Dari kejauhan Ara melihat putranya masuk ke dalam rumah, sehingga dia pun langsung berjalan menuju ke arah putranya. Ara melihat wajah putranya yang terlihat begitu sumringah.
Friar mendekati ibunya dan mencium pipi ibunya sebentar.
“Kamu terlihat senang sekali, Sayang?”
“Tentu saja, Ma. Aku masuk ke dalam dulu ya? Masih ada pekerjaan.”
“Iya, Nak. Mama akan siapkan teh untuk kamu.”
“Terima kasih, Ma.”
Friar pun masuk ke dalam rumahnya. Satu benda yang pertama kali dia cari adalah laptopnya. Dia pun membuka lemari dan tidak menemukan laptopnya di dalam lemari tersebut. Friar pun langsung mencari ke segala titik di kamar itu namun dia sama sekali tidak menemukan ada laptopnya. “Duh, di mana, laptopnya?”
Friar menggaruk kepalanya sendiri.
“Kamu cari apa, Nak?” tanya Ara.
“Laptop, Ma. Apa mama lihat laptop Friar? Tadi Friar ingat sekali kalau Friar meletakkannya di dalam lemari.” Friar menunjuk lemari pakaian yang sudah dia buka.
“Loh, mama tidak lihat, Nak. Coba ingat-ingat lagi, siapa tahu kamu lupa meletakkannya.” Kata Ara.
Friar pun menggelengkan kepalanya, “Friar yakin, Ma. Ada di lemari.”
“Biar mama bantu carikan-…” kata Ara.
Ara pun langsung mencari laptop milik anaknya. Ara sangat tahu kalau laptop itu adalah laptop benda kesayangan putranya. Namun, setelah selesai mencari, Ara dan Friar tidak menemukan apapun.
Tak lama kemudian, mereka berdua pun memilih untuk keluar, hendak bertanya kepada orang rumah yang lain.
“Ada apa, Nak?” tanya Ibunya Ara mendekat.
“Ma, laptop anakku hilang,” kata Ara.
“Sudah dicari betul-betul, Nak?” tanya Ibunya Ara.
“Sudah, Ma,” jawab Ara. “Kita sudah mencari ke segala sudut. Tapi tidak ketemu.”
Raut wajah ibunya Ara pun berubah, “Jangan-jangan ini kerjaan ayahmu.” Ucap Ibunya Ara.
“A-yah?” tanya Ara.
Tak lama kemudian, terdengar suara Ayah Ara yang baru pulang. Beliau sedang berada di depan rumah, mengobrol dengan Berry.
“Lihat, isi tas ayah semuanya uang!” ucap Ayahnya Ara.
Berry pun terkekeh dan melihat ke dalam tas Ayahnya yang memang berisi uang banyak, “Ayah memang terbaik.”
Friar kali ini sudah tidak tahan dan langsung saja berjalan menuju ke arah kakeknya, dia mencurigai kakeknya, bukan apa, dia memang sudah mencurigai sejak awal, karena sebelum dia pergi mengantar Momo, dia melihat kakeknya mengintip. Dan Friar merasa instingnya tidak salah.
“Kakek, di mana laptop Friar?” tanya Friar.
“Loh, mana kakek tau, Nak. Memang di mana laptop kamu?” tanya Ayahnya Ara sambil menutup tas ransel beliau yang berisi uang banyak.
“Jangan bercanda, Kakek. Di mana laptop Friar?!” tanya Friar.
“Kamu jangan kurang ajar sama Kakek. Kakek tidak tahu.” Kata Ayahnya Ara.
“Lalu uang yang kakek bawa dari mana?” tanya Friar.
“K-kakek tidak bawa uang.” Kata Ayahnya Ara gelagapan.
Friar pun menghela napas, “Tidak usah pura-pura kakek. Di tas kakek ada uang hasil penjualan laptop Friar bukan?”
“Hei cucu durhaka! Jangan asal tuduh sembarangan. Ini kakekmu! Dasar tidak sopan!” ucap Berry.
“Friar tidak asal tuduh, Bibi. Friar pun yakin kalau Bibi sama kakek bersekongkol.” Kata Friar.
“Nak, sudah, Nak.” Kata Ara.
“Anakmu benar-benar tidak tahu sopan santun, Ara.” Kata Berry.
Friar menghela napas, “Kakek yakin tidak menjual laptop Friar?” tanya Friar.
“Tentu saja.” kata Ayahnya Ara.
“Kalau begitu Friar pinjam ponsel kakek sebentar.” Kata Friar.
“Untuk apa?” tanya Ayahnya Ara.
