Luka Lama, Awal Penderitaan

1534 Words
Arthur meninggalkan Anna yang mulai melemas disaat para pelayan berusaha untuk menolongnya. Bagaimana Maury meminta bawahannya memanggil dokter dan tengah berusaha memberikan CPR. Anna terbatuk-batuk mengeluarkan air dari mulut, dia menangis terisak disana. “Tuan muda?” panggil Felix dibelakang. “Dia pantas mendapatkan semua itu. Dia lahir dari wanita j*lang yang tidak pantas hidup.” Kali ini Felix memilih diam. “Besok aku akan pergi ke Chicago menjenguk Kakek. Siapkan pesawatnya.” “Baik, Tuan.” Melangkah pergi ke kamar, Arthur harus menuntaskan rasa lelahnya dengan air dingin. Masih mencoba menghubungi sang kekasih, Arthur hanya mendapatkan kekecewaan. Besok pagi, dia akan pulang dulu ke Chicago. Urusannya di Italia belum selesai, Arthur akan kembali ke tempat ini dalam waktu tiga hari lagi. Tuan Muda yang terbiasa hidup dalam kemewahan, pakaian saja harus disiapkan oleh pelayan. Begitu pula dengan sepatu, seseorang sampai rela berjongkok untuk mengikatkan talinya. “Apa anda ingin sarapan di kamar, Tuan Muda?” “Tidak perlu, aku akan turun kebawah, Maury.” Kadang kala, Arthur malas untuk memotong daging hingga Maury yang melakukan itu untuknya. Terlahir dari sendok emas, Arthur diperlakukan layaknya pangeran kecil sejak lahir. “Aku akan pulang tiga hari lagi,” ucapnya. “Titip salam untuk Tuan Besar Federic, saya harap beliau lekas sembuh.” Orang lain melihat Arthur sebagai sosok yang tangguh dan juga kejam, berbeda dengan Maury. Rasa Kasihan untuk sang Tuan Muda selalu melekat dalam pikirannya. Setelah Arthur pergi, Maury menyiapkan sarapan untuk Anna. Perempuan itu baru saja selesai mandi dengan pelayan lain yang membantunya. Dia menatap Maury dengan tatapan yang lemah. Langkahnya saja harus dibantu. “Sarapan anda, Nona. Saya membawakan buah yang dikirim langsung dari Austin, supaya mengobati rindu rumah.” “Apa yang harus aku lakukan sekarang, Maury?” Wanita paruh baya itu menghela napas, dia menyuapi Anna. Tanpa ada penolakan, Maury sadar Anna juga memiliki ketakutannya tersendiri pada Arthur. “Tuan Arthur pulang ke Chicago, dia akan kembali dalam waktu tiga hari.” Anna sudah tidak peduli. Dia berada diantara hidup dan mati. “Tuan Arthur memiliki masa kecil yang kurang menyenangkan. Dulu, dia hidup dengan baik dengan kedua orangtua saling mencintai. Tapi ayahnya berselingkuh, itu membuat ibunya sakit dan meninggal. Waktu itu umur Tuan Arthur masih 8 tahun, dia harus kehilangan Ibu dan Ayahnya memiliki keluarga baru lagi.” “Lalu itu menjadikan alasan dibalik kejahatannya?” “Dulu Tuan Arthur dan keluarga sering berlibur kesini, sembari Tuan Federic mengecek perusahaannya. Dan perempuan yang mengambil hati Tuan Bernard adalah seorang wanita penghibur. Sekarang mereka hidup dengan baik dengan satu anak perempuan.” “Aku tidak meminta lahir dari Rahim wanita penghibur, Maury.” “Saya tahu, Nona. Tapi saya tidak bisa membantu banyak disini.” Tatapan Anna beralih pada pergelangan tangan Maury yang lebam, itu karna Arthur kemarin. “Maafkan aku. Apa dia juga sering berbuat jahat pada kalian?” “Tergantung mood dan kesalahan. Tapi, Tuan Arthur bisa menjadi sosok yang sangat baik jika anda menurut padanya. Dia tidak suka dibantah.” Anna diam menatap tangannya yang juga penuh lebam, bekas luka sayatan di pergelangan tangan akibat depresinya ketika hidup di keluarga Martinz. “Kehidupan baru yang aku impikan nyatanya tidak pernah tergapai. Aku pikir itu awal kesembuhanku.” Tidak diinginkan keluarga sendiri, dibully dan dipukuli. Itu bukan hal aneh untuk Anna sampai membuatnya ingin mati. Tapi dia masih mengharapkan keajaiban, dimana Tuhan akan memberikan kebahagiaan. “Aku takut dilukai, aku takut hidup, aku takut diteriaki, tapi aku masih berharap hidup bahagia.” Menatap iba pada Anna yang menangis, menatap tubuhnya yang penuh dengan luka putus asa. “Dan sekarang hidupku berada di dalam genggaman seorang iblis.” *** Arthur baru sampai di Chigaco ketika pagi hari. Mansion besar yang menjadi saksi keluarganya hancur. Sang Kakek enggan meninggalkan tempat ini karena disinilah awal mula kisahnya bersama dengan sang Nenek yang telah tiada. Federic dirawat di kamarnya sendiri, dengan dokter pribadi dan peralatan yang canggih. “Tuan Muda, Tuan Federic masih tertidur, perlu saya bangunkan?” “Tidak usah,” ucapnya melangkah masuk ke ruangan yang didominasi bau antiseptic. Tangannya terulur menggenggam jemari yang sudah keriput. “Maaf, apa aku membangunkanmu?” “Arthur?” suaranya bahkan sudah tersendat-sendat. “Hmmm… aku datang untuk menjenguk Kakek.” “Semuanya sudah selesai?” pria tua itu menoleh. “Belum, Kakek. Aku akan pergi tiga hari lagi. Dan akan aku selesaikan secepatnya.” “Apa ada masalah disana?” tanya Kakek khawatir. Tahu betul itu adalah perusahaan pertama yang kakeknya bangun, Arthur sebisa menyampaikan kalau disana baik-baik saja. “Biasanya kau tidak betah berada lama-lama di Italia.” “Karena akan ada proyek yang aku kerjakan. Jadi aku akan berada disana lebih lama. Setelah selesai, aku akan segera pulang.” “Apa kau bertengkar dengan kekasihmu itu? kalian putus lagi?” Arthur hanya terkekeh mendengarnya. “Kakek belum sarapan? Ayok aku suapi.” Mengalihkan pembicaraan. Bukan hal yang aneh untuk Federic mendengar Arthur putus nyambung dengan kekasihnya itu. “Kakek tidak yakin kalian akan bersama. Kalau mau, nanti Kakek kenalkan pada perempuan lain.” “Tidak perlu, Kakek. Aku sedang focus pada pekerjaan. Usiaku masih 26 tahun.” “Saat seusia itu, Ayahmu sudah memilikimu,” ucap Federic langsung teringat pada anak semata wayangnya; Bernard. Yang sekarang tinggal di Brazil bersama dengan keluarga barunya. Sedih sekali karena sang anak sudah jarang menghubunginya. Hubungan Federic dan Bernard memang semakin memburuk, hal itu bermula saat Bernard berselingkuh. “Jangan mengingat pria badj*ngan itu, Kakek.” “Jangan seperti itu, Arthur. Dia ayahmu, dan dia anakku.” “Dia telah menyakiti Ibu.” Kali ini Federic ikut diam. “Kakek dengar anak perempuannya sudah mulai masuk TK.” “Berhenti mencari tahu tentang dia Kakek.” Arthur tahu sang kakek merindukan ayahnya. Tapi, kejahatannya tidak termaafkan. Arthur memilih membicarakan bisnis dengan Kakek hingga mood pria itu kembali bagus. Berjanji akan mengajak Federic jalan-jaalan sebelum kembali ke Italia. Melihat kakeknya tertidur lagi, memperhatikan d**a yang masih bernapas. Arthur sangat bersyukur. “Tetaplah hidup, ada banyak pencapaian yang harus aku perlihatkan padamu.” “Kakekkkk! Ayah memukulku!” “Berhenti memukul anakmu sendiri, Bernard! Apa kau gila?!” “Dia menumpahkan s**u di pakaian Hellen!” “Berhenti membela w************n itu!” “Dia kekasihku sekarang! Jangan pernah mengatakan hal itu lagi atau aku juga akan melukaimu, Papa.” “Ayahhhhh! Lepasan! Jangan sakiti Kakek!” reka adegan itu masih tergambar dengan apik di kepala si kecil. Rahangnya mengetat, Arthur membenci ayahnya, dan semua w************n diluar sana. *** Selama di Chicago juga, Arthur tidak bisa bertemu dengan sang kekasih. Dia berada di New York dan focus pada pekerjaannya. Bukan hal yang sulit untuk Arthur menyusul, tapi Nancy menolak untuk didatangi. “Aku sedang sangat sibuk. Percuma jika bertemu juga, kau tidak akan puas. Setelah ini, aku janji akan menemuinya, Sayang. I love you.” Begitu pesan yang dia tinggalkan sebelum menghilang seharian. Nancy memang bekerja di dunia entertainment, tapi dia seorang perempuan yang tidak haus akan harta, dan pandai menjaga dirinya. Setidaknya itu pandangan Arthur terhadapnya. “Aku akan segera pulang jika pekerjaan disana selesai.” “Doakan saja Kakek cepat sembuh supaya bisa ke Italia. Kakek sedikit rindu dengan tanah kelahiran kakek.” “Melebihi rindu pada Nenek?” Pria tua itu tertawa. “Mengherankan karena Kakek mau pergi dari mansion ini ‘kan?” “Ya, biasanya Kakek ke Italia hanya jika ada keadaan darurat.” “Entahlah, akhir-akhir ini Kakek lebih merindukan masa kecil. Tapi Kakek ingin datang dalam keadaan sehat supaya bisa bertemu teman lama disana.” “Dokter dari Sisilia sudah tiba, dia akan menjaga Kakek selama aku tidak ada.” Arthur selalu ingin yang terbaik untuk Kakeknya. Memastikan semuanya baik-baik saja sebelum kembali ke Italia. Jika saja perusahaan Kakeknya tidak dalam keadaan mengkhawatirkan, Arthur akan menetap di Chicago. Dia mendarat saat sore hari. Arthur butuh istirahat. Dia dijemput oleh Felix langsung menuju ke mansion di Verona. “Selamat datang, Tuan Arthur,” sapa Maury. Pria itu tidak menjawab, tetap melangkah diikuti Felix yang membawakan barangnya. “Kau melakukan apa yang aku perintahkan?” “Sudah, Tuan. Kamera di setiap sudut tanpa sepengetahuan Nona Anna.” “Tinggalkan aku,” perintahnya. Arthur masuk ke ruang kerja yang masih berada di kamarnya. Menyalakan computer dan mengawasi Anna lewat kamera-kamera yang tersembunyi. Perempuan itu baru bangun tidur. dia minum, tapi cairan itu malah tumpah ke pakaiannya. Bahkan, Arthur memasangnya di kamar mandi. Dia melihat bagaimana Anna membuka seluruh pakaiannya. Memperlihatkan tubuh yang berisi, dengan luka yang mulai memudar. Perempuan itu hanya berdiri menghadap cermin, kemudian mengobati luka-lukanya. Ketika posisi Anna menungging membelakangi, Arthur menelan salivanya kasar. Tok! Tok! Maury mengetuk pintu sebelum masuk membawakan teh herbal. Ini sebuah kebiasaan, Maury masuk ke kamar mandi dan menyiapkan air hangat, pakaian dan juga wewangian sang majikan. Karena Arthur tidak ada di kamar, maka Maury melangkah menuju ruang kerja Arthur yang tidak tertutup. Wanita itu kaget melihat apa yang sedang Arthur perhatikan. “Maury?” “Iya, Tuan?” Pia itu menyadari keberadaannya. “Ada sesuatu di laci dasi walk in closet.” Maury segera melangkah mengambilnya. Sebuah obat? “Itu pemberian Reymond. Campurkan dengan minuman untuk perempuan ini.” “Maaf, Tuan?” “Kau mendengarku dengan baik, Maury.” “Ba-baik, Tuan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD