"Siang, Mba Shesya."
"Mari makan, Mba Sya."
Amanda Shesya tersenyum menanggapi para karyawannya. Empat tahun yang lalu, bermodal kenekatan dan sarjana marketing yang ia banggakan waktu itu, Shesya mendirikan sebuah kafe kecil-kecilan di daerah pusat Ibukota. Mujur, usaha tersebut berkembang dengan cukup cepat, hingga di tahun ketiga Shesya sedikit merombak bangunan kafe untuk membuka bakery tepat di sebelahnya. Pengunjung yang ingin menikmati dessert namun tidak dapat duduk lama di kafe bisa membelinya di Amore Bakery.
Memang tidak semua makanan yang dijual di Amore Bakery adalah makanan dalam menu Amore Cafe. Hanya dessert yang mereka jual. Namanya juga bakery, menjual berbagai jenis makanan ringan seperti kue dan jenis makanan manis lainnya. Dan kini, usaha kecil bermodal nekat itu tidak lagi dapat dikatakan usaha coba-coba. Memiliki pelanggan tetap yang tidak sedikit membuat Shesya cukup berbangga hati.
"Val, tadi aku liat bolu gulung sisa tiga kotak di display. Tambah lima lagi, ya. Masing-masing satu all varian." Kelingking kanan Shesya menjawil adonan kue sponge. "Kurang kental ini. Mix agak lamaan lagi, ya."
"Iya, Mba. Belum selesai kok itu. Nanti aku minta Karin bikin adonan bolu gulung, biar selesai ini bisa langsung aku bantu."
Shesya mengangggukkan kepalanya beberapa kali, "yaudah, aku mau ke ruanganan Meisya. Kalian jangan lupa istirahat. Makan. Jangan bikin makanan buat orang aja bisanya." Setelahnya, perempuan itu berlalu begitu saja.
Di lingkungan anak-anak Amore, Shesya memang terkenal sebagai bos yang jutek tapi loyal. Ia tidak akan segan-segan menegur karyawannya yang salah, meski hanya karena hal remeh sekali pun. Walau nada berbicara perempuan itu tidak tinggi bahkan cenderung rendah dan datar, di sanalah letak aura menakutkan seorang Amanda Shesya. Namun, di balik itu semua Shesya adalah bos yang loyal. Hampir setiap bulan ia mengeluarkan bonus insentif untuk para karyawan Amore. Dari divisi front liner sampai back office, semua akan kebagian jatah insentif setiap pencapaian target yang selalu tembus setiap bulannya.
Langkah kaki jenjang Shesya membawanya ke ruangan admin. Ada Meisya dan dua orang admin lainnya di sana. Dan seorang laki-laki yang jelas sekali bukan karyawan Amore jika dilihat dari pakaian yang ia kenakan. Laki-laki itu melengos kesal saat melihat Shesya yang mengambil tempat di sampingnya.
"Apa? Dasar pengangguran!" Satu toyoran melayang ke kepala Shesya usai mengucapkannya.
"Ogah gue nolongin lagi. Awas aja kalo kadal-kadal lo gangguin lagi, ya."
Shesya mendesis kesal jika mengingat apa yang terjadi beberapa hari yang lalu. Wajah mulus yang selama ini ia jaga dan banggakan berubah merah keunguan dengan denyut yang cukup menyiksa. "Kalau lo tega liat gue kayak kemarin, sih, gapapa. Silakan." Perempuan itu melangkah ke sudut ruangan, mengambil s**u coklat dari lemari pendingin yang selalu ia titipkan setiap pagi di sana. "Lagian, ngakunya pengacara kok tiap hari nongkrong di sini."
Laki-laki itu adalah Tama. Pratama Batubara, satu di antata dua sahabat yang Shesya miliki sejak di bangku high school. Laki-laki yang kebal akan pesona Shesya dan mulut pedas perempuan itu. Meski begitu, Tama adalah garda terdepan yang akan melindungi Shesya dari bahaya apa pun itu. Seperti kejadian beberapa hari yang lalu saat seseorang tiba-tiba datang menghajar Shesya membabi-buta. Diawali dengan jambakan yang merontokkan beberapa helai rambut serta teriakan yang memekakkan telinga, dan ditutup dengan tamparan panas di pipi kiri perempuan tersebut.
Kali ini dugaan Shesya meleset jauh. Bukan korbannya yang mendatangi untuk meminta penjelasan atau jenis pertanggungjawaban lainnya. Justru perempuan yang telah ditinggalkan korban demi berdekatan dengan Shesya-lah yang datang. Dengan ganas, perempuan itu melemparkan sumpah serapahnya pada Shesya yang ia anggap tidak tahu diri karena sudah merebut laki-lakinya, lalu meninggalkan laki-laki tersebut begitu saja. Ini adalah kejadian pertama dari sekian banyak korban Shesya sebelumnya. Maka dari itu Tama sedikit bingung bagaimana cara melindungi Shesya kemarin, sebab ia tidak mungkin melawan seorang perempuan.
"Farah kemana, Mei?" tanya Shesya saat baru menyadari bahwa koordinatornya belum terlihat sejak tadi.
"Ada di dapur topping. Lagi bantu-bantu. Nanti sore ada dua orderan yang harus diantar."
"Menunya banyak?"
"Lumayan." Meisya membuka buku catatan orderan, lalu menyebutkan beberapa jenis pesanan yang harus diantar sore nanti.
"Buat acara apa, sih? Untuk acara sore-sore gini, orderannya lumayan, lho."
Sesaat, Meisya melirik ke arah Tama yang tengah sibuk dengan ponselnya. "I think lo lebih tertarik dengan siapa pelanggannya, bukan apa acaranya," ucap perempuan itu, kembali melirik Tama.
Satu lagi sahabat Shesya selain Tama adalah Meisya Faraya. Perempuan yatim piatu yang sudah sejak enam tahun belakangan tinggal bersama Shesya itu sudah seperti kakak untuknya. Lalu, jika Tama adalah pelindung Shesya di saat perempuan itu dalam masalah, maka Meisya adalah kakak yang akan dengan senang hati bermain bersama dengan saudaranya. Bermain dalam hal apa pun itu. Termasuk memberikan informasi mengenai mangsa baru untuk Shesya. All right, Meisya memang kerap memperkenalkan Shesya pada laki-laki di luaran sana untuk dipatahkan hatinya.
"Then who?"
Ada senyum misterius yang diperlihatkan Meisya sebelum menjawab, membuat Shesya merasa tertarik untuk apa yang akan didengarnya. Begitu pun dengan Tama yang kini sudah menjauhkan perhatian dari ponsel di tangannya. "Aurelia Vanessa," jawab perempuan itu, masih dengan senyum di wajahnya.
Hap! Baik Shesya maupun Tama kini saling melempar pandangan. Namun sayang, informasi belum selesai. Seperti yang diketahui, Meisya adalah kakak perempuan yang senang bermain dengan saudaranya. Informasi selanjutnya berhasil membuat Tama benar-benar menyimpan ponselnya dan berjalan mendekat pada kedua sahabatnya itu.
"Dia baru aja tunangan dan nanti sore adalah acara kumpul-kumpul kedua keluarga. Gue rasa bakalan ada tunangannya di sana, dan ada kemungkinan mereka bakalan bicarain soal hari, tanggal, dan bulan baik."
⚫⚫⚫⚫⚫
Jadi, di sinilah Shesya sekarang. Setelah selesai dengan sedikit perundingan, menyusun rencana awal, ketiga sahabat itu akhirnya memutuskan untuk ikut mengantar pesanan ke rumah Aurel. Tidak. Hanya Shesya dan Meisya yang ikut turun mengantar, sedangkan Tama tetap berada di dalam mobil, mengawasi keadaan luar. Ketika Meisya sibuk membantu tim untuk mengangkat pesanan, Shesya dengan percaya diri mencari sang tuan rumah. Sedikit menyapa teman lama, katanya.
Seakan Dewi Fortuna sedang berada di pihaknya, Shesya lebih dulu bertemu dengan tunangan Aurel. Laki-laki berkacama dengan frame tipis itu menyapanya saat berpapasan di teras rumah. Lembut dan manis adalah kesan pertama yang Shesya dapat di pertemuan pertama mereka. Tipikal yang sangat mudah untuk Shesya dekati. Tipikal laki-laki permen karet. Manis, lembut, namun terasa hambar jika terlalu lama bermain bersama.
"Mau ketemu sama Aurel dulu? Dia tadi sih pamit ke kamar sebentar. Ada urusan kerjaan yang mendesak, katanya," tawar laki-laki itu, tunangan Aurel
Shesya melirik Meisya yang berjalan kembali ke mobil. Pekerjaan mereka sudah selesai, itu berarti Shesya harus segera pamit dari sana. "Mau banget, sih. Udah lama gak ketemu juga. But, next time maybe. Kami sudah harus balik lagi ke Amore. By the way, thank you lho sudah order di Amore."
"Gak masalah. Kue-kuenya enak, kok. Gue biasa kalau ada meeting sore sering di Amore."
Informasi bagus! "Well, see you next time, Mas."
Mobil yang tadi membawa kotak-kotak berisi kue pesanan sudah lebih dulu pergi. Shesya tahu pasti atas perintah Meisya. Sedang sedan putih milik Tama sudah menanti, siap mendengar dongeng singkat darinya untuk nanti akan dijadikan patokan bagaimana rencana mereka selanjutnya. Ah, Shesya rasa permainan kali ini jauh lebih seru sebab Tama mengambil peran di dalamnya, tidak sekadar sebagai pelindung Shesya seperti biasanya. Semakin tipis jaraknya dengan letak Tama memarkirkan mobil, degub jantung Shesya semakin menggila. Adrenalinnya terpacu, tidak sabar untuk bermain di level selanjutnya.
"Jadi?"
"Yang tadi salah satu target kita, kan?"
"Please, bilang sama gue kalo dia gak kebal sama pesona lo."
Shesya tertawa geli melihat kedua sahabatnya. Sungguh sangat bersemangat. Oh, Shesya semakin menyukai permainan ini.
"Sabar kali, woy! Lagian, siapa sih yang kebal sama pesona gue? Ini dong nih orangnya," telunjuk kanan Shesya mengarah tepat di depan wajah Tama. "Well, dia memang salah satu target kita. Mr. Bubblegum."
"Bubblegum?"
"Permen karet?"
"Yap, true. Dia terlalu manis dan lembek sebenarnya. But, ya ... karena ini buat duo kesayangan gue, Mr. Pratama Batubara dan Mrs. Meisya Faraya, gue buat sedikit pengecualian."
Benar. Target kali ini adalah atas usulan Meisya memang. Namun berbeda dari sebelumnya, persetujuan mengenai target justru berasal dari Tama. Jika biasanya ia tidak mengambil peran dalam permainan, bahkan terlihat seolah menunggu kapan Shesya akan bosan dengan permainannya sendiri, tidak untuk sekarang. Tama dengan begitu bersemangat meminta Shesya untuk bermain. Bahkan ia ikut mengatur strategi serta mengawasi jalannya permainan.
Tanpa perlu diberitahu, Shesya dan Meisya sangat paham alasan di balik keputusan Tama untuk ikut serta. Sebab dari sanalah kedekatan mereka terjalin hingga sekarang. Tidak ada kejadian dari beberapa tahun yang lalu yang terlupakan oleh ketiganya, meski hal kecil sekali pun. Bahkan perasaan mereka pun masih sama kuat. Namun, mereka harus berhati-hati dan tidak mengikuti emosi semata, jika tidak ingin sampai game over. Sudah banyak permainan yang diselesaikan Shesya dengan top score, maka kali ini pun harus sama.
Kenangan masa high school. Tidak sedikit pun Shesya berniat untuk melupakannya. Semua apa yang terjadi saat ini, semua perubahan yang terjadi pada dirinya, dan semua yang telah ia lalui karenanya tidak mudah untuk Shesya terima begitu saja. Hidup ini adalah sebuah permainan dengan manusia itu sendiri sebagai tokoh karakternya. Jenis permainan? Silakan pilih sendiri. Setidaknya begitu prinsip hidup yang dipegang perempuan yang sebentar lagi merayakan hari lahirnya yang kedua puluh enam itu.
"Jadi, kapan kita mulai permainannya?" tanya Meisya. Terlihat jelas dari tatapan perempuan itu bahwa ia masih ingin melanjutkan apa yang terjeda beberapa tahun silam.
Shesya tidak menjawab. Untuk sekarang ia hanya akan bertindak sesuai perintah Tama dan Meisya. Permainan kali ini benar-benar bukan miliknya sendiri. Namun tidak pula menyurutkan semangat Shesya. Meski ia masih mengingat bagaimana rasanya saat kejadian semasa SMA itu menimpanya, Shesya akan mempersilakan kedua sahabatnya lebih dulu menyelesaikan tujuan mereka. Urusannya bisa nanti. Sebab pasti akan terasa lebih mengasikkan jika ia melakukannya di akhir permainan.