“Untuk melihat bukti chat kakek.” Jawab Friar berbohong.
Ayah Ara pun berpikir sebentar kemudian memberikan ponselnya kepada Friar. Friar buru-buru mengecek linimasa kakeknya, dia pun langsung menghafalkan alamat tempat kakeknya menjual laptop milik dirinya. Kemudian dia memberikan ponsel itu kepada kakeknya.
“Bagaimana? Tidak ada kan?” tanya Ayah Ara.
Friar pun menganggukkan kepalanya, “Iya, tidak ada.” Jawab Friar. “Kakek, sebagai permintaan maaf Friar, Friar akan mengajak kakek jalan-jalan pakai mobil baru Friar. Apa kakek mau?” tanya Friar.
“Oh, mau-mau. Memang harusnya seperti itu, Nak. Kamu itu harus percaya kepada kakek. Kakek ini tidak mengambil laptop kamu.” Kata Ayahnya Ara.
“Baiklah. Mama dan Nenek ikut Friar juga ya?” tanya Friar.
Ara dan Ibunya Ara pun setuju untuk ikut dengan Friar. Sebagai seorang ibu, Ara sepertinya tahu jalan pikiran anaknya, namun Ara ingin melihat apa yang benar-benar anaknya lakukan saat ini.
“Aku ikut!” ucap Berry.
“Tidak muat. Mobilku mobil bagus dan kecil, tidak seperti mobil bibi, besar dan murah.” Ucap Friar.
“Anak ini!” seru Berry yang hendak menyerang Friar.
Ara pun buru-buru menjadi tameng untuk anaknya. “Friar kamu tidak boleh seperti itu, Nak.” Kata Ara.
“Maaf, Mama.” Kata Friar.
Lalu mereka pun berangkat menggunakan mobil Friar. Ayahnya Ara sangat kagum dengan mobil yang dimiliki oleh cucunya itu. Ara pun sangat ingin menanyakan dari mana anaknya memiliki uang untuk membeli mobil yang sangat bagus seperti itu. Namun, Ara akan menanyakannya nanti.
Friar menepikan mobilnya di sebuah konter yang lumayan cukup besar dan berada di pinggir jalan. Ayahnya Ara pun mulai panik.
“Kenapa kita ke sini?” tanya Ayahnya Ara gugup.
“Kenapa kakek begitu panik? Aku hanya sedang ingin membeli laptop baru saja. mampir sebentar seharusnya tidak apa-apa kan?” tanya Friar.
Ara kali ini tidak berkomentar, dia sangat percaya kepada anaknya.
“Ayo, kakek kita keluar sebentar, bantu Friar memilih.” Kata Friar.
“Tidak, kakek di mobil saja.” kata Ayahnya Friar.
“Ayolah kakek, masa tidak mau membantu cucunya memilihkan laptop.” Kata Friar.
Friar pun langsung turun dari mobil. Ara dan juga ibunya Ara pun keluar dari mobil. Kemudian, Friar pun langsung membukakan pintu untuk kakeknya. “Kakek kenapa panik begitu?” tanya Friar dengan wajah santai.
“Siapa yang panik?” tanya sang kakek dan karena merasa tertantang oleh cucunya, akhirnya beliau pun langsung turun dari mobil.
Mereka berempat pun langsung berjalan menuju ke dalam konter tersebut. Di dalam konter tersebut terdapat banyak barang elektronik yang dijual, baik yang baru maupun yang second, banyak ponsel dan laptop. Di konter tersebut juga menerima jasa perbaikan alat-alat elektronik.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang pelayan menghampiri mereka.
Ayah Ara langsung membelakangi pelayan. Pura-pura melihat ke arah jalan dan berharap kalau pelayan tersebut tidak mengenali beliau.
“Saya mau membeli laptop yang sebelumnya sudah dijual oleh kakek saya.” Kata Friar langsung tanpa basa-basi.
Ayahnya Ara pun membelalakkan matanya. Tidak menyangka kalau ternyata beliau saat ini dijebak oleh cucunya sendiri. Beliau sama sekali tidak menyangka.
Friar menarik kakeknya dan seketika pelayan itu pun langsung mengenali kakeknya Friar tersebut.
“Oh, maaf tapi laptopnya sudah mau dibeli sama orang lain lagi.” Kata pelayan tersebut.
“Kakek saya jual berapa, Mbak?” tanya Friar.
“Sepuluh juta.” Jawab pelayan tersebut.
“Astaga! Sepuluh juta?” tanya Friar. “Anda jual berapa juta?” tanya Friar.
“Lima belas juta. Ah, dua puluh juta.” Ucap pelayan tersebut. Mencoba mengarang, karena jika dilihat dari mobil yang dibawa oleh Friar, dia menganggap kalau Friar adalah orang kaya. Tidak ada orang miskin yang mempunyai mobil mercy seharga sekitar 2 miliar bukan?
“Tolong batalkan dan jual pada saya. Saya bayar lima puluh juta!” ucap Friar.
“L-lima puluh juta?” tanya pelayan tersebut. Matanya membulat, membelalak, dia seperti habis kejatuhan durian rontok.
“Iya, tolong cepat, Mbak.” kata Friar.
Pelayan tersebut pun langsung masuk ke dalam ruangan dan mengeluarkan laptop yang sebenarnya belum dijual kepada orang lain. Dia hanya menggertak Friar saja. Kasus-kasus ponsel atau laptop yang dijual tanpa sepengetahuan dari pemiliknya sudah banyak dia jumpai sehingga dia merasa tidak kaget, namun kalau dengan nominal yang cukup fantastis seperti ini, dia baru kali ini mengalaminya.
Pelayan tersebut pun langsung masuk ke dalam dan mengambil laptop milik Friar.
“Maaf, Mas, bos saya bilang kalau laptop ini dipesan oleh polisi, tapi kalau Mas mau bayar 100 juta kami lepas.” Kata pelayan tersebut.
“What the- …” Friar mengumpat kesal. Dia menatap kakeknya.
Friar langsung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Momo. “Mo, tolong transfer aku 100juta.” Ucap Friar.
“Astaga, Friar untuk apa? Di rekeningku hanya tersisa seratus lima puluh juta.” Kata Momo.
“Cepatlah, ini urgent sekali. Antara hidup dan mati.” Kata Friar berbohong.
“Kau kecelakaan?” tanya Momo.
“Nanti aku ceritakan.” Kata Friar.
“Oke aku transfer sekarang.” Kata Momo.
“Th-terima kasih.” Balas Friar.
Friar pun langsung memutus sambungan, tak lama kemudian transferan masuk dari Momo, kemudian, Friar pun langsung membayar laptop tersebut kepada pelayan tersebut, namun sebelum membayar Friar terlebih dahulu memastikan isi dari laptopnya. Setelah yakin kalau itu memang laptopnya, dia baru mentransfer orang tersebut.
“Terima kasih ya, Mas, ini kami beri bonus tasnya.” Kata pelayan tersebut.
“Ini memang tas saya. Untung tidak kamu jual juga. Ini seharga kedai konter ini.” Kata Friar kesal.
Pelayan itu membelalakkan matanya. Menyesal tidak menjual tas tersebut seperti yang dikatakan oleh Friar. Friar pun langsung pergi menuju ke mobilnya. Tidak ada yang bicara selama itu.
Ara sangat malu kepada anaknya, karena kelakuan ayahnya. Ternyata bertahun-tahun tidak bertemu, sikap ayahnya masih sama. Ayahnya masih sama seperti yang dulu. Mungkin kalau hal ini terjadi kepadanya, dia masih bisa memaklumi, namun ini terjadi pada ayahnya.
“Kakek puas?” tanya Friar.
“Kakek tidak tahu kalau itu laptop kamu dan masih dipakai.” Kata Ayahnya Ara berkelit.
Jawaban Sang Ayah membuat Ara malu setengah mati kepada anaknya.
“Cucuku, sebagai istri kakekmu, nenek sangat meminta maaf sama kamu ya?” kata Ibunya Ara sambil mengusap lengan cucunya.
Friar pun langsung menganggukkan kepalanya.
Sesampainya di rumah, Ara menghampiri anaknya yang tengah duduk di atas tempat tidur sambil mengusap wajah. Ara tidak pernah melihat anaknya seemosi ini sebelumnya. Meski tampak selalu marah-marah kepada Berry, sebenarnya Friar tidak pernah benar-benar marah. Dia hanya marah bercanda saja. Namun, kali ini Friar terlihat sangat emosi.
Ara sangat tahu bagaimana perasaan anaknya.
“Nak, kamu baik-baik saja?” tanya Ara yang langsung duduk di samping anaknya.
Friar menoleh, setelah melihat ibunya, Friar langsung memaksakan dirinya untuk tersenyum.
“Tidak apa-apa, Ma. Friar baik-baik saja.” kata Friar.
Ara menahan nafas sebentar, kemudian dia mengusap punggung anaknya, “Mama minta maaf, Nak. Mama tahu kalau kali ini kamu sangat emosi. Mama tahu kalau apa yang dilakukan oleh kakekmu itu sudah sangat keterlaluan. Sekali lagi mama minta maaf.”
Friar menggelengkan kepalanya, “Bukan mama atau nenek yang seharusnya meminta maaf pada Friar, Ma. Tapi kakek. Ini semua yang melakukan adalah Kakek, jadi orang yang harus minta maaf adalah kakek. Tapi kakek sama sekali tidak melakukan itu.”
“Nanti mama akan mencoba bicara pada kakekmu.” Kata Ara.
Friar pun menggelengkan kepala, “Tidak, Ma, biarkan begitu. Sekarang mama jangan terlalu memikirkan Friar.”
“Bagaimana mama tidak bisa memikirkan kamu, Nak? Kamu anak mama. Mama sejujurnya malu sama kamu.” Kata Ara sambil menangis.
Ini adalah hal yang paling Friar benci dalam hidup. Dia tidak suka melihat ibunya menangis. Dan ketika dirinya yang membuat ibunya menangis secara tidak langsung membuat Friar semakin merasa bersalah.
Friar memeluk ibunya, “Jangan menangis, Ma. Apa kakek selama ini melakukan hal yang sama pada mama?” tanya Friar.
Ara tidak bisa menjawab pertanyaan anaknya. Namun, Friar sangat pandai dalam menyimpulkan sesuatu. Diamnya Sang Ibu membuat dia sadar bagaimana rupa kakeknya.
“Lebih baik kita pindah dari sini, Ma.” Kata Friar.
***
“Astaga, Friar, kamu tidak bercanda kan? Uang seratus jutaku hilang hanya untuk menebus laptop bututmu itu?” tanya Momo sambil berdiri dan berkacak pinggang.
Kali ini setelah menjemput saudara kembarnya, Friar tidak langsung membawa saudara kembarnya pulang, melainkan mengajaknya ke sebuah café untuk membicarakan apa yang terjadi, jujur, kalau di rumah ibunya akan mendengar dan Friar tidak mau hal itu terjadi karena akan menambah beban ibunya.
“Ada file penting di dalam laptopku, Mo. Dan file itu tidak bisa sampai pada tangan orang lain.” Kata Friar.
“Astaga, lalu kenapa kamu menjual laptop itu? Kalau kamu butuh harusnya jangan dijual. Aneh betul sudah dij-…” tanya Momo yang mulai cerewet seperti biasanya.
Friar buru-buru membekap mulut adiknya yang berisik.
“Bodoh, bukan begitu ceritanya. Makanya kalau aku cerita jangan dipotong. Ini semua pekerjaan kakek. Jadi tadi ketika aku menjemput kamu, laptop itu aku simpan di lemari, setelah pulang hilang, aku mencarinya dan ternyata dijual kakek. Dia menjual laptopku sepuluh juta lalu penjual menjualnya 100juta.” Terang Friar yang kesal karena adiknya terus memotong ceritanya.
“Astaga, kakek melakukan itu?” tanya Momo tak habis pikir.
“Iya.” Jawab Friar.
Momo diam sebentar, lalu menghela napas, “Sepertinya semua keluarga mama tidak ada yang beres, kecuali kita dan juga nenek.”
“Kamu bilang saja kakek dan bibi tidak beres.” Ralat Friar.
“Yaa, … yaaa … itulah. Kasihan ya mama. Jangan-jangan dari dulu begitu. Aku sih dari awal sudah tidak suka pada kakek dan bibi, mereka tuh … mmm … pembohong dan mama percaya terus.” Kata Momo.
Friar kali ini setuju dengan apa yang dikatakan oleh adiknya.
“Kita harus pindah.” Friar.
“Harus! Kau punya uang Friar?” tanya Momo.
“Tentu saja tidak, uangku habis untuk membeli mobil itu. Kamu bagaimana?” tanya Friar.
“Astaga, kan kemarin aku bilang sudah bilang tabunganku hanya seratus lima puluh juta saja, dan kau sudah pakai seratus jadi sisa lima puluh juta.” Kata Momo.
“Astaga, gajimu itu besar kenapa uang tabunganmu sedikit sekali?” tanya Friar.
“Kamu seperti tidak tahu gaya hidup perempuan saja, Friar. Perempuan itu banyak kebutuhan, pakaian, skincare, make up, treatment- …”
Tiba-tiba ponsel Friar berbunyi, sebuah nomor asing masuk, Friar pun langsung mengangkat panggilan telepon itu. Seketika wajahnya berubah menjadi tegang. Dia buru-buru mematikan sambungan teleponnya, “Kita harus pergi, Momo! Ayo, cepat!”