1-Kecelakaan
Seorang pria tampan tampak mengeret koper di bandara. Kakinya melangkah dengan pasti, badannya tinggi tegap, dengan tatapan tajam yang lurus ke depan.
Sorot mata yang tajam dan dingin, serta keangkuhan tampak jelas dari raut wajahnya.
Pria itu menghampiri sebuah mobil yang memang datang untuk menjemputnya.
Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang setelah pria itu masuk dan duduk dengan angkuhnya.
Dia adalah Reinhard, pebisnis muda yang berkuasa. Yang terkenal dengan tangan dinginnya dalam dunia bisnis.
Reinhard baru pulang dari luar negeri, setelah lima tahun lamanya tidak menginjakkan kaki di Ibu Pertiwi.
“ Ada apa ini?” ketus Rainhard, yang bertanya kepada sopirnya.
Mobil yang ditumpanginya sangat sulit untuk melaju, dikarenakan macet.
“ Jalanan macet Tuan,” jawab sang sopir dengan takut-takut.
“Cih, aku tau! Kenapa macet?” Rainhard berdecih kesal, bertanya kembali masih dengan nada ketus.
“Heheh,” sopirnya menggaruk leher yang tidak gatal.
“ Saya tidak tahu Tuan,” sungguh jawaban yang membuat Reinhard tidak suka dan semakin kesal saja.
Dengan cepat Reinhard membuka pintu mobil lalu keluar.
Sang sopir panik lalu berteriak. “Tuan mau kemana!”
“Terserah saya! Saya tidak suka kemacetan!” lalu pria itu pergi melangkahkan kakinya dengan penuh keangkuhan, berniat untuk mencari tahu Apa sumber kemacetan.
Sang Sopir hanya menghembuskan nafas kasar sambil mengelus d**a, menerima jawaban dingin, ketus dan bentakan dari tuannya.
Dia sudah terbiasa dengan perlakuan itu, karena sudah lama mengikuti sang Tuan. Sebelum akhirnya tuannya itu pergi ke luar negeri dan sekarang kembali.
“Sabar-sabar! Dia yang memberimu gaji!” gumam Pak sopir yang masih berusia tiga puluh lima tahun itu.
Hanya selisih lima tahun dari Rainhard tuannya.
Saat ini, Rainhard berusia tiga puluh tahun.
Rainhard terus melangkahkan kaki, hingga akhirnya dia tiba di tempat dimana banyak orang berkerumun.
“Ada apa ini?” bertanya kepada seorang lelaki muda yang tampak sedang kebingungan.
“ Ada kecelakaan, dan ambulance belum datang!” jawab pria itu panik.
“ Siapa yang kecelakaan?” tanya Rainhard.
Pria itu menggeleng.
Rainhard melangkah, tidak tahu kenapa. Tetapi, dia tiba-tiba saja ingin sekali melihat korban.
Saat melihat wanita yang merupakan korban kecelakaan itu tiba-tiba saja tubuhnya kaku untuk sesaat, lalu segera menghampirinya dan berjongkok mengusap wajah Si Gadis itu dengan telapak tangan untuk melihat wajahnya dengan jelas.
Raut wajah dingin dan kakunya tak bisa diartikan. Dia segera merogoh saku dan mengambil ponselnya, lalu menghubungi pihak rumah sakit dengan marah.
“Ada yang butuh bantuan! Kenapa lama sialan! Cepat sebelum dia mati!” bentaknya.
Bukan tanpa alasan, dia berani berkata kasar. Toh yang dia hubungi adalah rumah sakit terdekat yang merupakan miliknya.
Semua orang yang berada di sana sampai terkejut mendengar teriakan Rainhard yang begitu penuh emosi.
Sepuluh menit kemudian datanglah mobil ambulance. Para petugas medis segera mengangkut korban kecelakaan.
Rainhard bahkan ikut masuk ke dalam mobil ambulance itu.
“ Langsung ke rumah sakit! Ikuti ambulance yang membawa korban kecelakaan itu!” Rainhard menghubungi sopirnya.
“Baik Tuan ,” jawab sopirnya dari balik telepon.
Meski sebenarnya Sopir itu merasa bingung, kenapa juga tuannya yang galak itu mau repot-repot membantu orang kecelakaan.
Apalagi orang itu tidak dikenalnya, ini sungguh aneh. Tidak seperti biasanya, setahunya Rainhard sosok yang dingin dan sama sekali tak peduli kepada orang lain.
Dia hanya peduli kepada dirinya sendiri saja!
Tapi segera mengikuti perintah sang majikan, tentu saja karena dia tak mau dimarahi lagi.
Rumah Sakit
Rainhard mengurus segala kebutuhan gadis korban kecelakaan itu, mulai dari a sampai z. Bahkan dialah yang menyelesaikan semua biaya rumah sakit.
Pria itu baru tiba dari mengurus administrasi.
Di depan pintu ICU tampak sepasang paruh baya yang dia kira sebagai orang tua dari gadis itu, mereka tampak memasang raut penuh kesedihan dan kebingungan.
Lalu, matanya beralih ke arah pria muda seusia wanita itu yang juga tampak sedih.
Dia mengepalkan tangan dan menghembuskan napas kasar.
Rainhard melangkahkan kakinya pelan, namun penuh keangkuhan. Lengkap dengan raut wajah datar dan dingin.
“ Apa kalian orang tuanya?” menatap sepasang paruh baya itu.
Merasa ditanya, lelaki paruh baya itu pun menjawab sambil mengangguk. “ Iya kami orang tua Sava.
Gadis itu bernama Sava.
Wanita sederhana yang tanpa sengaja tertabrak mobil saat sedang menyeberang.
“ Tenanglah, dia pasti sembuh.” Rainhard berkata Lebih lembut dan manusiawi.
“Tapi ....” ucap Ayah Sava.
“Tenanglah untuk biaya rumah sakit sudah saya bayar semuanya, kalian tak perlu khawatir,” sahut Rainhard, seolah tahu isi hati mereka.
“Tapi kamu tidak mengenal kami, kenapa melakukan ini?” Ayah Sava menatap pria itu penuh kebingungan.
Rainhard tersenyum tipis, dengan sorot mata tajam dingin dan tersirat kelicikan di dalamnya.
“Ada harga yang aku minta nanti!” mendengar jawaban Rainhard, orang tua Sava menghembuskan napas pelan.
Mereka jadi takut, apa Reinhard akan memberikan bunga untuk setiap uang yang digunakannya untuk membayar biaya rumah sakit Sava!
Apa dia seorang rentenir? Yang menjebak orang di saat kesulitan dengan dalih memberi bantuan!
“Saya bukan seperti yang kalian pikirkan, saya bukan rentenir!” seolah tahu isi hati kedua orang tua Sava, Rainhard berkata dengan bibir tersenyum tipis.
“Hah,” kedua orang tua Sava terkejut karena pria dingin di depannya seolah tahu isi hati mereka.
“Saya akan ganti semua uang yang kamu keluarkan untuk calon istri saya!” ucap pria muda yang dari tadi hanya diam memperhatikan Rainhard berbicara dengan calon mertuanya.
Rainhard mengalihkan pandangan ke arah pria muda itu, memindainya dari atas sampai bawah dengan tatapan dingin.
“Calon suami!” ucapnya datar dan dingin.
Pria itu mengangguk, “ iya. Saya Rio, calon suami Sava,” mengulurkan tangannya ke arah Rainhard.
Reinhard tersenyum miring menerima jabatan tangan pria itu.
Entah kenapa, tapi Rio merasa pria itu menjabat tangannya seperti seorang musuh.
Aura di ruangan ini jadi terasa begitu dingin mencekam.
Disaat suasana begitu dingin mencekam, dokter keluar dari ruang ICU.
“Keluarga Nona Sava,” ujar dokter wanita yang masih muda itu.
“Kami orang tuanya!” sahut kedua orang tua Sava.
“ Pasien banyak kehilangan darah, tapi saat ini persediaan darah yang sama sedang kosong. Apa ada di antara kalian yang memiliki golongan darah yang sama?” ucapan dokter itu membuat kedua orang tua Sava begitu gelisah.
Karena golongan darah Sava dengan mereka berdua memanglah berbeda.
“Kami beda golongan darah, dokter,” sahut Ayah Sava.
“Saya akan mencarikan secepatnya!” Rio berkata dengan cepat. Karena, dia tau golongan darah Sava dengan dirinya jelas tak sama.
“Apa golongan darahnya?” ucap Rainhard yang tak mau kalah.
“A resus negatif,” jawab sang dokter.
“Ambil darah saya sebanyak yang dibutuhkan!” Rainhard berkata tanpa berpikir.
Orang tua Sava, dan juga Rio berjengkit kaget. Tak percaya dengan apa yang mereka dengar.
Ada apa dengan pria ini? Siapa dia? Kenapa, dia ini mau berbuat seperti ini untuk anaknya? Apa Sava mengenalnya? Pikir mereka.
“Baiklah, silakan. Tetapi sebelumnya anda harus diperiksa terlebih dahulu Tuan,” ucap sang dokter semangat. Dan berkata dengan begitu sopan.
Rainhard mengangguk setuju.
Lalu, Rainhard mengikuti sang dokter ke ruangan khusus untuk dirinya diperiksa golongan darah.
Dan setelahnya, langsung melakukan transfusi darah.
“Apa ayah dan ibu mengenal pria itu?” Rio bertanya kepada orang tua Sava.
Sebenarnya dia benar-benar tidak suka kepada pria yang terlihat begitu sombong itu.
Dan kedua orang tua Sava pun menggelengkan kepalanya.
“Kami tidak tahu, tapi mungkin saja dia orang yang dikirim oleh Yang Maha Kuasa untuk menyelamatkan Sava,” jawab Ibunya Sava dengan penuh syukur.
Rio mendengus mendengar jawaban dari calon mertuanya. Sungguh, dia tidak suka calon mertuanya memuji pria asing yang menurutnya angkuh itu!
Usai transfusi, Reinhard istirahat untuk memulihkan kondisi tubuhnya yang sedikit lemas.
Namun suara dari ponsel membuatnya terpaksa bangkit. Dia segera menerima panggilan itu.
“Baiklah, aku segera kesana.” Reinhard menghembuskan napas kesal, sebenarnya saat ini dia ingin tetap di rumah sakit dan ingin melihat gadis itu membuka mata.
Tetapi, ada urusan penting yang harus dia kerjakan saat ini.
Tanpa pamit kepada siapa pun, Reinhard bergegas pergi. Karena kebetulan saat itu, dia pun tak melihat keberadaan kedua orang tua Sava maupun calon suami wanita itu.
Entah kemana mereka!
Namun, saat keluar dari area parkir rumah sakit, matanya secara kebetulan melihat ke suatu arah.
Bibirnya tersenyum tipis.
Menghampiri orang itu yang tidak lain adalah...