“Kak, bagian administrasinya kebetulan sudah selesai. Jadi tidak masalah kalau Kakak mau ke kantor sekarang,” ucap Ara langsung saat mereka keluar dari area administrasi.
Karena sekarang dia hanya tinggal mengambil pemotretan dan sekalian melihat-lihat area kampus. Jadi Agra bisa bebas.
“Kau masih ada pemotretan untuk kartu mahasiswi,” jawab Agra santai.
“Kalau sekedar mengambil foto tidak perlu tanda tangan wali, Kakak tak perlu khawatir.” sanggah Ara cepat. “Kebetulan aku mau berkeliling kampus ini nanti, jadi Kakak kembali saja ke kantor.” ujarnya lagi.
Anehnya laki-laki itu malah menolak, “Setidaknya sampai pemotretanmu selesai, baru aku kembali ke kantor.” tegas Agra tanpa ragu.
“Kan sudah aku bilang-” Kalimat Ara tercekat saat manik abu itu menatapnya tajam. Tidak ingin dibantah, Ara tahu itu. Alhasil gadis itu hanya bisa mendesah panjang. “Hh, baiklah!”
“Bukannya Kakak ada rapat penting hari ini, kak Merry sampai marah seperti itu. Aku jadi tidak enak,” gerutu Ara lagi.
“Kau tidak usah memikirkan hal itu. Ibu dan ayah sudah menyerahkan semua tanggung jawab menjagamu di sini padaku,” Singkat dan jelas.
Dalam langkah mereka menuju area pemotretan khusus. Ara hanya bisa melirik bagaimana perawakan tinggi itu berjalan sejajar dengannya.
Sosok dingin dan ketus, ‘Ternyata dia baik juga,’ batin Ara, tersenyum tipis. Oh, ya membahas masalah Merry, Ara baru ingat. “Tapi aku benar-benar tidak tahu kalau ternyata kak Merry itu kekasih, Kakak.” ucap sang Casie tiba-tiba mengubah alur percakapan mereka.
Manik abu itu hanya melirik ke arahnya, “Kata kak Merry kalian akan segera menikah akhir tahun ini? Itu benar, Kak?” tanya Ara tanpa menyadari perubahan ekspresi Agra.
Lelaki itu hanya diam, menatap kembali ke depan. “Kak, kok diam saja? Benar atau tidak?” Berjalan mendekati Agra. “Kalau Kakak menikah dengan kak Merry aku setuju kok. Kak Merry itu sempurna, baik, tubuhnya seperti model, cantik, pintar masak, apalagi yang kurang?” Tersenyum lebar.
“Nanti untuk masalah pernikahan dan urusan lain Kakak jangan khawatir. Aku pasti bantu.” tukas Ara semangat.
Kali ini Agra hanya mendengus sinis, “Kau tidak perlu membantu.” jawab lelaki itu tiba-tiba. Alis Ara tertekuk heran, “Lho, kenapa? Aku ‘kan adikmu ya harus bantu dong,” tukasnya polos.
“Tidak usah. Fokus saja dengan kuliahmu.” Semakin dingin dan ketus. Ara bingung, kenapa sepertinya Agra benci sekali dengan dia.
Mendengus kesal, “Kakak sepertinya benci sekali kalau aku ikut campur dalam urusanmu,” Melirik ke arah Agra tajam, “Bisakah setidaknya satu hari saja Kakak berhenti ketus dan dingin, aku hanya berusaha membantu.” lanjutnya. Berjalan lebih dulu dari Agra, dengan emosi yang semakin naik.
“Pernikahanmu juga ‘kan penting, kita ini keluarga. Apa sampai sekarang hanya aku saja yang berpikir seperti itu?” Ekspresi Ara meredup. Kedua tangan terkepal seolah tidak bisa menahan diri lagi.
Ia rasa Agra sudah cukup keterlaluan. Bahkan setelah bertahun-tahun tidak bertemu, sikap Agra justru bertambah dingin.
“Lebih baik Kakak pulang saja, aku akan pulang sendiri nanti.” tegas Ara lagi. Tanpa menyadari langkah lelaki di belakangnya perlahan semakin cepat.
Satu hal yang tidak bisa Agra kendalikan lagi. Saat tangan besar itu menangkup telapak sang Casie. Tubuh Ara menegang, langkahnya terhenti namun Ia masih memunggungi sang kakak.
Deru napas pelan sampai ke telinga, “Mungkin hanya kau yang berpikir seperti itu.” Tidak bisa melihat seperti apa ekspresi Agra sekarang. Ara hanya membeku,
Suara yang berat terdengar jelas, “Apa maksudmu?” balas sang Casie, tangan Agra masih menggenggam erat jemarinya.
Hening selama beberapa detik, sampai genggaman itu terlepas. “Entahlah.” Satu jawaban singkat. Ara merasakan seseorang memperbaiki anak rambutnya yang berantakan. Menyampirkan tepat ke belakang telinga. “Perbaiki penampilanmu dulu, Ara.” Mengalihkan pembicaraan.
Panggilan nama terdengar berat namun pelan. Jemari besar terasa hangat menyentuh telinganya. Sampai tubuh tegap itu menjauh. “Aku akan menunggu di area pemotretan.” ucap lelaki itu lagi.
Ara ingin sekali menoleh ke belakang, aneh. Dia sendiri tidak paham. Tapi satu yang pasti, Ia hanya bisa melangkah menjauh, dengan napas terengah dan degup jantung aneh yang perlahan semakin cepat.
Itu hanya sedikit dari sikap aneh Agra padanya, apa Ara akan terus bersikap pura-pura tidak tahu?
‘Pasti hanya perasaanku saja.’ batinnya tak percaya.
***
Ara menatap pantulan dirinya di kaca. Apa ekspresinya nampak aneh sekarang? Ia rasa tidak. Pikiran itu tanpa sadar teringat satu perhatian kecil yang Agra berikan tadi.
Jemarinya menyentuh telinga, memperbaiki rambut yang nampak berantakan. Ara menarik napas panjang, “Kendalikan dirimu, Arabella.” bisik sang Casie berulang kali. Dia sudah mengingatkan diri hampir ratusan kali mengenai kejadian ini.
Meneguk ludah tanpa sadar, menatap lekat wajahnya di depan kaca. Pelan kedua tangan itu menepuk pipi cukup keras.
“Fokus!” Tersenyum lebar, itu hanya sedikit perhatian aneh yang Agra berikan padanya. Tidak lebih.
‘Lagipula sebentar lagi dia akan menikah dengan kak Merry, jadi tidak mungkin,’ batinnya lagi. Sepolos-polosnya Ara, dia juga punya sifat yang sensitive mengenai sesuatu. Apalagi jika Agra hampir berulang kali melakukan sesuatu mengejutkan bagi Ara.
Lagi dan lagi.
‘Tenangkan dirimu. Bersikap seperti biasa saja, biasa,’ Tarik napas dalam-dalam lalu hembuskan. Tutup mata, jangan dibayangkan lagi. Tapi tidak bisa, “Ahk!” Reflek berteriak kecil. Padahal dia baru saja sampai di Negara ini dan tinggal beberapa hari saja bersama sang kakak.
Tapi kenapa sikap Agra justru semakin aneh?! Bukan aneh dalam artian apa, tapi mereka ‘kan kakak beradik. Ya, walaupun tidak ada hubungan darah sama sekali, tetap saja!
“Oke, aku sudah tenang.” desah Ara kesekian kali, memperbaiki rambutnya kesekian kali. Memastikan diri sudah tidak berantakan lagi. Kalau dia terlalu lama, bisa-bisa Agra curiga.
“Selesai.” bisik sang Casie cepat. Bergegas keluar kamar mandi, Agra bilang dia menunggu di area pemotretan ‘kan? ‘Hh padahal dia bisa kembali ke kantor saja,’ desah Ara kesal.
***
Agak meleset dari dugaan Ara, Ia kira Agra akan diam dan tenang menunggu di luar area pemotretan. Jadi dia bisa fokus dalam pengambilan foto tanpa malu-malu. Tapi ternyata,
“Kakak, kenapa ikut masuk?!” tukas Ara cepat, menatap tajam sosok tegap di depannya. Agra nampak santai, malahan lelaki itu sudah ada di dalam ruang pemotretan lebih dulu darinya. “Melihat pemotretanmu tentu saja.” jawab lelaki itu singkat.
Pandangan Agra tetap tertuju ke arah kameraman yang mereka temui tadi. Dalam satu ruangan yang cukup luas diisi oleh lima mahasiswa baru, mereka menunggu giliran. Latar belakang khas Universitas Chigago dengan beberapa atribut tambahan. Mahasiswa/I hanya perlu mengabdikan dua pose saja.
Satu formal dan satu lagi bebas atau santai untuk perkenalan mahasiswa nantinya. Alat-alat dan persiapan di dalam ruangan juga tak main-main, semua nampak professional dan sempurna.
Ara berdecak kagum, dia merasa beruntung karena bisa masuk ke Universitas sekeren ini. Mengabaikan Arga, gadis itu langsung berjalan menuju empat orang lain yang menunggu giliran untuk difoto.
Tegang, semangat dan rasa tak sabar. Semua peserta juga nampak gugup. Mungkin hanya dia saja yang datang-datang membawa wali masuk ke dalam ruangan.
‘Aish,’ Ara menggeleng lelah dalam hati. Setidaknya Agra bisa diam dan tidak membuat masalah. Semoga saja.
***
“Arabella Casie Tanuwidja.” Saat nama Ara dipanggil oleh seorang wanita yang bertugas sebagai asisten kameraman tadi. Ara bergegas bangkit dari kursinya. “Ah, iya saya!” tukasnya cepat.
Berjalan menghampiri sang wanita, sosok itu langsung menjelaskan beberapa pose yang harus Ara ambil. Sesuai dengan pengambilan foto sebelumnya, Ara lebih cepat paham.
“Baiklah.”
Pandangan Ara tertuju ke arah kameraman muda yang kini menatapnya sembari tersenyum. “Kita bertemu lagi nona cantik, kenalkan nama saya Oscar.” Mengiring untuk berjabat tangan.
“A-ah ya salam kenal, Sir Oscar.” Tentu saja mereka menggunakan bahasa asing saat berinteraksi. Walaupun kemampuan bahasa inggris Ara tidak bisa dibandingkan dengan Agra. Tapi cukup-lah untuk berbincang-bincang santai seperti saat ini.
Mereka berjabat tangan sesaat. “Senang bisa berkenalan denganmu, nona cantik.” Percakapan yang singkat, tapi entah kenapa punggung Ara terasa sakit, ibarat kata ada orang yang kini tengah menusuk hanya dengan pandangan saja.
Ya, siapa lagi kalau bukan Agra.
Ara mendesah panjang, ‘Kenapa dia malah marah, aneh-aneh saja,’ batin sang Casie bingung. Berjalan menuju area khusus pengambilan foto. Di sana tersedia tempat duduk yang sudah dirias formal.
‘Tinggal duduk dan ambil foto. Selesai.’ batin Ara menenangkan diri.
“Oke, rileks ya. Tersenyum seperti biasa, santai, jangan gugup. Hadap ke sini, anggap saja kamera ini tidak ada.” ucap Oscar guna menenangkan Ara yang masih merasa gugup.
Mengangguk paham, saat Ara duduk. Pandangan yang awalnya terfokus ke arah kamera, Ara berhasil mengambil beberapa take foto. Semua awalnya berjalan sangat lancar.
Gadis itu bernapas lega. Tepat saat pengambilan foto terakhir, entah ini hanya perasaannya saja. Tapi Ia merasakan tatapan yang cukup lekat ke arahnya.
Kedua manik Ara reflek terfokus ke belakang Oscar, sosok tegap itu masih berdiri santai sembari menyender pada dinding. Kedua tangan terlipat di depan d**a. Mata berwarna abu lekat menatapnya tanpa teralih sama sekali.
Seketika semua perasaan rileks Ara hilang, digantikan gugup tak berujung. Tubuhnya membeku sesaat, bibir sang Casie bungkam. Senyuman gadis itu pudar perlahan.
Seakan semua perhatian kini teralih pada sosok itu. Ia merasa tersedot begitu cepat. Oleh pandangan dan ekspresi yang tidak Ara mengerti.
“Ayo tersenyum, Arabella.” ucap Oscar saat dia tidak mendapati senyuman Ara. Gadis itu tiba-tiba berubah kaku.
Tak ada respon, Oscar menekuk alis bingung. “Arabella, kau mendengar saya? Ada apa?” tanya lelaki itu lagi.
Barulah Ara sadar, “A-ah, maaf Sir. Bisa diulang lagi?” Tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. Ara berusaha keras tidak melihat sosok Agra di depan sana. Dengan kedua tangan terkepal,
‘Fokus, fokus jangan pikirkan orang itu!’ Berulang kali mengalihkan pikiran. Sampai akhirnya Ia berhasil, walau hanya beberapa detik saja.
Tapi yang pasti, saat suara selesai terdengar kencang. Ara benar-benar lega luar biasa. Berjalan menghampiri Oscar, lelaki itu hanya tersenyum kecil. “Sepertinya di akhir-akhir tadi kau sedikit gugup, Arabella. Ada apa?” tanya Oscar singkat.
Menggeleng tipis, “Saya tidak biasa difoto, Sir. Jadi tadi agak sedikit canggung,”
Mengerti maksud Ara, “Tapi beruntung hasil fotomu bagus semua. Mau lihat?” tawar lelaki itu lagi. Tentu saja Ara tertarik. Mendekati Oscar dan berdiri di samping sang empunya, saat Ara berniat menunduk, semakin dekat dengan lelaki itu karena layar kamera yang cukup kecil.
“Sudah selesai ‘kan?”
Tiba-tiba sebuah tangan menggenggam jemarinya. Sang Casie berdiri reflek menatap seseorang yang kini sudah ada di belakang, “Aku masih mau lihat hasil fotonya,” tukas Ara cepat.
“Itu bisa kau lihat nanti. Aku masih ada urusan di kantor sekarang, ayo kuantar pulang.” Tidak mau mendengar alasan Ara. “Lihat sebentar saja, Kak.” rengeknya.
“Ayo.”
Tidak mau memperpanjang masalah, alhasil Ara mengalah. Mendumel dalam hati, ‘Makanya kubilang pergi saja lebih dulu,’ batinnya kesal. Mengikuti langkah Agra dengan wajah tertekuk.