PART 8

985 Words
"Ke mana saja kau, Poppy? Kenapa tidak menjawab panggilan teleponku?!" Arthur Millers menyambut kedatangan Poppy di meja makan dengan amarahnya yang membuncah. Perempuan berusia sembilan belas tahun itu baru saja tiba di mansion setelah menikmati kebersamaan panasnya dengan Swan Albano, melupakan panggilan telepon dari Arthur yang semalam sangat kesakitan. Ia menahan gemuruh rasa nyeri akibat bukti gairahnya yang mengeras dan tidak kunjung mendapatkan pelepasan, kendati ke sepuluh jarinya telah berjuang penuh peluh untuk menuntaskan semuanya. Arthur membutuhkan Poppy yang selama ini selalu membantunya, namun hanya sekedar itu, sebab objek fantasi liarnya sejak dulu hanyalah Margaretha Stockhorts. Pupil kedua mata Poppy membesar, melihat kemarahan yang tergambar jelas di wajah Arthur. Dengan jari yang saling memilin, Poppy pun mencari alasan untuk mengatasi masalahnya, "Maaf, Dad. Ada tugas kuliah yang harus aku selesaikan di apartemen Nancy. Jadi aku--" "--KAU BOHONG!" Namun Arthur memotong penjelasan Poppy, "Aku mencarimu sampai ke apartemen Nancy dan kau tidak ada di sana. Mau berkilah apalagi, hem? Aku bahkan menyuruh orang-orangku memeriksa setiap sudut apartemennya! Well, katakan padaku kau pergi kemana tadi malam?!" Sebelum balik menyerang secara bertubi-tubi. Perkataan tersebut, jelas membuat wajah cantik Poppy berubah menjadi semakin kaku, dengan sekujur tubuh yang mulai meremang. Dicecar sejumlah pertanyaan, sukses membuat nada bicara Poppy menjadi terbata-bata, "Itu, aku--" "Kau berkencan dengan pria lain, bukan?" Tapi itu tak berlangsung lama, karena dengan cepat Arthur kembali memotong ucapannya lagi. What the hell! Sekali lagi, wajah Poppy semakin pias di depan ayah yang telah merenggut kesuciannya itu. Perkataan Arthur tepat tanpa cacat sedikit pun. Sebenarnya Poppy tak perlu peduli dengan keadaan Arthur yang mengetahui tentang kejadian semalamnya dengan Swan, sebab sejak dulu ia juga sering berkencan dengan banyak pria dan Arthur jelas sudah mengetahui hal itu. Hanya saja di kemudian harinya, Arthur sering kali memukul para pria yang bercinta satu malam dengannya hingga babak belur dan hal itu menjadi sebuah kekhawatiran untuk Poppy. "Ingat, Poppy! Kau tak boleh mengatakan Swan yang semalam tidur denganmu. Ceritakan saja kau bersama Alex berkencan dan biarkan Daddy menghajar pria gila itu." Poppy bergumam kecil dengan giginya yang sengaja ia rapatkan. Berjalan dua langkah dengan tujuan pintu kamar tidur, kini menjadi pilihannya dengan maksud tak ingin menjawab pertanyaan Arthur. "Kau mau kemana, hah? Katakan siapa pria itu, Poppy? Jangan coba menghindar atau kau akan tau apa yang akan ku lakukan kali ini." Tetapi sugar daddy itu lebih dulu memegang pergelangan tangan putrinya, meminta satu nama seperti biasanya. Sejujurnya, Poppy begitu muak dengan Arthur yang sejak dulu selalu bersikap tidak wajar sebagai seorang ayah. Secepatnya ia membalik tubuh menatap ke arah di mana pria itu berdiri.     Keduanya saling bersirobok dengan penuh amarah hingga beberapa detik, sebelum akhirnya Poppy menghunus sejumlah kalimat tajam, menusuk ke jantung Arthur, "Jika kau selalu cemburu dengan semua pria yang selesai berkencan denganku, mengapa tidak kau nikahi saja aku? Selama ini aku sudah naik kelas tak hanya menjadi seorang anak bagimu, bukan? Aku melayani hasrat seksualmu, juga selalu membuat milikmu yang tersumbat mengalir lancar seperti air shower di dalam kamar mandi. Well, kau jadikan saja aku sebagai istrimu. Atau jika kau tak mau, mengapa tidak menikah saja dengan nama yang selalu kau sebut ketika mencapai pelepasanmu?! Kenapa harus aku yang melayanimu, sementara aku adalah putrimu sendiri, Arhur Hugos Millers? Kenapa bukan Margaret saja yang kau tiduri?! Kenapa harus aku?!"   