Bab 7

1169 Words
Deru mobil memasuki halaman terdengar. Susi keluar dari mobil sambil menggeret kopernya masuk ke dalam rumah. Ia baru saja pulang dari liburan singkatnya. Saat membuka pintu rumah, ia dikagetkan dengan kedatangan pembantu barunya. “Ya ampun Nyonya. Nyonya kemana saja? Pak dokter di operasi kemarin," ucap si bibi. “Oh… Sudah di operasinya?” tanya Susi santai. "Sudah Nyonya. Pak dokter sudah baikan. Beliau barusan telepon ke rumah.” “Baguslah… sudah ya aku mau istirahat. Capek abis liburan," ucap Susi sambil menyerahkan tas yang berisi pakaian kotornya, lalu ia pun naik ke lantai dua. “Nyonya tidak ke rumah sakit nemenin pak dokter?” tanya si bibi. Susi membalikkan tubuhnya dan menatap pembantu barunya dengan tatapan tajam. “Siapa kamu mengatur-ngatur saya?!. Kamu itu hanya pembantu. Terserah saya mau datang atau ngga. Itu bukan urusan kamu! Udah sana kerja yang bener ngga usah ganggu saya," bentak Susi membuat si bibi takut. “Maaf, Nyonya," ucap si bibi. Ia pun segera pergi meninggalkan Susi. Ia memilih ke dapur daripada mendapat bentakan lagi dari nyonya rumah. Susi pun masuk ke dalam kamarnya. Ia merebahkan diri di ranjang, tidak lupa menyetel musik klasik kesukaannya. Moodnya langsung melesat tinggi. Setelah beristirahat sebentar, ia pun menanggalkan satu persatu pakaiannya lalu segera mandi. *** “Mom, kita mau nengok om dokter kan?” tanya Reyhan saat keduanya dalam perjalanan pulang dari sekolah. “Ngga sayang. Mommy sudah menjenguk om dokter kemarin malam. Tidak enak datang terus tiap hari. Mommy juga malas bertemu tante Susi. Nanti niat baik kita di salah artikan sama dia lagi.” “Tapi Rey mau ketemu om dokter, Mom.” Rengek Reyhan. “Nanti saja ya kalau om dokter udah dibolehin pulang. Sekarang kita pulang saja ke rumah, biar om dokter istirahat yang cukup biar cepat pulih," bujuk Fiona. “Ngga mau. Rey mau nengok om dokter. Ayo donk Mommy kita tengok om dokter.” Reyhan menangis meminta Fiona untuk menengok Ardian. Tak hanya itu, Reyhan juga mogok pulang sebelum ketemu dengan Ardian. Alhasil ia pun mengiyakan keinginan putranya untuk menjenguk Ardian di rumah sakit. Reyhan tampak senang karena akan menjenguk Ardian. Di perjalanan mereka mampir ke toko kue sebagai buah tangan saat akan menjenguk Ardian. Setibanya di lobby rumah sakit, Fiona merasakan jantungnya semakin berdebar dengan cepat. Jujur ia sangat ingin balik kanan dan memilih pulang ke rumah. Tapi sayangnya Reyhan yang terlalu antusias sudah berlari kencang menuju lift yang akan mengantar mereka ke ruang rawat inap Ardian. Mau tak mau Fiona pun mengejar putranya tersebut. “Nomor 3206. Mommy ini nomor kamarnya om dokter. Ayo masuk, Mom," ucap Reyhan tak sabar. Bocah tampan itu mengetuk pintu beberapa kali sampai terdengar suara dari dalam. “Om dokter," seru Reyhan saat membuka pintu kamar. Ardian tampak senang bertemu Reyhan dan juga sang ibu. “Reyhan jangan nakal sayang. Ayo turun dari sana. Itu tempat tidur om dokter nak.” Fiona melarang Reyhan yang akan ke ranjang rumah sakit. “It's oke, Fiona. Aku kangen banget sama Reyhan. Apalagi sama kamu," goda Ardian sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Fiona. Wajah Fiona memerah. Reyhan memeluk Ardian dengan erat. Ardian membalas pelukan bocah tampan itu. Ia memberi kode kepada Fiona untuk mendekat. Fiona pun duduk di kursi samping tempat tidur. Ardian menggenggam tangan Fiona dan tak melepaskannya meski wanita itu menarik tangannya. Ardian menggenggam tangan Fiona tanpa melepaskan pandangan dari Reyhan. Ia mendengarkan bocah tampan itu bercerita tentang kesehariannya di sekolah dan dirumah. Fiona yang melihat hal itu merasa terenyuh hatinya. Reyhan butuh figur seorang ayah. Sejak bercerai, ia belum pernah melihat Reyhan seantusias itu berbicara dengan orang lain selain dirinya. Ardian pun terlihat sangat berbeda. Aura kebapakannya sangat terpancar. Fiona menggelengkan kepalanya. Tidak boleh. Ia tidak boleh merusak rumah tangga orang lain. Mungkin sudah saatnya ia menjauhkan Reyhan dari Ardian. “Kenapa?” tanya Ardian melihat Fiona begitu sedih. Fiona menggelengkan kepalanya. “Bukan apa-apa, Mas," ucap Fiona bohong. Tapi Ardian tak percaya. “Kamu boleh berbohong sekarang, tapi tak ada lagi yang akan kamu sembunyikan dari aku, Fiona," ucap Ardian sedikit menekan nada bicaranya. Fiona diam tak menanggapi. *** Sejak kedatangannya ke rumah sakit, Fiona menghindar. Bahkan saat menggelar syukuran karena Ardian sudah diperbolehkan pulang dan kembali sehat pun ia tak hadir. Ardian merasa kebingungan mencari keberadaan wanita yang sudah mencuri hati dan pikirannya itu. Sungguh kepergian Fiona yang tiba-tiba membuat separuh jiwanya hilang. Hampir seminggu Fiona dan Reyhan menghilang, akhirnya mereka pun kembali ke rumah karena keesokan harinya Rey harus kembali bersekolah setelah mendapat libur semesteran. Fiona tak paham dengan dirinya yang harus pulang mengendap-endap menuju rumahnya sendiri. Tanpa ia sadari, Ardian sudah melihatnya. Ia membiarkan wanitanya itu masuk terlebih dahulu ke dalam rumah. Ardian meloncati tembok pemisah antara rumahnya dan rumah Fiona lalu menyelinap masuk ke dalam kamar pribadi Fiona. “Mas…Mas Ardi," ucap Fiona tergagap melihat Ardian sudah berdiri di dalam kamarnya. Belum sempat Fiona keluar dari kamar, Ardian menarik tangannya dengan kuat hingga tubuhnya membentur d**a bidangnya. Pintu kamar langsung otomatis tertutup. “Humph..” erang Fiona saat Ardian menahan tengkuknya dan memperdalam ciuman mereka. Fiona berusaha melawan tapi tenaga Ardian terlalu kuat. Ardian juga membalikkan posisi mereka, Fiona makin tak bisa mengelak dari ganasnya ciuman sang dokter. Dengan perlahan Fiona pun menyerah dan membalas ciuman Ardian. Ardian menggeram. Ia semakin menekan tengkuk Fiona, membuka mulut ibu satu anak itu semakin lebar dan meyusupkan lidahnya disana. Saling cecap, saling hisap dan saling sedot pun terjadi. Suara decapan keduanya pun nyaring. “Haaah…hh..hh” Fiona menarik nafas dalam dalam setelah Ardian melepas bibirnya yang telah membengkak. Ardian tersenyum melihat karyanya di bibir ibu satu anak itu. Dikecupnya dahi Fiona cukup lama, membuat getaran asmara menyengat relung hati Fiona. “Mas…” “Jangan pergi lagi, ku mohon. Aku hancur tanpa mu, Fiona," bisik Ardian membuat bulu kuduknya merinding. “Jangan mas. Ini salah. Kita tidak boleh seperti…” Ardian membungkam mulut Fiona agar tak mengatakan apapun lagi. Fiona dengan sadar melingkarkan kedua tangannya di leher Ardian. Keduanya kembali berciuman dengan mesra. Ardian mengunci pintu kamar dan menggendong Fiona menuju ranjangnya. Kedua kakinya langsung melilit pinggang Ardian. Dengan perlahan dan tanpa melepaskan ciuman, Ardian merebahkan Fiona diatas ranjang. Posisi keduanya begitu intim. Fiona bisa sangat merasakan milik Ardian yang begitu keras dan menegang dibawah sana. Ardian mengangkat wajahnya dan menatap waja Fiona yang sudah merah bagaikan tomat yang sudah matang. Menatap wajah Fiona yang tampak sendu membuat gairahnya semakin memuncak. Ia berusaha menahan diri untuk tidak membuat Fiona menjerit nikmat karenanya. Ia kembali mengecup dahi Fiona cukup lama, lalu beralih mengecup kedua mata secara bergantian dan terakhir bibir manis yang sudah membuatnya candu. “Jangan pergi lagi. Kalau sampai kamu pergi lagi, aku akan menghukum mu dengan sangat berat." Ardian sambil menandai ceruk leher Fiona. Sebuah warna merah yang menjadi pertanda bahwa dirinya milik Ardian. “I Love you, Fiona," ucap Ardian lembut. Fiona mencari kebohongan di kedua mata Ardian, tapi sayangnya tak ada kebohongan disana. Fiona pun menitikkan air matanya, “I love you too, Mas Ardian.” Fiona menjawab dengan tegas dan tanpa ragu. Senyum Ardian mengembang. Ia kembali mencium mesra Fiona dengan mesra. *** •TO BE CONTINUE •
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD