"Gimana kalau sabtu nanti kita ke Bogor?"
"Bogor?"
"Kita ketemu sama Ibu."
"Ibu?"
Sepoi angin asik bermain dengan rambut panjang nan lembut milik perempuan yang kini mengalihkan seluruh perhatiannya pada laki-laki di sebelahnya. Sebuah pemikiran cepat menyambar pertanyaannya. Oh, sudah sampai, ya? Mari kita keluarkan senjatanya kalau begitu.
"Untuk apa kita ketemu sama Ibu kamu?" Kali ini, lipatan di dahi perempuan itu sedikit memudar. Ada senyum palsu yang biasa menemaninya untuk kondisi yang serupa.
"Ya tentu aja aku mau kenalin kamu sama Ibu." Masih dengan sabar, laki-laki di sebelahnya itu menjelaskan. Senyum manis pria berkacamata itu masih melekat erat di wajahnya. "Gak perlu khawatir. Ibu pasti terima kamu. Gak ada yang gak suka sama kamu. Kamu tau itu, kan?"
Oh, ya, tentu saja. Siapa yang bisa melawan pesona gue? Gak ada!
Sejenak mengambil napas, perempuan itu mempersiapkan diri untuk apa yang akan ia dapatkan setelahnya. Ada beragam respon yang kerap ia terima sebelum ini. Bahkan yang menyakitkan sekali pun. Diam-diam ia berdoa semoga saja kali ini tidak ada kekerasan. Tubuhnya baru saja selesai dimanja di salon langganannya, siang tadi. Semoga muka gue selamat, deh. Habis perawatan, astaga!
"Memangnya untuk apa aku ketemu sama Ibu kamu? Dan kenapa juga aku harus takut sama beliau?"
Sekarang, kerut itu berpindah seluruhnya pada laki-laki tersebut. "Karena ...." Ada jeda sesaat sebelum akhirnya sang laki-laki tersadar akan apa yang tengah terjadi. "Kamu gak lagi bercanda, kan?" Ada ketidakyakinan dalam nada suaranya. "Aku mau kenalin kamu sama Ibu, karena Ibu jelas harus kenal lebih dulu sama kamu sebelum kita bicara tentang rencana ke depan nanti."
Perempuan itu, Amanda Shesya, diam-diam tersenyum. Betapa ia sangat senang saat ini. Melihat kebodohan yang kerap ditunjukkan para pria di sekitarnya adalah kepuasan tersendiri untuknya. Menikmati saat-saat ia berhasil menghancurkan sebuah kebahagiaan semu yang tentu saja hanya dirasakan sebelah pihak. Sungguh dirinya tidak sabar untuk melihat bagaimana akhir dari permainan ini dan bermain dalam arena baru nantinya.
"Oh, wow! Ada yang salah di sini? Atau aku yang salah tangkap?" Dengan cepat disambarnya penjelasan penuh ketakutan itu. "Kenal sama aku? Rencana? Masa depan? Kita? Memangnya ada apa sama kita? Rencana apa pula yang kamu maksud?"
"Apa maksud kamu?"
Berdiri dari duduknya, Shesya menyempatkan diri untuk mengibaskan rok setengah pahanya yang sedikit kotor. Ditatapnya lekat-lekat laki-laki yang bukan tidak mungkin sebentar lagi akan menumpahkan segala emosinya itu. "Maksudku? Well, sepertinya kamu salah mengartikan apa yang terjadi di antara kita. Untuk apa aku berkenalan dengan Ibumu? Berkenalan sebelum membicarakan masa depan denganku? Memangnya ada hubungan spesial apa di antara kita?
"Dude, kalau maksud kamu kedekatan kita selama ini ... jelas di sini kamu yang salah paham. Aku menemani kamu karena kamu yang baru aja batal bertunangan. Kupikir kamu pasti sedih ditinggal. Itu doang. Gak lebih dan gak pernah berlebih, memang." Hilang sudah image perempuan manis yang selama ini ia pakai selama bersama laki-laki tersebut. "Silakan kamu cerna baik-baik kalimatku tadi, tapi maaf aku gak bisa menemani kamu lagi sepertinya. Ada kerjaan yang lebih penting dari kamu. Jadi ... selamat tinggal, Yuda."
Dari ekor mata, ia masih dapat melihat dengan jelas wajah kemerahan laki-laki tersebut, berikut dengan bibirnya yang mendesiskan sumpah serapah. Ia berani bertaruh, tidak menunggu waktu dua puluh empat jam, laki-laki itu pasti akan mencarinya untuk meminta penjelasan atau justru menumpahkan kekesalan yang sedang ia tahan mati-matian.