Damn it! Wajah senator itu pias seketika, saat Poppy berkata demikian. Terlebih lagi Poppy menyebutkan nama Margaret bersama kebiasaan yang Arthur lakukan ketika pria itu sedang menidurinya. Rona merah kehitaman, pun mulai muncul menghiasi wajah Arthur dan sejurus kemudian, satu tamparan mendarat di pipi mulus Poppy. PLAK "Kau jahat!" teriak Poppy, berlari menuju ke lantai atas. Sayangnya Arthur sudah lebih dulu menangkap pergelangan tangan Poppy, "Mau ke mana, Sweetheart?! Kau tidak boleh pergi sebelum kau melakukan tugas yang kau abaikan semalam!" "Arghhh... Daddy, sa..kit! Sakittt...! Lepaskan, Daddyyy...!" Dan kini surai panjang yang terurai itu pun ikut menjadi sasaran, membuat Poppy menjerit kesakitan. "Tidak sebelum kau menjawab siapa lelaki yang menyentuhmu, lalu memuaskanku lagi!" Prang prang... Tubuh Poppy terbanting di atas meja makan akibat Arthur mengangkat dan meletakkannya di sana. Kegilaan pria itu juga membuat satu set toples kaca berserta besi penyangganya jatuh, pecah berkeping-keping ke lantai. "Cepat lepaskan semua pakaianmu, Poppy! Aku tak ingin kau memakai pakaian bekas sentuhan laki-laki lain!" Krek.. "Daddy, jahat!" Arthur bahkan merobek mini dress baru yang Swan beli untuknya, menyisakan isak tangis tanpa suara. Baru kali ini Poppy diperlakukan kasar oleh Arthur dalam hal bersetubuh dan itu terjadi jelas karena ia yang tak segera memberi tahu tentang Swan Albano. "Lakukan apapun sesukamu, Dad! Jangan harap aku akan mengatakan tentang dia! Aku menyukainya dan aku pastikan dia harus kumiliki selamanya!" lantang Poppy yang sukses membuat aktivitas Arthur membuka mini dress menjadi terhenti. "Benarkah?" jawab Arthur meremehkan. "Aku akan memintanya menikahiku, karena aku yakin dia adalah takdirku yang sebenarnya! Bukan Dad-- Hemph... Hemphhh... Daddy lep-- Arghhh...!" Lalu itulah yang bisa Poppy perbuat selanjutnya, ketika Arthur memasukkan tiga ruas jari ke dalam kewanitaannya. "Nikmati saja, Sweetheart! Kau tidak akan bisa pergi begitu saja seperti Margaret yang meninggalkanku, apalagi seperti ibumu, Soffiya Mendes sialan itu! Ugh!" tegas Arthur terus memainkan jarinya. Poppy jelas tak memedulikan perkataan Arthur, selain terus saja berteriak mengeluarkan kekesalannya, "Aargghhh... Daddyyy... Lep-as, Dad! Achhh... Ini sak-it!" Semua nampak sia-sia belaka, ketika Arthur memilih untuk menambah jari kelingkingnya, sembari mengungkap tabir kebenaran yang selama ini ia tutupi, "Yang akan menikahimu adalah aku! Bukan pria manapun yang ada dalam hatimu, anak sialan! Ugh! Sampai kapan pun kau adalah milikku, karena aku sama sekali tidak ada ikatan darah denganmu! Kau puas, hah! Kau puas, Poppy Michelle Millers?! Well, bergeraklah untukku sekarang, Jalang! Karena sebentar lagi, impianmu untuk menjadi istriku akan aku kabul. Kita akan segera menikah dan mulai saat itu pula, kau tidak kuizinkan pergi ke manapun juga!" Tak ada suara apa-apa lagi dari bibir ranum Poppy, selain keterkejutan disertai rasa sesak yang membumbung tinggi. Semua kenangan masa kecilnya bersama Arthur Hugos Millers, muncul satu per satu di sana, dan air mata menjadi bagian dari penyebab kesakitan itu semakin terjadi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD