yang menidurinya semalam hingga dia kewalahan. Wajah Lizzie langsung merah padam. Ini tidak bagus. Singkatnya kelas berakhir jauh lebih lama daripada yang biasanya tapi setidaknya Lizzie cukup bernyali besar mengikuti kelas hingga usai. Semua orang mulai mengemasi barang mereka. “Sampai jumpa nanti, Lizzie sayang,” ujar Marie yang langsung beringsut dan bergegas keluar bersama kekasihnya Levin. Saat itulah, Lizzie tidak cukup mengantisipasi bahwa Daxon mendekat kearah mejanya. Bayangkan saja dia berdiri dalam pakaian dalam lucu, bisiknya dalam hati. “Oke pakaian dalam,” kata Lizzie lebih kepada dirinya sendiri untuk menetralisir kegugupan. “Harus membayangkan dia dalam pakaian dalam.” “Kalau kau kebetulan mencari sukarelawan untuk itu, aku rasa aku cukup senggang.” “Apa?” pekik Lizzie, menatap kearah sumber suara. “Oh, Halo Pak Daxon.” Pria itu tersenyum memamerkan gigi putihnya yang berkilau. “Kalau kau butuh bantuan untuk merealisasikan imajinasi semacam itu, aku dengan senang hati bersedia menjadi modelnya,” tuturnya lagi seolah tidak ingin menyerah dengan topik tersebut. Wajah Lizzie langsung merah padam. “Oh, aku… uh …. tidak seharusnya kau mendengar hal itu. Aku hanya gugup, dan biasanya itu cukup berhasil untuk … kau tahu motivasi?” Daxon tertawa lepas, saat itu terjadi Lizzie berharap dia betul-betul sudah mati. “Ngomong-ngomong materi yang kau sampaikan sangat bagus, dan um … terima kasih,” tutur Lizzie lagi mencoba untuk menutupi seluruh rasa malunya dengan mengalihkan pembicaraan menjadi sesuatu yang lebih normal. “Tentu saja, senang kalau kau menikmatinya,” kata Daxon. “Tapi apakah kau aslinya seperti ini? seingatku kau cukup berani saat kita berada di … kamarku?” Lizzie memeluk tasnya lebih dekat, ingin segera kabur darisana. “Jika berkenan tolong jangan bahas hal itu disini, Pak.” “Bapak? Masih segar dalam ingatanku kalau kau memanggil aku ‘Om tampan’ tapi sekarang kenapa tiba-tiba memanggilku Bapak? Kau sedikit menyakiti hatiku.” Lizzie mengedarkan pandangan, dia mendapati ada beberapa pasang mata yang melihat kearah mereka. Jika dia terus berada disini lebih lama orang-orang akan mulai membicarakan sesuatu yang menyebalkan dan membuat kupingnya panas. “Aku tidak yakin apakah kau senggang, tapi ada kedai kopi di dekat gedung seni, kurasa kita bisa bicara di—” “Pak Daxon!” teriak Levin berlari ke arahnya dengan senyum lebar. “Hai terima kasih sudah datang dan menjadi pembicara hari ini. Mata kuliah ini menjadi sedikit lebih menyenangkan daripada sebelumnya.” Entah Lizzie harus bahagia atau bingung, tapi yang pasti ekspresinya sekarang pasti sekarang tidak enak dipandang. Keberadaan Levin disini sangat membingungkan. Tapi Lizzie berharap mereka tidak mengenal secara personal, mengingat Daxon tadi bahkan terus saja mengungkit soal malam panas mereka. Bisa gawat bila ada orang yang tahu soal itu, terlebih orang itu Levin. “Begitukah senang sekali aku mendengarnya kalau begitu,” sahut Daxon santai. Saat mereka sedang asyik berbincang Levin mengalihkan pandangannya pada Lizzie. “Oh? Kau masih disini Lizzie? Bukankah harusnya kau sudah ada di kelas seni sekarang?” Lizzie mengeluarkan ponselnya dan melihat jam disana. Raut mukanya terkejut. “Kau benar, aku harus segera pergi.” Dia langsung bergegas pergi, setidaknya Levin memberinya jalan untuk keluar. Walaupun kemunculannya agak aneh karena beberapa saat yang lalu Marie menyeret dia pula untuk keluar. Kenapa dia bisa ada disini lagi? Sesuatu seperti ini membuat Lizzie berspekulasi bahwa pemuda ini sedang cemburu atas kedekatannya dengan Daxon si pria matang tampan. Tapi apa itu bisa dipercaya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD