Penghujung Asa 2

1073 Words
Caren menangis sejadi-jadinya. Air matanya tumpah dalam pelukan Richard. Richard pun tak bisa berkata apa-apa. Harapan keduanya untuk bisa memiliki anak semakin menipis. Mau tidak mau Caren harus mengambil jalan kemoterapi untuk bisa menyelamatkan rahimnya. Richard pun mengiyakan saja apa mau Caren. Tetapi jalan kemoterapi tidak begitu saja mudah Caren lalui. Ada beberapa efek samping yang harus ia rasakan. Seperti pagi ini saat ia menyisir rambutnya. Tiba-tiba sisir yang ia pegang dipenuhi rambut yang sangat banyak. Caren sampai mendelik melihat bayangan sisir itu dicermin. Saat itu Richard masih terlelap dalam tidurnya. Caren berusaha menahan jeritannya yang hampir saja mencuat ke udara. Ia tidak mau Richard jadi khawatir atau yang terburuk adalah meragukannya untuk bisa memberikan keturunan. Tiba-tiba perut Caren terasa mual. Ia cepat-cepat memuntahkan isi perunya di toilet. Caren lalu bercermin kembali menatap wajahnya yang kini tampak berubah. Kulitnya tampak kering dan kusam dan itu sangat jelas terlihat. Caren berbalik cepat-cepat seakan tak mau melihat bayangannya sendiri. Ia menyentuh wajahnya yang kini terasa kasar. Ia kembali ke kamar dan melihat Richard masih menggeliat dibalik selimutnya. Bayangan Caren tampak lagi di cermin meja riasnya. Tubuhnya tampak kurus tak berbentuk. Caren lalu menatap Richard lagi. Bagaimana bisa Richard tak berkata apa-apa padahal ada banyak perubahan yang ia alami. Ia tahu Richard adalah pria yang sangat setia sekali pun ia adalah perempuan cacat tetapi Richard tak akan pernah berkhianat. Tetapi bagaimana bisa pria itu tidak berkomentar apa pun tentang penampilannya? Caren lalu segera mandi dan menyiapkan keperluan Richard sebelum pergi ke kantor. Saat ia tengah berdandan Richard bangun dari tidurnya dan matanya langsung tertuju pada Caren yang sedang memakai lipstick. “Mau ke mana?” tanya Richard. “Tidak ke mana-mana,” jawab Caren. “Biasanya kau tidak berdandan kalau hanya di rumah,” Richard mengerutkan dahi. Caren tersenyum “apa tidak boleh kalau ingin terlihat cantik di depan suamiku?” Richard beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah mendekat. Ia mengambil beberapa helai rambut Caren dan membelainya. Helai-helai rambut itu kemudian rontok ke tangan Richard. Pria itu kemudian mendelik. Pun Caren yang hanya bisa terperangah tanpa bisa mengatakan apa-apa. Melihat wajah mendung itu Richard lalu duduk di sisi Caren. Ia menyelipkan sisa rambut Caren yang ada di tangannya ke belakang telinga Caren lalu tersenyum lembut. Ia mengecup kening Caren. “Kau cantik sekali,” ungkapnya. Mata Caren meredup “ini karena aku berdandan, kalau tidak aku bahkan tidak terlihat seperti manusia normal,” keluhnya. “Siapa yang bilang seperti itu?” Mata Caren mulai berair “bagaimana kau bisa tidak peduli pada perubahan yang terjadi padaku, apa kau tidak jenuh melihat istrimu yang jelek ini?” “Di mataku kau adalah perempuan paling cantik, sayang.’ “Bohong,”  Caren merengut “apa kau tidak melihat kulitku yang kusam, kau tidak lihat aku sangat kurus, kau pasti sangat malu saat berjalan denganku.” Richard tersenyum lembut “aku tidak malu, untuk apa aku malu?” “Tentu saja akan jadi memalukan jika kau berjalan bersamaku, bagaimana jika teman-temanmu melihatku, mereka pasti akan menertawakanmu.” Richard menagkup wajah Caren “kau selalu cantik buatku apa pun yang terjadi,” pungkasnya. Caren menitikkan air matanya dan makin deras. Richard lalu memeluknya erat-erat. Caren menenggelamkan diri dalam kehangatan itu. Richard benar-benar suami yang sempurna. Caren bahkan hampir tidak bisa mencari apa yang kurang dari Richard. Sungguh suatu mimpi yang jadi kenyataan memiliki suami seperti Richard. *** Entah ini sudah kemoterapi yang ke berapa kali. Caren bahkan sudah tidak bisa menghitungnya. Rasanya ia sudah sangat lelah dengan penyakit yang terus menggerogoti dirinya. Rambutnya sudah tak setebal dan seindah dulu akibat efek samping dari kemoterapi yang ia jalani. Berat badannya semakin habis. Ia sudah benar-benar tampak seperti orang sekarat. Setiap hari Caren selalu dihantui rasa takut. Bagaimana kalau ia benar-benar tak bisa punya anak. Atau yang terburuk bagaimana kalau Richard tak mencintainya lagi. Meski ia enggan membayangkannya tetapi entah kenapa hal itu seakan perlahan menjelma menjadi nyata. Setiap malam Caren menangis. Ia tahu mungkin ini juga efek samping dari kemoterapi itu. Tetapi mengapa rasanya sedih begini. Seakan hidupnya tidak lagi berarti. Ia bahkan sudah tidak bisa melayani Richard dengan baik di ranjang. Kemoterapi itu sungguh mempengaruhi diri Caren. Ia jadi tidak nafsu makan. Sulit tersenyum. Sering merasa sedih. Gairahnya menurun sehingga Richard kerap kali harus memendam rasa inginnya. Semua berubah dan hal itu membuat keadaan semakin kacau. Sampai tiba akhirnya Caren tidak bisa lagi bertahan. Tubuhnya sudah sangat lelah menerima pukulan bertubi-tubi. Dan dokter memutuskan… “Kami harus melakukan operasi pengangkatan rahim untuk menyelamatkan hidup Anda.” Saat itu Richard hanya diam seolah ia butuh banyak waktu untuk mencerna lemparan batu yang menimpa kepalanya. Sementara Caren, harapannya hancur sudah. Ia menangis sejadi-jadinya. Terlebih jika melihat Richard yang tak bersuara malah membuat Caren semakin takut. Kali ini ia tak bisa menebak isi kepala Richard. Tiba-tiba Richard menatap Caren “kau harus sembuh,” putusnya mantap. Caren menatap Richard. Isak tangisnya tertelan saat itu juga. Seolah-olah itu bukan hanya keputusan Richard tetapi juga perintah untuknya. Pelupuk mata Caren dipenuhi air mata lagi. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah. *** Operasi berjalan lancar. Caren dinyatakan sembuh. Tubuhnya terasa kosong sekarang, seperti hatinya ynag kini tidak lagi dipenuhi harapan. Entah kenapa suasana rumah jadi terasa berbeda. Di setiap sudutnya terasa dingin seakan tak pernah ada kehangatan menyentuhnya. Mungkin Karena Richard yang mulai berubah. Berulang kali Caren meyakinkan mungkin itu hanya karena ia merasa bersalah saja jadi ia merasa Richard berubah. Tetapi sekarang ia yakin bahwa Richard memang berubah. Seperti pagi ini, pria itu bahkan hanya melewati Caren yang menunggu di meja makan. “Aku pergi dulu,” kata Richard. “Tidak sarapan dulu?” tanya Caren. Richard terus berjalan tanpa menoleh pada Caren “maaf, aku buru-buru.” Selepas Richard pergi Caren menjatuhkan diri di tempat duduk. Lagi-lagi ia hanya bisa mengeluarkan air mata. Selera makannya pun ikut hanyut terbawa tetesan air mata pedihnya. Richard seakan sudah tak peduli padanya. Tak pernah lagi menatapnya dengan cinta. Tak pernah lagi menunjukkan wajahnya yang memuja. Sikapnya selalu dingin. Mereka bahkan tak pernah lagi duduk berdua danbicara tentang cinta dan masa depan. Caren menyingkirkan masakan di meja, menghempaskan piring-piring itu ke lantai hingga semuanya menjadi berantakan. Semua ini salahnya. Salah dirinya yang gagal menjadi seorang perempuan. Menghasilkan keturunan saja tidak bisa. Caren menjatuhkan diri ke lantai. Berlutut di sana dan menangis sejadi-jadinya. Kenapa ini harus terjadi padanya. Mengapa ia tak mati saja. Caren pun gelap mata. Ia mengambil pecahan piring di lantai dan menyayat nadinya sendiri   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD