"Uwahh manisnya, Bunda!" seru Imelda ketika mencoba pakaian barunya, hadiah ulang tahun dari ayah dan bundanya. Pakaian dengan style dress lace lengan panjang berwarna putih, dengan panjang di bawah lutut dan aksen sedikit bergaris-garis yang cukup simple, namun tetap manis kini menempel dengan apik pada tubuh kecilnya. Dan yang paling disukai gadis itu adalah kain luarnya yang transparant dengan hiasan bunga-bunga di beberapa tempat, membuatnya terlihat seperti seorang putri kecil di negeri dongeng.
Wajah chubby dengan kulit putih halusnya merona segar. Dan sang bunda membuat rambut lurus panjangnya menjadi ikal bergelombang dengan indah. Semakin membuatnya terlihat lebih cantik dari biasanya
"Kau terlihat sangat cantik, Sayang. Putri kecil Mom yang manis." puji sang bunda yang semakin membuat rona merah di wajah gadis itu semakin terlihat. Dicubitnya dengan gemas pipi chubby gadis itu, membuat gadis itu terkikik senang.
"Nah, putri Mom sudah siap. Jangan terlalu jauh mainnya sayang." pesan sang bunda. Gadis kecil itu menganggukkan kepalanya dengan semangat.
"Imel pergi dulu ya, Mom. Dadah!" pamit gadis itu. Dikecupnya pipi tirus bundanya dengan sayang, lalu melempar senyum kecil. Imelda juga berlari ke arah daddynya yang tengah duduk di ruang tamu sedang membaca majalah.
"Dad!"
"Sayang, cantik sekali gadis kecil daddy hm. Kau sudah siap?" puji sang ayah sembari menerima tubuh Imelda yang berhambur ke arahnya. Dipeluknya gadis kecil itu dengan gemas.
"Eum sudah. Imel mau pergi sekarang, Daddy."
"Baiklah. Bersenang-senanglah dengan teman-temanmu. Dan kembalilah sebelum petang, kau mengerti kan gadis manis?!" sang ayah mencolek hidung mungilnya dengan jahil. Mengajaknya bercanda.
"Hihihi siap, Dad! Imelda pergi sekarang ya. Bye-bye!" pamit gadis itu lagi. Dikecupnya pipi tegas sang ayah dengan gemas. Membuat pria paruh baya itu terkikik geli.
"Hahaha hati-hati, Sayang. I love you." balas sang ayah dengan lembut. Dikecupnya penuh kasih puncak kepala gadis kecilnya. Dan setelah itu, gadis kecilnya pergi keluar, bermain bersama teman-temannya.
Sang bunda mendekati suaminya dengan senyum manis yang mengembang di wajahnya. Mereka berdua sama-sama mengantar kepergian putri kecil mereka dengan perasaan bahagia. Senyum gadis itu terlihat begitu cerah hari ini, menandakan bahwa kejutan yang telah mereka atur sejak jauh hari ternyata membuahkan hasil yang memuaskan. Gadis itu terlihat begitu bahagia di hari ulang tahunnya saat ini.
***
Hari terasa berlangsung begitu cepat. Matahari semakin meninggi dan itu berarti waktunya putri kecil mereka pulang ke rumah. Sang bunda sudah menyiapkan banyak makanan kesukaan gadis itu dan baru saja selesai menata semua makanan itu di atas meja. Sedangkan sang ayah baru muncul ke ruang makan, menghampiri istrinya. Terlihat rambut hitam pria itu sedikit basah, begitu juga dengan aroma tubuhnya yang tercium begitu segar, menandakan pria paruh baya itu baru saja menyelesaikan acara mandinya.
“Di mana putri kecil kita, Sayang? Apa dia belum pulang?” tanya sang ayah. Dirangkulnya pinggang ramping istri cantiknya itu dengan mesra, sebelum kemudian memberi kecupan kecil di atas pelipisnya. Sang bunda menoleh ke arah suaminya dengan lembut.
“Belum, Hanson. Mungkin sebentar lagi dia akan pulang. Tunggu saja dia.” balas sang bunda.
“Lihatlah. Aku sudah menyiapkan semua ini untuk putri kecil kita. Bagaimana menurutmu? Apa semua ini terlihat enak?” lanjutnya dengan senyum merekah di wajahnya. Dipandanginya kembali tiap tatanan masakan yang telah disiapkannya. Bahkan sang bunda juga membuat hiasan kelinci kecil di atasnya yang terbuat dari mentimun dan buah-buahan lainnya. Gambar kelinci kesukaan putri kecil mereka.
Sang suami tersenyum kecil sembari menoleh ke arah tiap tatanan masakan istrinya itu. Dicomotnya satu udang tepung yang dibuat oleh istrinya itu dan tanpa rasa bersalah langsung melahapnya dengan nikmat. “Eum tentu saja ini sangat lezat, Sayang. Dia pasti akan menyukainya.”
“Kau ini, setidaknya tunggulah gadis kecil kita datang, baru kita bisa makan bersama, Hanson.” omel sang bunda sembari mencubit kecil perut suaminya itu. Pria yang bernama Hanson itu hanya menanggapinya dengan tawa renyah saja. Sampai kemudian seseorang berteriak-teriak di luar rumah mereka.
“Tuan! Tuan Hanson! Keluarlah cepat! Tuan! Nyonya!”
“Tuan! Nyonya! Cepat keluarlah! Ada berita penting untuk kalian!”
Suara ribut itu membuat sang ayah dan bunda saling melempar pandang dengan heran. Ada apa gerangan di luar rumah mereka? batin mereka berdua. Dengan sigap sang ayah lebih dahulu melangkahkan kaki menuju pintu utama. Lalu diikuti dengan sang bunda di belakangnya. Sang ayah membuka pintu itu lebar dan keluar untuk menemui orang-orang yang berteriak di depan rumahnya.
Mereka berdua cukup terkejut dengan banyaknya orang tengah berdiri di luar rumahnya. Dilihatnya beberapa di antara mereka terdapat teman-teman seusia Imelda yang juga ikut berkumpul di sisi orang tua mereka, dengan muka sembab, dan pucat. Sang bunda yang juga menyadari hal itu mulai merasa tidak tenang.
Bukankah seharusnya anak-anak kecil itu bermain dengan putri kecil mereka saat ini? Lalu di mana putri kecilnya sekarang? Kenapa Imelda tidak ada di antara mereka semua?
Sang bunda mendekati suaminya dan meremas baju yang dikenakan beliau untuk menyalurkan rasa cemasnya.
“Bapak-bapak dan ibu-ibu, ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Hanson. Sebagai kepala desa yang baru saja diangkat di wilayah itu, Hanson mencoba bersikap tenang untuk menghadapi para warganya.
“Tuan Hanson, kami mendapat kabar bahwa Imelda telah menghilang. Anak anda tidak ada di mana pun, Tuan.”
Deg! Tangan sang Bunda mulai bergetar semakin tidak tenang. Begitu juga dengan sang ayah yang cukup terkejut mendengar hal itu.
“A-apa maksud anda, tuan Braun? Anak kami menghilang? Imelda?” tanya Hanson sekali lagi memastikan pendengarannya masih berfungsi dengan baik.
“Benar, Tuan Hanson. Anak-anak kami mengatakan Imelda tiba-tiba menghilang ketika mereka sedang bermain bersama. Kami sudah membantu mencari di lokasi, namun tetap tidak menemukan anak anda.”
“Tidak mungkin, Hanson...” suara sang bunda tercekat dan lalu melemas antara percaya dan tidak. Digerak-geraknya lengan suaminya itu dengan pelan, menyuruhnya untuk segera bertindak. Sang bunda ingin bertemu dengan anak gadisnya sekarang juga. Sedangkan sang ayah mencoba mencerna apa yang terjadi sembari menatap satu per satu teman-teman sepermainan Imelda. Mereka semua menangis ketakutan bersembunyi di balik tubuh orang tua mereka. Sang ayah menelan ludahnya pelan, lalu bergerak melangkah mendekati salah satu anak kecil itu.
Seorang gadis kecil yang diketahui lebih tua 3 tahun dari anak gadis mereka terlihat semakin mengerut di sisi ibunya. Tidak berani menatap wajah Hanson. Padahal pria paruh baya itu tidak bermaksud menakutinya dan sudah melempar senyum manis ke arahnya.
“Hei nak, kau bisa menceritakan apa yang terjadi pada paman kan?” tanya sang ayah. Dan bukannya menjawab, sang gadis kecil malah menangis keras tiada henti. Membuat anak-anak yang lain juga ikut menangis di tempat, sekaligus membuat orang-orang dewasa di sana menjadi semakin bingung.
Sementara sang bunda sudah meneteskan air matanya dengan deras. Tidak menyangka akan mendapatkan kabar seperti itu. Setelah itu, sang ayah bersama warga desa berbondong-bondong mencari Imelda yang katanya menghilang di area taman dekat hutan, di saat mereka tengah bermain. Sementara sang bunda tetap di rumah, menunggu gadis kecilnya di sana jika sewaktu-waktu gadis itu pulang sendiri. Tanpa mereka sadari, sejak hari itu, kehidupan dan ketentraman desa mereka akan menjadi berubah.